Beberapa bulan kemudian.
Perjalanan di Jepang menjadi tak menyenangkan. Setiap mengingat itu, rasanya Ayudia ingin sekali menggetuk-getuk kepalanya sendiri. Sialnya lagi, ia memang tak bisa melupakan itu. Liburan khayalan yang ia bayangkan terjadi jauh dari kenyataan. Hanya meninggalkan kenangan pahit saja. Alih-alih hati terasa ringan, ia malah terbebani. Apa yang terbebani? Tentu saja hatinya.
Ia menghela nafas. Kemudian memijit kepalanya. Ia menatap ke arah jendela kantornya. Gedung-gedung di sini tidak setinggi Jakarta. Tapi suasana lalu lintasnya juga lumayan padat. Meski jalanannya jelas berbeda jauh. Apa yang membuatnya berlari ke sini?
"Apa maksudmu?"
Lelaki itu menatap ke arah depan. Ia tampak enggan menatap Ayudia yang berdiri di sebelahnya.
"Aku tahu kalau waktu bisa membuat siapa saja berubah termasuk perasaannya, Di."
Ayudia membeku kala itu. Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan pelan namun entah kenapa berhasil menusuk hatinya.
"Awalnya aku senang dengan kita yang kembali bersama. Menunggu setahun tak menjadi masalah asal kamu kembali padaku," tuturnya lantas ia menarik nafas dalam. Ia juga berat mengungkapkan ini. Apalagi dikala pertama kalinya ia bisa berjalan bersama Ayudia lagi. Ia menunggu setahun untuk bisa kembali bersama. Ia juga menunggu setahun untuk benar-benar bisa bertemu dengan Ayudia lagi sebagai sepasang kekasih. Seperti yang ia impikan selama setahun menunggu. "Tapi, Di, aku sadar sesuatu. Segalanya sudah berbeda."
Suara itu semakin memelan. Ayudia hanya bisa menatap lurus ke depan. Tak tau harus berkata apa. Hatinya tentu saja merasa bersalah. Meski di sisi lain....
"Aku bukannya ingin merusak kedatanganmu ke sini."
"Kamu gak merusak," potongnya. "Aku yang salah."
"Aku, Di. Andai aku gak meng--".
"Sudah lah, Kal. Aku sudah lupa akan hal itu. Ketika akhirnya memutuskan untuk menerimamu kembali pun alasanku sama. Apa yang sudah terjadi, tak ingin ku bahas lagi."
Tangan Haykal terkepal. Lelaki itu menahan sakit di dalam hati. "Hubungan kita sudah jauh berbeda. Boleh saja kita memiliki status apa yang dimaksud kebanyakan orang. Tapi..."
"Tapi kamu merasa ganjil? Merasa tidak dicintai?" potong Ayudia lagi. Kini gadis itu menatapnya dengan raut wajah datar. Raut wajah yang tak bisa dimengerti. "Mungkin aku yang salah memilih cara untuk menghargai perasaan orang lain."
"Menghargai?"
Nadanya menaik. Ayudia mengalihkan tatapannya. Matanya sudah memerah. Meski wajahnya sama sekali tak berekspresi.
"Aku gak mau menyalahkan apapun yang sudah terjadi." Ia menghela nafas. "Tapi memang salahku," ucapnya pelan.
"Aku yang salah, Di. Aku terlalu memaksamu."
Ayudia menoleh lantas menarik tangannya. "Kamu gak salah."
Tapi lelaki itu menggelengkan kepala. "Dii..."
@@@
"Okay, we'll meet again. See you later, guys!" tuturnya pada rombongan bule yang berjalan lurus. Lambaian tangannya dibalas dengan senyuman ceria mereka. Sementara ia berbelok ke pintu keberangkatan yang lain. Ia hendak pergi dengan pesawat hari ini ke sebuah kota yang berada di Jawa Tengah. Letaknya tak jauh dari Yogyakarta.
Ia mengambil duduk di sebuah kursi kemudian mengeluarkan laptopnya. Ia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi. Ia sedang membuat desain taman untuk sebuah taman bermain yang cukup besar di sebuah tempat rekreasi. Proyek ini tentunya proyek besar.
"Lama menunggu?" tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia agak kaget lantas mengangguk-angguk dengan senyuman.
"Baru saja Pak Adit," tuturnya dengan ramah sembari membalas uluran tangan itu. Ia menjabat tangannya dengan erat. Kemudian tatapannya beralih pada lelaki yang juga ikut duduk di dekatnya.
"Ah ya, kenalkan ini Ardan. Rekan kerja saya juga. Dia yang ngurusin pemasokan material," sebutnya yang membuat Fatir mengangguk-angguk. Kedua lelaki di depannya ini tampak seumuran dan tentu saja lebih tua darinya.
"Fatir, Pak."
"Ardan."
"Panggil Abang aja," tuturnya yang membuat Fatir terkekeh. "Kalo dia gak masalah lo panggil Pak juga. Karena emang udah bapak-bapak."
Tutur katanya membuat Fatir tertawa. Adit yang dimaksud sebagai bapak-bapak itu pun juga tertawa. Yeah, calon bapak sih lebih tepatnya.
"Ini kartu nama saya. Kemarin saya lupa ngasih ke kamu."
Fatir mengangguk. Ia segera menyimpan kartu nama itu.
"Ah ya, kami tidak bisa lama, Fatir. Untuk urusan proyek itu bagaimana perkembangannya?"
"Saat ini masih dalam proses. Kita juga sedang mencari tender. Karena jujur saja, pemerintah tidak ada dana. Paling ya mengandalkan investor luar yang bersedia berperan ganda."
Adit mengangguk-angguk. Ia tentu saja menanyakan perkembangan proyek lain terkait pembangunan bandara baru.
"Lalu bagaimana dengan tawaran saya kemarin?"
Ia mencoba bernegosiasi lagi. Siapa tahu lelaki di depannya ini berubah pikiran. Fatir menghela nafas. Semalam, ia sudah berbicara tentang hal ini pada keluarganya. Lantas apa jawaban Mamanya?
"Bekerja di swasta lebih riskan, Fatir. Karena tidak semua swasta bonafit. Kalau kamu tetap di BUMN, masa tua terjamin. Tidak perlu pusing-pusing lagi."
Sebagai salah satu aparatur negara, tentu saja ibunya akan menyarankan hal itu. Ibunya memang menyukai sesuatu yang berbau dengan hal-hal pasti.
"Kalau Abang, Tir, lebih memilih swasta. Karena pekerjaanmu lebih dihargai. Memang tidak semua swasta bisa menghargai pekerjaan karyawannya. Tapi di swasta yang jujur dan berintegritas akan memacu daya saing yang bagus. Tidak ada istilah naik jabatan karena KKN. Tidak seperti di kebanyakan BUMN. Untuk masuk saja perlu orang dalam sekalipun seleksinya dibuka secara nasional."
Itu kata-kata abang tertuanya. Ia sebetulnya punya keinginan untuk meninggalkan tempat kerja yang sekarang. Karena apa? Karena seperti yang abangnya bilang, pekerjaannya terkadang kurang dihargai. Dalam artian, kalau mau naik posisi ya harus ada banyak lobi dengan para atasan. Tidak bisa hanya mengandalkan prestasi. Sementara lelaki di depannya ini menawarkannya untuk bergabung ke dalam perusahaannya. Ia sudah mengeceknya, perusahaan lelaki ini berada di bawah dua koorporat besar di Indonesia. Dari segi gaji, ia yakin pasti jauh lebih besar dibandingkan dengan gajinya sekarang. Ia juga mendengar kalau masa tua sudah terjamin. Ia hanya perlu bekerja keras di sana. Karena siapa yang bekerja keras maka ia lah yang akan bertahan sampai akhir. Yang jadi masalah adalah Fatir masih ragu dan kadang agak-agak pengecut. Ia terkadang sulit meninggalkan zona nyamannya seperti sekarang.
"Maaf, Pak. Saya belum bisa memberikan keputusan."
Adit mengangguk. Lelaki itu paham. "Saya hanya punya waktu paling lama satu bulan. Kalau tak ada jawaban, maka penawaran ini hangus, Fatir," tuturnya yang dibalas dengan anggukan oleh Fatir. Ia tak enak hati sebetulnya dan bersyukur sekali karena lelaki ini masih mau memperpanjang waktu. Itu artinya, kehadirannya sangat diharapkan. Pertemuan tak sengaja dengan lelaki ini ternyata membawa rejeki. "Kalau begitu, kami pamit dulu, Fatir," tuturnya yang lagi-lagi dibalas dengan anggukan kepala dan helaan nafas. Fatir melihat kedua orang itu pergi menjauh. Entah bagaimana keduanya bisa menyusup ke sini. Namun ia berpendapat kalau keduanya juga akan terbang hari ini. Mungkin tujuannya saja yang berbeda dengannya.
Selama berada di atas pesawat, Fatir merenungkan kejadian tadi. Ia sebetulnya merasa rugi jika menolak kesempatan untuk bergabung. Karena dari pengalaman teman-temannya. Tidak mudah untuk menembus masuk ke perusahaan itu. Kriterianya begitu tinggi dan tesnya sangat ribet juga sulit. Lah ia? Lagi-lagi kesempatan yang datang padanya bagus sekali. Sungguh sangat disayangkan jika ia lewatkan. Namun ia masih perlu berpikir panjang. Ia hanya perlu mengambil keputusan namun ternyata mengambil keputusan itu tidak gampang. Butuh pemikiran panjang dan lapang.
@@@
Liburaaaaaaaan
Ifah memamerkan foto-foto juga videonya di Karimunjawa. Gadis itu datang ke sana lagi. Setelah menganggur hampir dua tahun, gadis itu akhirnya membuka usaha. Lalu datang ke sana untuk photoshoot. Ifah kan pandai mengambil gambar. Sudah jelas, pekerjaan sampingannya sebagai fotografer lepas. Selain fotografer, gadis itu juga membuka usaha bersama saudaranya. Sementara Ayudia sedang berada di dalam mobil. Ia menaiki travel sepagi ini untuk berangkat ke Jepara. Ada pekerjaan di sana, lebih tepatnya mengaudit sebuah perusahaan. Ayudia kan bekerja untuk konsultan keuangan.
Gue otewe Jepara doong
Aaah seriusan lo?
Ayudia terkekeh. Tentu saja. Ia juga membalas pesan Ifah dengan foto dan video sebagai pertanda kalau ia benar-benar di jalan menuju Jepara.
Nyusul dong! Mumpung gue lumayan lama di sini. Nanti nginepnya di tempat gue aja, Di. Kan besok sabtu, pasti bisa mampir! Tinggal naik kapal doang!
Ayudia terkekeh. Ia juga ingin menyusul tapi tak bisa berjanji. Akhir-akhir ini ia mudah lelah.
Dua jam kemudian, ia tiba di Jepara. Begitu turun, ia lekas bergabung dengan tim audit. Setelah pembukaan sebentar, berbagi lokasi, Ayudia segera berangkat menuju ruangan yang telah ditentukan. Ia sibuk dengan pekerjaannya dan tampak fokus. Omong-omong penampilannya cantik sekali hari ini. Ia mengenakan celana high waist berwarna putih dan blouse di mana kedua tangannya menggembung bagai balon. Rambutnya dikuncir ekor kuda yang mengayun mengikuti irama kepalanya. Senyumnya ramah dan manis. Ia memang cantik dan tidak bosan dipandang. Sekali tatap, banyak lelaki yang tertarik namun tak pernah digubris. Baginya, jatuh cinta itu tidak mudah. Dan ini tidak ada urusannya dengan membuka hati atau tidak. Karena baginya, cinta itu memang tidak bisa dipaksakan sebab bukan ia yang memilih melainkan hatinya.
Usai makan malam bersama auditor lain, Ayudia pamit. Gadis itu menginap di hotel malam ini. Ia tak mungkin langsung kembali ke Semarang. Selain karena ia sedang bosan, ia juga ingin berlibur. Usai mandi, keningnya berkerut melihat Ifah yang berulang kali menghubunginya. Sepertinya gadis itu serius sekali dengan rencana liburannya.
"Heh! Dari siang gue tungguin!"
Ayudia terkekeh. Ia bahkan baru saja mendial dan langsung diangkat. Begitu diangkat malah diomeli. Ckckck!
"Gue kan gak bilang apa-apa."
"Iiish! Mumpung tauuk! Lo gak kangen sama gue emangnya? Mumpung gue di Karimun nih. Kan deket! Lo tinggal ke pelabuhan aja. Apa susahnya?"
Ayudia menghela nafas. Ya memang sih, ia hampir tak pernah bertemu lagi dengan Ifah semenjak dimutasi ke Semarang. Meski gadis itu lebih banyak di rumah dan tak ke mana-mana. Sementara kan, ia sibuk kerja di Jakarta waktu itu. Azka? Gadis itu juga sibuk di Tangerang. Meski Tangerang-Jakarta sangat dekat tapi dua tahun terakhir, mereka sulit berkumpul. Kalau Dilla sih tak usah ditanya keberadaannya karena gadis Aceh itu sudah pulang kampung usai lulus.
"Diiiiii!"
"Iyaaa-iyaaaa baweeeeel!" tuturnya yang membuat Ifah tertawa. Ini nih yang ia sukai dari Ayudia. Gadis itu selalu tidak bisa menolak permintaan mereka. Alhasil, pagi-pagi sekali Ayudia sudah keluar dari hotel. Ia membawa ranselnya dan masuk ke dalam taksi. Setengah jam kemudian, ia sudah sampai di Pelabuhan Kartini.
Ia sempat kebingungan saat membeli tiket. Kebanyakan tiket sudah di-booking para bos travel. Dulu kan ia datang ke sini dengan jasa travel. Kalau sekarang, ia datang sendirian dan mendadak pula. Tapi nekat saja membeli tiket pulang-pergi. Ia akan pulang besok pagi agar siangnya sudah tiba di Semarang. Tubuhnya juga perlu beristirahat untuk disambung bekerja hari Senin nanti.
Petugas menyuruhnya untuk segera masuk saja ke dalam kapal, ia mengiyakan. Dengan santainya, ia berjalan menuju kapal putih besar, sama persis dengan yang pernah ia naiki dulu. Hal yang membuat kenangan indah di sini kembali membuat dikepalanya. Ia juga teringat candaan-candaannya dan teman-temannya dikala berlari menuju kapal. Ia masih ingat wajah bahagia mereka saat itu. Perjalanan bersama teman itu memang selalu menyenangkan. Meski terkadang pasti ada kisah yang tidak enak dihati.
Ayudia menaiki tangga hingga ke lantai paling atas. Ia masih ingat kalau di lantai paling atas dari kapal ini, terdapat beberapa kursi pantai dan bangku panjang untuk duduk. Angin sepoi-sepoi dan pemandangan laut di depan mata adalah hal yang paling ia sukai. Benar saja, ketika tiba di lantai paling atas, angin langsung menyibak rambutnya. Kemeja yang ia kenakan juga berterbangan. Kemejanya tak dikancing dan ia mengenakan kaos di dalamnya. Ia malas memakai jaket tapi angin laut ini terkadang kurang bagus untuk ketahanan tubuhnya. Terkadang ia mudah sakit. Ia mengambil duduk di sebuah bangku yang letaknya tak jauh dari pagar kapal. Kemudian menurunkan tasnya serta mengeluarkan topi. Kacamata ia kaitkan dikaosnya kemudian ia mengeluarkan ponselnya.
Gue oteweee
Ia mengirim pesan itu beserta video singkat pada Ifah. Kemudian terkekeh begitu membaca balasannya. Sahabatnya itu girang sekali karena ia benar-benar datang menyusul. Benar-benar perjalanan yang tak terencana. Suara klakson kapal berbunyi panjang sebagai pertanda kalau kapal akan berangkat. Kapal ini berangkat tepat jam enam pagi.
Ayudia menghela nafas. Kapal ini begitu ramai namun karena ia sendirian, jadi terasa sepi. Bosan duduk di atas kursi, ia memilih berdiri di pagar kapal sembari menatap birunya laut di bawah sana. Pikirannya melayang-layang pada masa lalu silam. Aaah, ia hampir melupakan sebuah kenangan yang pernah terjadi dalam perjalanannya ke Karimunjawa kala itu. Apa?
"Long time no see," ucap seseorang yang menyadarkannya dari keterlamunan. Ia menoleh dan agak kaget dengan sosok lelaki yang menjulang tinggi, berdiri rak jauh darinya dengan senyuman khasnya. Dia....
"Apa kabar, Di?" tanyanya seraya menggaruk tengkuknya. Agak-agak grogi meski masih terlihat cool di depan Ayudia.
Lama tak bertemu, Fatir
@@@