Janji Masa Lalu

1667 Kata
Acara makan malam bersama kru film dan para pemain pun akhirnya sudah selesai. Seperti biasa Ari harus mengantar Nathan menuju apartemen-nya. Sepanjang perjalanan Ari terus saja mencuri-curi pandang pada Nathan yang duduk di kursi belakang melalui kaca mobil. Ada sebuah pertanyaan besar yang kini bergelayut di benak pemuda bertubuh bongsor itu. “Kenapa tas itu ada pada Samanta?” Nathan yang sedari tadi menyadari hal itu akhirnya membuka matanya dan Ari pun sontak terkejut. Laju mobil itu bahkan sempat meliuk-liuk, “Ada apa?” tanya Nathan. “Kenapa dari tadi kamu melihat seperti itu?” Ari menelan ludah. “A-aku hanya—” “Aku perhatikan tadi kamu begitu sering melihat pada tas yang dipakai oleh Samanta.” Nathan langsung memotong pembicaraan. Ari terkekeh pelan. keringat dingin kini sudah mengalir di kuduknya. “A-aku hanya sempat berpikir kalau itu adalah tas yang aku belikan waktu itu, tapi itu jelas tidak mungkin... dia pasti membelinya sendiri, iya kan?” “Itu memang tas yang kamu belikan waktu itu,” jawab Nathan. Deg. Ari membelalak dengan napas tertahan. Sedetik kemudian dia menepikan mobilnya, lalu berhenti. “M-maksud kamu?” “Aku memang membelikan tas itu untuk Samanta,” jelas Nathan. Ari menatap tak percaya, sedangkan Nathan kini menatapnya lekat-lekat. “Aku pikir tas itu kamu belikan untuk Hana,” desis Ari. Nathan berdecak pelan. “Hana juga tidak akan pernah memakainya. Percuma saja membelikannya barang-barang mahal. Dia bahkan tidak pernah cocok menggunakannya.” Ari semakin terkejut. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar sosok Nathan menjelek-jelekkan istrinya sendiri. “Nath... kamu tahu kan, bahwa di industri hiburan ini hubungan terlarang adalah sebuah cara instan untuk menghancurkan karir? Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi antara kamu dan Samanta, tapi aku hanya ingin mengingatkan bahwa sepertinya akhir-akhir ini kamu memang sudah banyak berubah,” ucap Ari. Raut wajah Nathan berubah masam. Sepertinya dia tidak menerima nasihat itu. “Kamu harus ingat... tujuan awal kamu terjun ke dunia ini adalah demi Hana... untuk membahagiakan dia. Untuk memberikannya kehidupan yang layak. Kamu harus ingat juga pengorbanan dia sejauh ini... dia rela bersembunyi demi kamu,” tegas Ari. “Sudah selesai bicaranya?” tanya Nathan. Ari menatap heran. “Kalau sudah selesai, sebaiknya kamu segera turun!” perintah Nathan. “T-tapi Nath—” “Aku bilang turun... sekarang...!!!” bentak Nathan dengan geraham yang beradu kuat. _ Hana masih terpaku menatap sebuah tiket bioskop yang tadi pagi diberian oleh Airin kepadanya. Tadi pagi Airin tiba-tiba saja datang dan mengajak Hana untuk pergi menonton bersama. Hana pun cukup terkejut karena film yang akan mereka tonton itu adalah film yang dibintangi oleh Nathan. Hana sendiri sudah melihat teaser-nya yang selalu muncul di TV dan juga berbagai media sosial lainnya. Seebnarnya Hana cukup antusias untik menonton film itu, tetapi dia teringat akan peringatan Ari tempo hari. Saat itu Hana menghubungi Ari untuk menanyakan tentang Nathan. Bersamaan dengan itu Hana juga menanyakan tentang film itu. Biasanya setiap perilisan film yang dibintangi oleh Nathan, Hana selalu mendapatkan sebuah tiket premier khusus. Namun kali ini Hana tidak mendapatkannya. Bahkan Ari terkesan mencegahnya untuk menyaksikan film itu. “Film-nya tidak terlalu bagus... jalan ceritanya biasa saja. Kamu pasti akan merasa bosan. Sebaiknya kamu tidak usah menontonnya. Hanya akan membuang-buang waktu.” Hana masih teringat jelas ucapan Ari tempo hari. “Kenapa dia berbicara seperti itu?” bisik Hana. Hana kembali menatap bayangannya di cermin. Dia sudah selesai berdandan dan bersiap-siap untuk pergi. Meski Ari memberikan peringatan seperti itu, Hana memutuskan untuk tetap pergi menonton film itu. Alasan utamanya adalah karena dia memang merasa bosan di rumah saja. Selain itu ini adalah pertama kalinya Hana pergi keluar bersama seseorang yang sudah menjadi temannya—Airin. Tatapan Hana beralih pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 15.00 sore. Sebelumnya Airin sudah memberi kabar bahwa dia akan menyusul Hana ke gedung bioskop setelah menjemput Hamid dari tempat les privat-nya. “Aku harus segera pergi,” bisik Hana sambil menjangkau jaket denimnya. Sekitar 10 menit kemudian Hana sudah sampai di gedung bioskop. Dia memesan 1 cup es kopi dan menunggu Airin yang belum datang. Waktu pun terus berlalu. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.45. sebentar lagi film akan diputar, namun Hana belum melihat tanda-tanda kemunculan Airin sama sekali. Hana bahkan juga sudah menghabiskan 1 cup es kopi yang tadi di pesannya. Hana mulai merasa gelisah. Petugas bioskop pun sudah berulang kali mengingatkannya agar segera masuk. Di tengah-tengah penantian itu handphone Hana berdering dan itu adalah panggilan dari Airin. “H-halo... kamu sudah sampai di mana? Sebentar lagi film-nya akan di mulai.” Hana berucap dengan mata liar mencari keberadaan Airin. “Maaf ya, Na... sepertinya aku akan datang terlambat atau bahkan tidak bisa datang sama sekali. Hamid tiba-tiba saa sakit perut dan terus merengek. Sekali lagi maafin aku, ya,” suara Airin terdengar lirih. Hana meneguk ludah. “Oh... terus sekarang kamu di mana?” “Aku masih di lokasi les privat Hamid. Sebaiknya kamu masuk duluan saja. Sekali lagi maafkan aku ya...” “Nggak apa-apa kok. Kalau begitu aku menontonnya sendiri saja,” jawab Hana. _ Tatapan Hana terpaku ke layar bioskop. Dia mulai fokus menikmati alur film yang sedang diputar. Seperti biasa, sosok Nathan selalu terlihat sempurna di matanya. Hana pun tidak henti-henti mengulum senyum. Ada perasaan bangga dan bahagia yang kini melebur di hatinya. Semakin lama, Hana pun semakin hanyut dalam kisah itu. Namun lama kelamaan sorot matanya berubah cemas. Entah kenapa tatapan Nathan pada tokoh utama wanita di film itu terlihat berbeda. Hana sudah sering melihat bagaimana akting Nathan dengan lawan mainnya di berbagai film, tapi untuk film yang kali ini semua terasa begitu berbeda. Ada rasa tidak nyaman yang kini menelusup ke dalam hatinya. Ada semacam perasaan ganjil yang dia sendiri tidak bisa mengartikannya seperti apa. “Kenapa aku merasa gelisah melihar chemistry mereka?” bisik Hana pelan.  Adegan demi adegan di layar itu pun terus berganti. Semakin lama raut wajah Hana semakin gelisah. Tidak ada lagi senyuman yang tergurat di sana. Dia bahkan tidak lagi fokus pada jalan cerita di film itu. Hana hanya terpaku pada sosok Samanta dan Nathan yang terlihat begitu mesra. Berbagai adegan yang disajikan kini terasa bagai duri yang menusuk hati. “Kenapa...? aku sudah sering melihat Nathan bermain film dengan wanita lainnya, tetapi perasaan apa ini? Aku paham semua itu hanya sebatas akting belaka. Akan tetapi kenapa hati ini menjadi tidak tenang?” Hana semakin gelisah duduk di kursinya. Tanpa dia sadari seorang pria yang duduk di sebelahnya kini menatap heran. Pria yang mengenakan topi dan masker yang menutupi wajahnya itu mulai merasa terganggu. Dia menatap Hana dengan tatapan sengit. Sesaat kemudian dia melepaskan maskernya dan bermaksud menghardik Hana, tapi belum sempat membuka mulut, pria itu terkejut melihat lelehan air mata yang mengalir di pipi Hana. Deg. Tatapan pria itu pun beralih ke layar bioskop. Pupil matanya pun bergetar melihat adegan itu. Layar besar itu tengah menampilkan sosok Nathan dan Samanta yang tengah berhubungan badan. Setiap adegannya terlihat begitu nyata. Raut wajah kedua bintang itu terlihat begitu b*******h. Semua penonton yang ada di ruangan itu begitu menikmati adegan panas yang sedang ditampilkan. Sebagian mulai menggigit bibir mereka sendiri. Sebagian terpaku dengan mulut menganga dan sebagian mulai menatap pada pasangan mereka yang duduk di sebelahnya. Gairah yang ditampilkan Jonathan dan Samanta sepertinya menular pada semua penonton, tapi tidak pada Hana dan pria yang duduk di sebelahnya itu. Air mata Hana mengucur lebih deras. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan agar suara tangisnya tidak terdengar. Hana ingin memalingkan pandangannya dari adegan itu, namun otaknya tidak bekerja memenuhi keinginannya. Dia masih saja menyaksikan semua adegan itu dengan mata bergetar. Kenapa Nathan melakukan hal itu? bukankah dulu dia sudah berjanji tidak akan pernah melakukan adegan seperti itu? Nathan sebelumnya bahkan menolak adegan berciuman demi menjaga perasaan Hana, namun kali ini? bukan hanya berciuman, adegan yang dia lakoni dengan perempuan cantik itu sudah melampaui batas. Pria yang duduk di samping Hana pun juga masih terpaku menatap layar. Pangkal gerahamnya kini beradu kuat. Kedua bola matanya sudah memerah. Dia terlihat begitu marah. Helaan napasnya bahkan terdengar memburu. Jemarinya meremas pembatas kursi dengan sangat kuat. Dia hampir berteriak meluapkan kekesalannya, namun niatnya itu terhenti di saat mendengar suara tangisan Hana yang tidak mampu lagi ditahannya. “M-maafkan aku...” bisik Hana begitu menyadari pria itu menatap padanya. Pria berkulit putih itu menatap heran. “K-kenapa kamu menangis?” “B-bukan apa-apa,” jawab Hana sambil terus menyeka sisa air matanya. Hana tidak lagi menatap ke layar. Dia hanya tertunduk dengan air mata yang terus saja menitik tak peduli betapa keras usahanya dalam menahan air mata itu. “Ada apa dengan perempuan ini?” Pria itu kemudian bangun dari duduknya dan langsung menarik tangan Hana untuk segera keluar dari sana. “A-ada apa?” Hana berseru kaget di saat pria itu menarik tangannya. Keadaan bioskop pun seketika ricuh karena para penonton mulai merasa terganggu. Hana yang kebingungan pun akhirnya memilih mengikuti pria itu. Hana dan pria itu pun keluar dari gedung bioskop itu. Hana bahkan hampir terjatuh karena langkah kaki pria itu terlalu panjang dan dia harus berlari-lari kecil untuk bisa menyeimbanginya. “A-ada apa?” Hana kembali bertanya setelah mereka tiba di luar gedung bioskop. Pria itu pun melepaskan tangan Hana, lalu beralih menatap langit. Dia berdiri membelakangi Hana sambil berkacak pinggang. Proporsi tubuh pria itu terlihat begitu sempurna. Sekilas penampilannya itu mengingatkan Hana pada sosok Nathan. Apalagi saat ini pria itu juga mengenakan masker yang menutupi wajahnya. “Kenapa kamu menyeret aku keluar?” Hana kembali bertanya. Pria itu berbalik, lalu melangkah mendekati Hana. Walaupun sebagian wajahnya tertutup masker, tapi Hana bisa tahu kalau pria itu sedang tersenyum. Hal itu terlihat dari sudut matanya yang sekarang sedikit memicing. “Maafkan aku... tetapi sesaat aku berpikir kalau kamu merasakan apa yang aku rasakan,” jawab pria itu. Hana memiringkan wajahnya karena tidak paham dengan penjelasan itu. “M-maksud kamu?” “Hahahaha... entahlah. Sekali maafkan aku. Aku hanya merasa kamu tidak ingin lagi berlama-lama menyaksikan adegan itu. Makanya aku membawa kamu keluar.” Hana meneguk ludah. Dia menatap kedua mata itu lekat-lekat. “Bagaimana bisa dia tahu apa yang aku rasakan?” “Sekali lagi maafkan aku, ya... semua itu hanya refleks sesaat. Aku tidak bermaksud apa-apa. Mungkin juga aku sudah salah menduga,” ucap pria itu lagi. Hana hanya tersenyum tipis. “Terima kasih....” Pria itu mengernyitkan dahinya. “Terima kasih?” “Ya... terima kasih karena telah membawa aku keluar dari sana.” Hana tersenyum dengan mata sendunya. Pria itu tidak bereaksi. Dia hanya menatap Hana lekat-lekat tanpa bersuara lagi. Bersamaan dengan itu sebuah mobil van warna hitam berhenti di depan sana. Kaca jendela mobil itu pun terbuka dan seorang pria langsung menjulurkan kepalanya. “Eshan...! ayo cepat pergi! Kita akan terlambat!” hardik pria itu dari dalam mobil. Eshan pun berbalik menatap Hana. “Aku harus segera pergi.” Eshan pun segera berlari memasuki mobil itu. Sedangkan Hana masih berdiri di tempatnya dan menyebut nama itu dengan suara lirih. “Eshan...?” _ Bersambung...    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN