Dua tahun kemudian.
Baik-baik di sanaaa Di. Jangan lupa oleh-oleh!
Itu pesan dari Azka. Ia membacanya tepat sesaat sebelum ia mematikan ponsel. Pesawat yang ia tumpangi akan membawanya ke negeri sakura. Ia tersenyum kecil. Dua tahun bekerja, ia baru punya kesempatan untuk berangkat ke sana. Dua tahun bukan waktu yang lama tapi memang sangat terasa lama.
Ia tak pernah selama itu berada di dalam pesawat. Tapi perjalanan ini membuatnya tak merasa bosan. Mungkin karena ia senang sekali akan berangkat ke luar negeri? Ke Jepang? Untuk pertama kalinya?
Hampir delapan jam berada di pesawat, akhirnya ia tiba di Tokyo. Ayudia membuka matanya ketika mendengar pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat. Ia menutup jendela kemudian merapikan selimutnya. Saat pesawat benar-benar berhenti, ia segera menyalakan ponselnya. Waktu pada ponselnya berubah secara otomatis, menyesuaikan waktu di Tokyo. Perbedaan Jakarta dan Tokyo hanya dua jam.
Saat akan turun dari pesawat, Ayudia mengenakan jaket tebal yang sedari Jakarta hanya ia sampirkan di bahunya. Kemudian ia mengambil tas kecilnya. Tak lama, ia sudah bergabung dengan penumpang lain untuk mengantri keluar dari pesawat dan dilanjutkan dengan mengantri di imigrasi. Setelah semua urusan selesai, ia mengambil bagasi. Tidak butuh waktu lama untuk mengambil kopernya. Ia hanya membawa koper kecil dan juga ransel kecil. Sebelum keluar, ia berhenti sebentar untuk menanyakan password wifi gratis di bandara kepada petugas bandara. Begitu dapat, ponselnya langsung tersambung pada internet bahkan langsung berdering.
"Kamu di mana?"
Ia tersenyum tipis. Begitu berbelok, ia malah melihat orang yang meneleponnya. Telepon dimatikan dan gantinya, orang itu menyambutnya dengan senyuman tipis.
"Welcome to Tokyo, sweety," ucapnya yang disambut kekehan milih Ayudia. Gadis berjalan mendekat. Ia biar kan koper kecilnya diambil alih. Namun ketika hendak melangkah, tangannya ditarik. Detik selanjutnya, orang itu mengalungkan syal dilehernya. "Aku kan sudah bilang, meski musim semi, suhu di sini tetap dingin," ujarnya yang membuat Ayudia terkekeh.
Ayudia tersenyum kecil melihat lelaki itu membawa kopernya dan memasukannya ke dalam mobil. Kemudian lelaki itu menyuruhnya segera masuk ke dalam mobil.
"Aku akan mentraktirmu ke ramen terenak di sini. Dingin-dingin begini paling enak makan mie," tuturnya ketika ikut masuk ke dalam mobil.
Ayudia menghela nafas. Ia melirik lelaki yang baru saja menyalakan mesin mobil itu.
"Merindukanku?" tanyanya. Ia merasa jika Ayudia terus menatapnya makanya ia bertanya. Ayudia tertawa kecil mendengar pertanyaan itu.
"Kamu makin kurus."
Lelaki itu terkekeh. "Mungkin terlalu keras bekerja," ujarnya.
"Sesekali istirahat lah. Tubuh juga perlu istirahat."
Lelaki itu tersenyum kecil. "Aku hanya ingin mengusahakan yang terbaik," ujarnya pelan.
"Tapi tubuh tetap butuh istirahat, Kal."
Lelaki itu terkekeh lantas menoleh ke arah Ayudia. "I know, you are the best girl that i've ever had."
@@@
"Fatir!"
Lelaki itu menoleh.
"Kamu akan pergi ke mana?" tanyanya terbata-bata begitu berhasil menjajari langkah Fatir. Bahasa Indonesianya sudah jauh lebih baik dibanding dua tahun lalu ketika pertama kali bertemu Fatir.
"Aku akan bertemu Prof Evelinne. Ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan dengannya. Kamu mau ikut?"
Gadis itu tersenyum kecil. Dengan senang hati, ia mengikuti langkah Fatir. Keduanya berjalan memasuki gedung kampus yang begitu modern meski terletak di pinggiran sawah. Fatir sengaja mengambil kampus di pinggiran kota seperti ini, agar apa? Agar bisa menikmati suasana pedesaan yang begitu modern. Alamnya terjaga, meski banyak perkembangan bangunan modern di sekitarnya. Selama dua tahun ini pun, Fatir hanya menggunakan sepeda untuk berangkat ke kampus. Setiap pagi, ia melewati sawah-sawah hijau dengan senyuman. Sore hari, ia menatap senja kemerahan yang tampak indah. Sungguh pemandangan yang jarang ia dapatkan di Jakarta. Di Bandung? Ia harus ke Lembang untuk menikmati semua itu.
Usai berdiskusi, ia berjalan keluar menuju parkiran sepedanya. Ia hampir lupa kalau gadis itu masih mengintilinya.
"Kamu akan ke mana, Fatir?"
"Oh," ia membuka kunci sepedanya. "Aku hendak pulang, Belle," tuturnya.
"Oh. Aku boleh menumpang?"
"Lain kali saja. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu," tuturnya yang dibalas dengan senyum mafhum. Perempuan itu mengerti.
Fatir pamit pulang. Ia hanya ingin sendirian saat ini. Ia mengendarai sepedanya menuju rumah yang ia sewa bersama beberapa teman lainnya. Menyewa rumah lebuh murah dibandingkan tinggal di kamar kos. Tidak ada apartemen di sekitar sini. Yang ada hanya asrama. Tapi sayangnya, asramanya sudah penuh.
Tiba di rumah, ia mengunci sepedanya. Kemudian masuk ke dalam rumah usai melepaskan sepatu. Teman-temannya belum pulang karena ia melihat pintu masih terkunci. Ia melempar tasnya begitu saja ke atas nakas kemudian duduk di atas tempat tidur. Ia merasa agak lelah. Dua tahun ini menyenangkan sekaligus menyusahkan. Namanya juga hidup. Tidak ada yang akan semulus jalan tol. Semua selalu ada hambatannya. Sekeras apapun hambatannya, pada akhirnya siapapun akan bisa mengatasinya. Kenapa? Karena Tuhan tidak pernah memberikan beban berlebihan pada hamba-Nya. Dia selalu memberikan beban yang sepadan dengan kemampuan hamba-Nya.
Fatir membuka ponselnya. Lelaki itu terbiasa membuka salah satu media sosialnya kemudian membuka akun yang.....
"Jepang," tuturnya lantas menyandarkan punggungnya pada tembok. Kemudian ia membuka foto-foto lain. Tak ada yang mencurigakan. Kebanyakan foto yang di posting memang hanya pemandangan alam. Fatir menghela nafas panjang. Entah kenapa, dua tahun berlalu ia tetap mencari perempuan ini. Tetap melihatnya meski pernah patah hati. Eh atau sampai sekarang patah hati?
Dia masih dengan lelaki itu?
Ia mengirim pesan itu melalui aplikasi media sosial yang sama. Namun belum ada balasan. Akhirnya, ia berjalan menuju kamar mandi. Ia mandi sebentar lalu mengganti bajunya. Begitu keluar dan melihat layar ponselnya, matanya melebar.
Gak usah bertanya kalau masih patah hati
Fatir menghela nafas. Ini lah keanehannya. Ia sudah tahu apa jawabannya tapi masih suka bertanya.
Jadi benar?
Menurut lo?
Mereka gak berencana untuk putus?
Kenapa gak lo tembak aja si Dia?
Haaash. Fatir menghela nafas keras kemudian menaruh ponselnya kembali ke atas nakas. Ia mana berani menembak perempuan. Mamanya akan marah hebat. Oke, ia selama ini memang hanya takut pada mamanya jika urusannya dengan perempuan.
Usai makan malam sendirian, ia kembali ke kamarnya. Teman-temannya masih belum pulang. Sepertinya masih lembur di perpustakaan. Ia satu-satunya yang hampir menyelesaikan tesis. Nyatanya, kuliah di sini tidak lah mudah. Banyak yang gagal lulus tepat waktu. Fatir masih harus beruntung untuk persoalan ini.
Kalo masih suka sama Dia, bilang keleus
Orang itu masih meladeninya. Tetapi ia baru membuka pesan itu. Fatir menghela nafas panjang.
Apa menikung sebuah dosa?
Hahaha! Tanyakan pada diri sendiri, Fatir
@@@
"Mau aku foto di sana?" tawarnya.
Ayudia terkekeh. Dengan senang hati, gadis itu berpose. Ia tentu tak akan melewatkan jalanan ramai di Shibuya. Kemarin, ia hanya makan ramen dan berjalan sebentar di malam hari di sekitar Stasiun Tokyo. Kemudian Haykal mengajaknya untuk beristirahat di hotel. Ah, tentu saja berbeda kamar. Mana berani Haykal macam-macam. Pagi-pagi sekali, Haykal kembali mengajaknya keluar untuk sarapan kemudian berjalan ke Shibuya hanya untuk melihat Hachiko dan berfoto di jalanan yang sangat ramai dan selalu viral. Haykal tersenyum kecil melihat senyuman manis yang jarang dilihatnya. Dua tahun bukan waktu yang cepat untuknya juga Dia agar bisa kembali bersama.
"Mau melihat Tokyo dari atas?" tanyanya usai berfoto ria.
Ayudia masih asyik menatap foto-foto yang ada di ponsel Haykal. "Heum?"
"Aku mau mengajakmu jalan-jalan ke tempat yang lebih tinggi," ujarnya. Ayudia menoleh ketika tangan itu terulur ke arahnya. "Mau?" bujuknya. Ayudia tersenyum kecil. Gadis itu menyambut uluran tangannya dengan senang hati. Haukal tersenyum kecil. Kemudian keduanya berjalan menuju mobil.
Haykal membawanya ke Roppongi Hills Mori Tower.
Di gedung ini, terdapat Mori Art Museum, Tokyo City View Observation Deck dan juga Rooftop Sky Deck. Haykal sengaja mengajak Ayudia ke sana untuk melihat Tokyo dari ketinggian. Agar Ayudia bisa melihat keseluruhan Tokyo. Yeah, tidak secara menyeluruh. Tapi akan terasa lebih romantis.
Ayudia menyandarkan tubuhnya. Selama dua tahun ini, ia baru kembali bertemu dengan Haykal. Lelaki ini tak kunjung pulang ke Indonesia. Ayudia tahu dan paham kalau lelaki ini sungguh sibuk di sini. Ia sering lembur bahkan kini terlihat sangat kurus dibandingkan dua tahun lalu. Sementara Ayudia bekerja santai di Jakarta.
"Kamu tahu? Aku selalu memimpikan hal ini," tuturnya ketika keduanya tiba di Rooftop. Ayudia menoleh karena merasakan tangannya dipegang dengan erat. "Berdiri di sini, berdua denganmu, Di. Dua tahun kita tak bertemu, baru ini kamu datang menyusulku."
Ayudia berdeham mendengarnya. Agak merasa bersalah persoalan ini. Tapi waktu dan jarak emang tak memungkinkan untuk bertemu. Satu tahun pertama, ia terus merenungkan hal ini. Hal apa? Merenungkan apakah ia yakin mau kembali pada lelaki ini atau tidak. Ya, setahun ia memikirkan ini dan akhirnya memilih kembali pada mantan yang telah menyakiti. Terkadang perempuan memang lemah akan pikirannya sendiri. Dan Ayudia merupakan salah satu di antaranya.
Haykal tampak menarik nafas panjang. Sebetulnya, setengah tahun ini sangat menganggunya. "Di," panggilnya.
"Heum?" tanya gadis itu sambil fokus pada kamera ponselnya. Ia sibuk mengambil gambar dari atas. Sementara Haykal melihat ke arahnya dengan wajah yang sulit diartikan.
"Apa arti hubungan ini?" tanyanya. Ia hanya merasa jika Ayudia tak seperti dulu. Seperti keduanya masih bersama sejak pertama dan bukan seperti saat ini. Ia bisa merasakan perbedaan yang sangat besar antara Ayudia yang dulu dan sekarang. Perempuan ini tak terlihat seperti mencintainya?
Ayudia menurunkan ponselnya dengan perlahan kemudian menoleh pada lelaki yang menatapnya dengan begitu serius.
"Apa maksudmu?"
@@@
Fatir membenarkan kata ibunya, ternyata memang lebih baik fokus pada masa depan dibandingkan dengan mengurus perempuan. Kalau ia hanya fokus pada perasaan, mungkin ia tak akan pernah berdiri di sini bersama keluarganya dan berfoto ria. Ia tersenyum lebar demi mengabadikan foto wisuda. Rasanya tuntas sudah janjinya untuk menyelesaikan perkuliahan ini. Ibunya juga tampak gembira sekali. Hal yang membuatnya tersenyum kecil.
Terkadang, ia merasa jika orangtua terlalu memaksakan kehendak mereka agar anak mau melakukan apa yang mereka inginkan. Dulu, Fatir beranggapan seperti itu. Tak jarang, ia merasa marah juga benci karena dipaksa untuk melakukan ini dan itu. Namun pada akhirnya, ia lah yang harus berterima kasih. Karena tanpa pecut dari orangtuanya, ia tidak akan berada di titik ini bukan?
"Jangan hanya belajar, Fatir. Cari lah perempuan," tutur Ayahnya ketika ia hendak tidur. Fatir hanya tersenyum kecil mendengarnya. Lalu ia berjalan masuk ke dalam kamar hotel di mana keluarganya menginap. Hotel ini berada cukup jauh dari kampusnya. Lusa nanti, ia akan kembali ke Indonesia bersama keluarganya. Usai menuntaskan perkuliahan, ia akan masuk ke dalam dunia kerja.
Selamat, Tir, atas wisudanya!
Itu pesan dari Wayan. Ia membalas dengan senyuman dan terima kasih. Keluarga besarnya tentu tak ikut ke Belanda. Yang datang hanya kedua orangtuanya dan kedua kakak lelakinya yang masih jomblo. Ia sudah diwanti-wanti untuk tidak melangkahi mereka dengan urusan pernikahan. Hal yang membuat Fatir tertawa.
Fatir merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menghitung usianya yang menginjak 23 tahun. Untuk ukuran lelaki, diusia seperti ini tentu saja terlalu muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan bukan? Dan lagi, ia juga ingin fokus bekerja dan memapankan diri. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat email kelulusan dari sebuah BUMN di Indonesia. Ia akan bekerja di sana. Hidupnya seakan mulus bukan? Tapi tekanannya sangat luar biasa. Apalagi ketika egonya harus ia turunkan demi bakti kepada orangtua. Namun tetap lah, ia harus banyak berterima kasih kepada mereka.
Dia udah balik?
Pesan itu ia kirim tepat disaat orang yang ia hubungi itu sedang online. Pas sekali waktunya, pikirnya.
Dari kapan tau, Fatir
Ia tersenyum kecil. Ia tidak berniat membalasnya lagi tapi orang itu kebaki mengirimkan pesan.
Udah di Indo lagi?
Nanya gue?
Iye lah. Nanya siapa lagi emangnya?
Fatir terkekeh.
Kenapa?
Hanya menebak. Kan sudah dua tahun. Harusnya udah selesai kuliah dong.
Fatir manggut-manggut. Benar juga analisanya. Tapi hak sekecil itu tentu saja mudah ditebak bukan?
Kurang lebih begitu.
Bakal ketemu Ayudia lagi dong.
Mungkin
Mungkin kalau Tuhan mau mempertemukan?
Bisa jadi
Lo nyebelin emang!
Hahaha!
Ia terkekeh. Namun tak ada lagi balasan.
Dia apa kabar?
Lo pasti tahu lah
Dia udah jarang posting
Aaaah. Gue lupa bilang
Bilang apa?
Dia di Semarang.
Oh? Ngapain?
Kerja lah!
Sejauh itu?
Jakarta-Semarang masih lebih dekat dibanding Jakarta-Wageningen, Fatir
Fatir terkekeh lagi. Betul juga, pikirnya.
Terus?
Kerja!
Maksud gue, berapa lama? Dia dinas atau gimana?
Dimutasi.
Aaaah. Fatir mengangguk-angguk.
Berencana menyusul?
Ia tertawa membaca pesan itu.
Serius gue nanya.
Memangnya kenapa?
Cuma penasaran. Lo emang serius atau cuma sekedar ingin tahu soal Dia aja.
Menurut lo?
Gue gak bisa baca perasaan orang, Fatir.
Tapi lo bisa menebak
Tebakan gue selalu salah
Masa?
Lo orang paling jengkelin tahu gak?
Fatir tertawa lagi.
Kalo lo emang serius sama Dia, kejar lah. Urusan kuliah udah beres kan?
Fatir menghembuskan nafas. Tapi tidak semudah itu. Ia yakin jika Ayudia tak akan lepas dari kekasihnya. Mana mungkin gadis itu memilihnya? Memilih orang yang belum lama dikenalnya?
@@@