Crush On You At Petronas : Part 10

2017 Kata
"Dia beneran tertarik sama gue?" Hahaha. Itu lah yang tiba-tiba muncul di kepala Aswin usai mendengar kata-kata marah dari Agni. Alih-alih tersinggung. Perbedaan cinta dan benci yang memang terlalu tipis itu memang sepertinya benar adanya. Keduanya mungkin sama-sama tak sadar. Tapi ini lebih berbahaya bagi Agni yang tidak bisa menahan diri untuk masuk ke dalam lubang kebencian itu. "There's no impossible things to fall in love with someone. Even she is an enemy for you, bro," ledek Ridho yanh tentu saja membuat Aswin memelototkan matanya. Karena dengan seenaknya berbicara begitu. Ridho tertawa melihat reaksi kejam Aswin yang terang-terangan menolak. Namun di sisi lain, ia mulai ragu. "Gue sebagai sahabat cuma mau mengingatkan. Kalau segala hal yang dinamakan tidak mungkin itu jelas tidak ada jika urusannya sama Tuhan." Itu kata-kata kece yang ia tinggalkan pada Aswin. Lelaki itu hanya bergeming. Memang tak bisa menyangkal. Ia bahkan tak bisa menghapus pikiran tentang Agni. Setiba di Jakarta sejak semalam, ia sebetulnya gelisah. Karena apa? Karena meninggalkan Agni lebih dulu. Tapi itu ia lakukan karena takut perasaannya benar-benar jatuh pada perempuan itu. Haaah! Ini sungguh perihal yang sangat berat. Pagi ini, ia mulai lagi dengan kesibukannya di Jakarta. Kerutinan yang sebetulnya agak membosankan dibandingkan dengan berada di Kuala Lumpur. Mungkin ia betah hidup di sana dan sudah bosan di sini. Itu sesuatu yang wajar jika rutinitas seseorang hanya berkutat pada hal yang sama. Omong-omong, ia baru saja keluar dari kamar mandi dan hendak bergerak cepat. Namun begitu melihat ponselnya berdering, ia menoleh dan mengangkat telepon itu tanpa berpikir panjang. Lalu terpaku saat menerima telepon itu. "Pulang lah sebentar, Aswin. Setidaknya, meski dia banyak menyakiti hatimu, jangan balas dengan keburukan yang sama. Apalagi orangnya sudah meninggal." Rasanya benar-benar tak percaya mendengar kabar itu. Butuh beberapa menit untuk Aswin sadar dari kenyataan yang baru saja menimpanya. Setelah benar-benar sadar ia akhirnya beranjak. Ia mengganti semua bajunya dan bergerak mengambil beberapa baju lain untuk dibawa ke kampung halaman. Pulang kampung secara mendadak menjadi pilihan terbaik saat ini. Aswin baru menelepon Farrel saat ia sudah mengebut di jalan. Tak ada jalan lain yang bisa ia tempuh untuk mengejar pemakaman hari ini. Meski kemudian mendapat kabar dari kakak laki-lakinya yang mengatakan kalau jenazahnya masih transit di Jakarta. Aswin benar-benar tertegun dengan apa yang terjadi. Ingat kan? Baru beberapa hari yang lalu ia bertemu Sri. Kurang dari seminggu sejak kejadian itu, perempuan itu meninggal. Katanya matu mengenaskan ditabrak mobil di sebuah jalan di dekat Johor Bahru. Ada rasa bersalah yang sebetulnya merayap di hatinya. Karena ia menahan diri untuk tak menolong gadis itu ia melakukan itu memang agar tak mengasihani orang lain lagi. Lelah jika menjadi orang yang terlalu baik. Tapi yang namanya kebaikan itu seharusnya memang tak ada batasnya. Iya kan? "Bos, maaf, Aswin izin beberapa hari untuk pulang kampung karena ada kerabat yang meninggal." Farrel tentu mengiyakan permintaannya. Lelaki itu juga turut mengucapkan bela sungkawa. Aswin hanya berterima kasih lalu kembali fokus pada setir mobilnya. Ia masih bisa mengejar pemakaman hari ini. Tentunya ia akan tiba lebih dulu dibandingkan jenazah Sri. Ada banyak skenario yang muncul di dalam kepalanya. Soal kematian perempuan itu. Ia yakin kalau ada hubungannya dengan mafia s****n itu. Kalau tidak, mana mungkin mati begitu saja tanpa penjelasan. Mudah bagi mereka yang memang tak ada beban untuk berbuat jahat, untuk terus mengulang perbuatan yang sama. @@@ "Aswin ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Agni menutup mulutnya dengan spontan tapi sudah terlambat. Ridho dan Millana yang mendengar itu pun terbahak. Harusnya ia memang bertemu juga dengan Aswin selama beberapa hari ke depan. Tapi cowok itu justru tak terlihat. "Kangen lo?" "Ciyeee! Ciyeee!" Kampret memang, tukasnya dalam hati. Ia hanya bisa mendumel. Sementara dua orang di depannya ini masiht terbahak. Agni mendengus. Ia berpura-pura sibuk dengan makanannya. Millana menarik kursi di sampingnya sementara Ridho duduk di depannya. Agni menghela nafas. "Mantannya si Aswin meninggal. Jadi dia pulang beberapa hari." Ooh. Agni mengangguk-angguk. Ia baru tahu kalau itu jawabannya. "Yang kemarin itu?" tanyanya. "Menurut lo siapa lagi?" Agni mengendikan bahu. Ia mana tahu banyak tentang Aswin. "Tapi salut gue. Udah disakiti sedemikian banyak, dia masih berbaik hati mau datang ke pemakaman. Kalau gue? Ogah banget!" Millana tertawa. Ia juga sih. Tapi lagi-lagi Aswin memang orangnya sebaik itu. Dan Agni pun menyadarinya. Namun hal ini malah membuatnya takut dan was-was. Hahaha. "Kalau sudah lama saling kenal. Satu kampung pula. Gak mungkin Aswin gak pulang lah, Do. Ada rasa tanggung jawab yang setidaknya masih tersisa. Meski harusnya orangtua cewek itu sadar diri atas apa yang dilakukan anaknya. Iya kan, Ag?" "Ngapain lo minta persetujuan gue," dumel Agni yang membuat meja itu kembali berisik dengan tawa. Bukan tanpa alasan sih. Tapi Agni malas saja karena diledek mereka. Cuma ya sudah lah. Ia biasanya juga seperti itu. Bahkan tadi bertanya pula tentang keberadaan Aswin. "Itu kan cuma soal persepsi, Ag. Gue kan gak nanyain gimana perasaan lo sama Aswin. Iya kan, Do?" Ridho terkekeh. Memang benar sih. Tapi yaa sepertinya kata-katanya sudah membatu di kepala Agni hingga membuat Agni takut sendiri. Ia takut kalau pada akhirnya malah jatuh cinta pada seorang Aswin. Meski yaa kalau dipikir-pikir, tidak ada yang salah dari Aswin. Cowok itu baik dan pekerja keras. Tapi omong-omong, sejak kapan ia mulai memuji Aswin? Hahahaha. Dan ini membuatnya menjadi takut. Astaga-astaga! "Tapi, Ag. Mau gimana pun, Aswin itu cowok baik-baik. Ya lo pikir aja. Sejahat itu mantannya, dia gak ngebalas sedikit pun perlakuan itu." Ridho mengangguk-angguk. Memang benar. Untuk apa pula membalas perlakuan buruk orang lain? Karena membuat kesabaran kita pudar saja. "Gue yakin dia berbuat banyak buat keluarga mantannya. Aswin itu orangnya perhatian. Gue bahkan ingat gimana dia ngebagi uangnya untuk diberikan ke keluarganya sendiri juga cewek itu. Meski air s**u dibalas dengan air tuba." Menyedihkan bukan? Tapi dari Aswin, mereka belajar yang namanya ketulusan dalam mencintai. Meski mungkin perbedaannya dengan kebodohan setipis benang. Saking tak terlihat jelas perbedaannya. "Tapi cewek itu akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam hal ini, gue bukannya mau bongkar aib. Tapi ada saja cara Tuhan untuk membuatnya menjadi terlihat. @@@ Tidak. Aswin sama sekali tidak sedih. Yang ada hanya rasa bersalah karena ia tak bisa menolong gadis itu dihari-hari terakhirnya. Menyedihkan bukan? Kini ia hanya bisa menatap gundukan tanah itu. Aswin hanya mendengar kronologinya dari kakak Sri yang memang temannya sejak kecil. Lelaki itu bilang kalau Sri dipaksa untuk menjadi selir mafia itu karena orangtua mereka sudah tak mampu membayar hutang. Bahkan uang yang dulu sering dikirim Aswin pada keluarga mereka pun selalu raib. Tak berbekas. Hilang begitu saja. Karena harus mengganti semua yang dipinjamkan dulu. "Awalnya Sri gak mau. Tapi kami gak bisa menolong satu pun. Betapa mengerikannya keluarga kami, Win!" Kakaknya meratap sendiri. Ia bahkan tak bisa berhenti menangis melihat gundukan tanah milik adiknya. Tak punya keberanian sampai dengan putus asa mencari uang. Orang-orang di sini masih percaya dengan sebuah ilmu hitam. Ada sejarahnya kenapa keluarga Sri bisa semiskin ini. Kalau Arif, kakak laki-lakinya, mengatakan kalau ayahnya mereka dulu mengamalkan ilmu hitam. Hingga puluhan tahun bekerja, alih-alih menjadi kaya atau minimal mampu, ekonomi keluarga mereka malah jauh sekali dari hal itu. Setiap usaha apapun yang dibuka ibunya atau saudara-saudaranya tak ada yang berhasil. Boro-boro berhasil malah. Ingin untung malah buntung. Ayah mereka berdalih kalau tak punya ilmu hitam. Padahal dengan ilmu itu lah ia gunakan untuk mencari kerja. Memang mendaoat pekerjaan yang cukup baik tapi mungkin karena tidak berkah, uangnya selalu habis. Tak berbekas. Arif dan ibunya sudah memaksa agar ayahnya melepaskan ilmu hitam itu tapi lelaki tua itu enggan mengaku. Bahkan sampai sekarang, hanya terpekur melihat anaknya membuju kaku di dalam tanah. Saat sakit, orangtuanya yang tak punya tabungan terpaksa menggadai harta. Namun tak bisa dibayar sehingga akhirnya barang itu benar-benar tergadai. Setelah harta habis tergadai, mulai lah meminjam. Dari satu bank ke bank lain. Koperasi desa juga dipinjami. Lalu berujung pada mafia rentenir yang menjerat. Tak ada jalan untuk melunasi hutang yang bunganya saja tak terbayar. Mengerikan bukan? Ya, memang. Tapi kini satu anak menjadi korban. "Aku dulu sebenarnya malu kalau kamu kirim uang pada Sri. Malu sekali. Aku merasa tidak berguna, Win." Aswin hanya terdiam mendengar curhatan itu. Sebenarnya, itu pula alasan Arif tak pernah lagi mengajak Aswin bermain bersama selama beberapa tahun terakhir. Ia yang turut menjadi tulang punggung keluarga di rumah, malah tak bisa membantu sama sekali. Menambah beban ibunya sih iya. Karena sampai menikah ini pun, mereka masih menumpang tinggal dan makan. Menyedihkan bukan? Semenjak beberapa bulan terakhir, Aswin tak pernah lagi mengirim uang. Meski mereka malah mendapat uang dari Sri. Tapi tak ada yang berani menyentuh uang itu karena takut ditagih kembali. Hutang kemarin saja belum lunas lalu akan diminta bayar lagi? Astaga! Ini namanya bukan gali lobang tutup lobang tapi terus menggali. "Namanya juga musibah, Rif." "Musibah dan malas berusaha itu efeknya hampir beda tipis kalau dalam persoalan keluargaku, Win." Ia menatap Aswin dengan penuh makna. "Aku janji kalau suatu saat bisa hidup lebih layak, aku akan ganti semua uang yang sudah kamu berikan pada Sri, Win." "Gak perlu," tuturnya. "Uang bisa dicari. Anggap saja itu jalan sedekah, jalan membantu sesama muslim. Jangan menganggapnya sebagai hutang." Arif tak tahu harus mengatakan apapun lagi selain ucapan terima kasih. Aswin bahkan masih menolong mereka untuk pemakaman Sri hari ini. Bukan kah itu juga memerlukan biaya? Belum lagi tadi, saat jenazah Sri dibawa dari Malaysia menuju ke sini. Biayanya sangat besar tapi dengan ringan tangan ayah Aswin yang membayarnya. Ibu Aswin bahkan sangat menyayangi Aswin. Sangat mendukung hubungan Aswin dengan Sri. Tapi menjadi sangat malu atas apa yang mereka lakukan ada Aswin. Pengkhianatan Sri yang dilakukan secara terang-terangan. Mereka terjepit saat itu. Tak tahu harus berbuat apalagi. Aswin sebetulnya memaklumi. Kalau memang sudah kehendak-Nya untuk terjadi maka manusia mana yang bisa menghalangi? "Setidaknya ingat lah kebaikannya, Win," tutur ibunya. "Semua manusia pasti berbuat salah. Tapi ingat lah kebaikannya. Itu cara melapangkan hati manusia." Itu pesan ibunya usai pulang tahlilan dari rumah Sri. Aswin termangu. Sebetulnya ia tak terlalu memikirkan Sri tapi hanya penasaran dengan apa yang terjadi sebelum kematian gadis itu. Namun penyesalan kini yang menjadi temannya. Bukan kah ia tak bisa memutar balik waktu karena semua sudah terjadi? "Aswin gak kelihatan sedih, Mah," tutur Nuria. Kakak perempuan Aswin yang memerhatikan wajah Aswin sedetil mungkin. "Gak kayak waktu tahu Sri selingkuh." Mamanya sampai menoleh pada Aswin yang berjalan dengan tatapan kosong. "Masa sih?" "Kayaknya ya. Beda bener soalnya. Waktu Sri selingkuh itu ya, dia sampai marah begitu. Terus pas putusnya, sedih banget. Kayak ayam kehilangan jodoh." "Kamu ini!" tukas ibunya. Nuria tertawa. Ia memang hanya bercanda meski ucapannya ada benarnya saat itu. "Tapi coba perhatikan aja, Mah. Aswin emang diam. Tapi diamnya berbeda." Gara-gara itu, ibu tua itu jadi terus memerhatikan Aswin. Sesekali ia mencari Aswin kemudian memperhatikannya hingga dalam. Takut ada yang terlewat dari memerhatikan anaknya. "Aswin ada cerita gak sama kamu?" "Cerita apa?" tanya suaminya sembari menurunkan kacamata. "Ya apa gitu. Tentang Sri." Suaminya menggeleng. Aswin tak bercerita apapun. "Papah memangnya gak menangkap kesedihan atau apa begitu?" "Udah pindah hati itu kayaknya." "Kata siapa?" "Tadi aku yang bilang." Istrinya menampar lengannya. Ia terkekeh. "Maksud aku, dia gak ada cerita perempuan lain juga?" "Belum. Mungkin belum ketemu tapi sudah melupakan," tutur suaminya sok romantis. Ia mendapat cubitan kali ini dan keduanya tertawa. Mereka termasuk keluarga terpandang di kampung ini. Selain cukup terpelajar, ayah Aswin juga memiliki lahan sawah paling luas di kampung ini. Banyak yang menghormati keluarga mereka juga karena kebaikan-kebaikan dari keluarga Aswin. Apalagi anak-anaknya juga tampak ramah dan baik hati pada siapapun. Wajar saja. "Kapan balik, Win?" tanya salah satu pemuda saat Aswin hendak pulang. Ia rutin datang tahlilan setiap malam ke rumah Sri. "Nanti palingan," tuturnya. Ia belum berpikir kapan akan masuk kerja. Hahaha. Ada kan jenis karyawan seperti ini? Ada. Ini orangnya. Bosnya biasanya tak keberatan. Apalagi sekarang ada Ridho dan Millana yang membantu. Jadi pasti bisa diambil alih. Sementara Aswin masih fokus di sini. Ia hanya sedang berpikir, apa yang mungkin ia bisa lakukan untuk menebus rasa penyesalannya karena tak bisa menolong Sri waktu itu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN