Dan Agni membeku ketika melihat seorang perempuan keluar dari kamar milik Aswin. Oke-oke, itu bukan urusannya namun ini menjadi terasa aneh. Apalagi saat Aswin juga ikut melihat kehadirannya dan perempuan itu menyadari kalau ada yang salah. Perempuan itu, maksudnya Sri.
"Kamu pacarnya, A'ak?" tanyanya yang membuat mata Agni hampir lepas. Astaga-astaga! Ada orang yang berpikiran seperti itu? Ia sampai terkaget-kaget.
"Siapa bilang?!" ia langsung galak. Tentu saja tak terima tapi Sri tak menelisik lebih jauh penolakan itu. Ia sudah mengambil kesimpulannya sendiri kemudian melihat ke arah Aswin. "Jadi bukan karena aku yang berkhianat kan, A'ak?"
Ia masih belum menyadari kesalahan sebenarnya. Padahal masalah itu sejak pertama berada padanya. Dulu, Aswin berupaya mati-matian kembali mengejarnya untuk mengembalikan semua hal. Tapi apa? Sia-sia. Aswin hanya mendulang angin yang tak berguna. Tak ada hasilnya. Bertahan pada cinta itu membuang waktu. Apalagi jika perempuan itu memang tak menginginkannya. Lalu ini?
"Berkhianat atau tidak, jelas bukan menjadi masalah untukmu yang tidak merasa bersalah," sindir Agni. Ia melipat kedua tangan di depan d**a. Ia bukannya mau ikut campur. Hanya mendengar segelintir kisah Aswinnyang sering masuk ke telinganya dan bagaimana parahnya Aswin patah hati karena perempuan ini. Oke, ia akui kalau gadis kampung yang satu ini memang cantik, polos dan yaaah setipe itu lah wajahnya. Mungkin tak akan ada yang menyangka jika akan ada ular di dalam hatinya. Bisa jadi sangat berbisa.
"Tidak ada urusan dengan siapapun," tukas Aswin. "Ag!" panggilnya. Ia menyuruh Agni untuk menyingkir dari perdebatan ini karena sejak awal memang bukan urusannya. Agni mendengus.
"Jangan jadi bodoh, Win. Lo kira dengan berlagak kuat dan mau-mau aja nerima ini orang lagi akan membuat nyawa yang hampir hilang itu tak berbekas? Urusan dengan mafia atau apapun gak ada yang gampang! Dan elo dengan seenaknya mencari dan menyusul Aswin ke sini. Lo pikir, lo gak akan dicari?" omelnya. Ia hanya tak mau ada kejadian berdarah lagi yang masuk ke telinganya. Itu sama sekali tidak manis.
Sri hanya berdiri dengan tangan gemetar mendengar itu. Ia juga tahu. Bahkan setiap detik, ia selalu melirik ke semua arah hanya untuk memastikan kalau posisinya aman.
"Kalau pun tidak ada yang terjadi pada lo, maka kemungkinan kedua ya lo dibuang."
Agni mengambil kesimpulan lain. Tapi makna dibuang oleh seorang mafia itu pilihannya hanya satu di antara mati atau menderita seumur hidup. Agni belum menemukan keadaan itu ada pada diri Agni. Tapi ia kira dalam waktu dekat. Dan terlibat lebih jauh dengan gadis ini hanya akan membuat siapapun bisa mati lebih cepat atau itu memang takdir.
"Aku akan pergi," tekannya. Ia sadar diri kalau kehadirannya di sini memang akan membuat hidup orang lain terancam. Namun sebenarnya itu hanya gertakan agar Aswin mau mengorbankan hidupnya lagi untuk menolongnya. Meski hampir hilang harapan, ia tetap berjalan pergi. Walau yaaaah...Aswin juga tak bergerak dari tempatnya.
"Gue pikir, lo akan datang dan menyelamatkannya."
"Kalau itu terjadi, itu bagian dari rasa kemanusiaan."
"Gue gak bertanya apakah itu bagian dari rasa kemanusiaan atau perasaan lama yang ingin kembali, Win. Tapi ini persoalan nyali. Yakin akan membiarkan perempuan itu pergi begitu saja?"
Aswin menghela nafas. Ini pilihan yang sangat berat namun juga masuk akal.
"Gue sudah berlepas diri atas apa pun yang terjadi pada hidupnya sejak saat itu."
"Yakin?"
Kata itu terdengar mengejek. Aswin tak menjawab. Langkahnya yang gamang justru membuat Agni berpikir lain.
Pantau teman lo kalau gak mau dia mati sia-sia lagi.
Entah setan perduli mana yang merasukinya. Tapi hanya itu yang bisa Agni lakukan untuk berjaga-jaga tentang keputusan Aswin yang bisa saja berubah dengan cepat.
@@@
"Aswin! Aswin! Aswin!"
Ridho menggedor kuat pintu kamar hotelnya. Aswin mendengar itu dan ia mendesis. Heish! Ini sudah hampir tengah malam dan untuk apa Ridho seberisik ini? Ketika ia membuka pintu, Ridho malah nyengir.
"Gue kira lo melakukan sesuatu dengan cewek yang tadi siang," ungkapnya jujur.
"Gue gak sebodoh itu."
"Yakin?"
Aswin hanya menatap tapi Ridho sukses terbahak. Tentu saja Ridho tak percaya dengan kata-kata Aswin menilik apa yang terjadi terakhir kali.
"Bos aja udah cekatan sekarang meski gue gak harus jaga mejanya setiap waktu," tuturnya. Ia memberikan perumpamaan yang jelas membuat Ridho kembali tertawa.
"Bos jelas beda. Status yang membedakan. Sementara elo?"
"Tidak ada istilah tunangan atau pacaran di KTP. Lo paham?"
Ridho terkekeh. Benar juga. Oke. Tapi haruskah ia tetap percaya?
"Tapi kesempatan untuk memutar ulang waktu selalu ada."
"Itu kegunaan kenangan."
"Kenapa lo jadi ngebicarain sesuatu seperti hal-hal stupid tentang asmara?"
"Bukannya lo yang bilang duluan?"
Ridho terkekeh. Ia mengangguk-angguk. "Setidaknya lo harus tahu alasan kenapa gue ada di sini dan memastikan lo gak melakukan kebodohan yang sama."
"Apa?"
"Agni!" serunya lalu bersiul. Aswin sempat membeku tapi kemudian berlagak biasa saja. Seolah tak ada yang terjadi. "Setidaknya, gue tidak bisa menyangkal kalau dia memiliki rasa kemanusiaan terutama ke elo."
"Kenapa lo seolah bilang ini seperti ada asmara tersembunyi?"
Ridho terbahak. "Gue hanya mengamati kalian guys. As far as I know, lo gak mudah jatuh cinta atau bahkan tertarik sama cewek. Begitu pula dengan Agni."
"Apa korelasinya?"
"Jatuh cinta itu tak semua bisa menyadarinya."
Aswin langsung mendengus. "Jangan mengambil kesimpulan untuk sesuatu hal yang belum tentu jelas lo tahu realitanya."
"Hanya menduga. Apa tidak boleh?"
"Su'uzzan berlebihan jelas menyakiti hati orang. Apalagi jika kabar berita itu tidak benar."
Ridho mengangguk patuh. Ia juga mengangkat jempolnya. "Oke," tuturnya lantas menghela nafas seraya beranjak dari sofa. "Beritahu gue kalau itu bukan sekedar dugaan tapi realita yang tidak disadari telah terjadi," ucapnya sebelum benar-benar pergi dari kamar Aswin dan meninggalkan cowok itu dalam ketermanguan.
Ia tak mau berpikir apapun tapi sialnya, pikiran itu benar-benar terlintas. Ia menggelengkan kepala dengan kuat. Mencoba menyangkal semua ketidakbenaran atas perkataan Ridho. Iya kan? Tidak benar bukan? Jadi ia sangkal.
Aswin menarik nafas dalam. Ia mencoba untuk berpikir jernih dan tidak mau menyangkal apapun. Kemudian menatap ke arah jendela. Asal tahu saja, ia sebetulnya sedang menahan diri untuk mencari Sri di negara yang besar dan luas ini. Bagaimana pun ia lama mengenal perempuan itu dan masih ada nurani. Meski perlakuan Sri padanya dulu benar-benar tidak manusiawi pada seseorang yang sudah lama membantu hidupnya. Ini mungkin lebih parah dari kacang lupa kulitnya. Iya kan?
@@@
"Itu bentuk kepedulian heh?" goda Ridho. Esok paginya ia langsung mengejek Agni yang sedang damai di meja makan. Agni menghela nafas.
"Lo mau mati pagi ini?"
"Membunuh manusia lainnya itu sama dengan--"
"Gak usah ceramah di depan gue. Kalo gak mau makan, silahkan pergi. Ini tempat makan bukan untuk dengerin ucapan lo yang gak penting itu."
Ridho terkekeh. "Selow, girl! Emosian banget. Lo dapet tiap hari tiap waktu ya?" ledeknya dan hampir saja Agni kembali menaikkan kakinya. Ridho langsung bergerak menjauh. Belajar dari pengalaman, ia tak mau terluka di tempat yang sama dua kali bukan?
Agni mendengus. Mendengar omongan menyebalkan milik Ridho memang hanya akan menyentil emosinya. Ia sudah bertekad untuk lebih manusiawi hari ini dan esok-esoknya. Tapi ternyata kalau banyak makhluk dengan kepribadian seperti Ridho ini jelas membuatnya sulit menurunkan emosi.
Ridho menarik kursi di depan Agni. Berhubung Agni sepertinya bisa diajak kompromi hari ini.
"Lo gak berpikir sesuatu ketika mengingatkan gue soal Aswin semalam?"
"Berpikir apa maksud lo?"
"Yeah semacam had sort of feeling yang--"
Ia langsung terbahak karena Agni memelototinya. "Jangan buat gue ngamuk di sini seolah gue orang gila yang stres," ingatnya. Ia akan mengancam lebih jauh jika Ridho masih mengungkit masalah ini. Ia hanya ingin damai dan tenang di lagi harinya. Tapi kedatangan pengacau semacam Ridho memang membuat s**l hidupnya.
"Itu hal wajar, Ag. Secara lo sama Aswin itu dari duku kayak kucing dan anjing tau gak? Gak pernah akur. Sekalinya bertemu pasti berantem. Tapi beberapa hari kemarin gue rasa enggak. Bahkan pesan lo semalam juga menunjukan hal yang sama."
"Sebagai teman sekantor, apakah gak boleh melakukan hal itu? Kalo pun terjadi sesuatu sama lo, gue akan kirim pesan yang sama ke Aswin dengan pesan yang gue kirim ke elo."
Agni berbelicara jujur. Perasaan macam apa jika semua hanya beralaskan kekhawatiran sebagai seorang rekan kerja atau teman? Menurut Agni itu wajar. Tapi Ridho malah berpikir hal lain.
"Yaaah bisa jadi cinta yang tak disadari. Karena cinta memang tidak terasa keberadaannya. Apalagi saat membenci seseorang. Perbedaan cinta dan benci itu sangat tipis sekali."
"Tapi bukan berarti semua hal harus berkahir dengan cinta."
"Yaa," Ridho tak menyangkal. "Bisa jadi setelah itu bergerak putus kan? Itu yang lo khawatirin?"
Agni rasanya hampir gila mendengar kata-kata itu. Astagaaaa! Ini seperti ada sesuatu di antaranya dan Aswin padahal tidak ada yang benar-benar terjadi. Untuk apa pula? Iya kan?
Ia dan Aswin hanya dua orang yang saling mengenal sejak lama karena satu perusahaan. Pertengkarannya dengan Aswin pun hal normal menurutnya. Karena sama seperti pertengkarannya terhadap Ridho. Namun sikap orang-orang yang menilainya dan Aswin lah yang berlebihan. Menurutnya seperti itu.
"Sampai bumi lepas dari porosnya pun--"
"Don't say anything. Kita gak pernah tahu akhirnya, Ag. Jangan terlalu sombong mengatakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena Tuhan bisa mendengarnya," ingatnya sambil mengulum senyum sementara Agni menghela nafas panjang. Menahan emosi kuat-kuat. "Gue hanya mengingatkan. Kalau tidak ada yang tidak bisa terjadi jika Tuhan yang berkehendak. Termasuk peluang ketidakmungkinan lo dan Aswin."
Skakmat. Ridho ingin mati setelah ini rupanya.
@@@
Kacau!
Gara-gara Ridho menyebutkan alasannya datang semalam karena pesan kekhawatiran Agni pada-Nya membuat sikap Aswin berubah. Maksudnya, ia tidak bisa mengendalikan diri untuk menyembunyikan gerak-gerik tubuhnya yang berbeda. Ini sulit kan? Yeah, anggap saja begitu.
Sementara Agni kacau karena mulut Aswin pagi tadi yang malah membuatnya takut menghadapi takdir Tuhan. Jikalau itu mungkin terjadi. Karena tidak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi di masa depan. Tapi pencegahan pun terasa percuma jika memang sudah ditakdirkan. Keanehan ini setidaknya membuat sedikit galau Agni tentang single shaming pun terikut lupa. Karena ia bosan terus ditanya kapan menikah? Setelah menikah pun, pertanyaan tak akan pernah berhenti. Hanya satu hal yang bisa membaut pertanyaan itu terhenti yaitu ketika Agni mati. Iya kan?
Dan Agni mati-matian melupakan semua kata Ridho yang malah membuatnya berpikir macam-macam tentang Aswin. Astagaaaa! Apalagi kecanggungan yang terjadi di dua hari terakhirnya berada di Kuala Lumpur. Agni akan kembali ke kantor di Jakarta. Begitu pula dengan Aswin. Meski kamar hotel keduanya berseberangan tapi keduanya kompak saling menghindar untuk sama-sama saling terlihat kaku. Agni membenci hal ini tapi terasa sulit menyangkal.
"Kalian ada masalah?" tanya Fasha. Ia bingung saja karena Aswin tak berbunyi dan begitu pula dengan Agni. Padahal ketiganya berada dalam satu lift yang sama. Biasanya sering beradu mulut atau saling mengejek sekarang hening. Jelas saja membuat Fasha bertanya. Meski Agni sudah mengklarifikasi gosip yang disebarkan Ridho tentang pacaran itu.
"Enggak, Bu."
Hanya Aswin yang menyangkal. Padahal biasanya, Agni akan mendumel lebih dulu untuk memicu pertengkaran. Aswin meliriknya diam-diam dan sialnya, Agni menangkap basah lirikan mata itu di dinding lift. Astaga!
"Aneh. Hening di sini terasa aneh," tutur Fasha. Kemudian ia berjalan keluar lebih dulu saat pintu terbuka. "Silahkan habiskan waktu untuk ngomong berdua. Aku bisa pegang urusan lain, Ag," tutur Fasha yang tentu saja membuat Agni terperangah. Belum sempat menyahut tahu-tahu pintu lift sudah tertutup dan ia terjebak bersama Aswin.
"Jangan berpikir macam-macam. Gue hanya ingin kita jelas satu sama lain."
"Ng-ngomong apa maksud lo?"
Agni tergagap. Aswin menghela nafas.
"Oke, gue sangat berterima kasih dengan perhatian yang lo berikan melalui Ridho. Tapi gue gak berharap kalau itu adalah sesuatu yang lebih dari batas tembok pertemanan, Ag."
As-astaga! Agni bahkan terperangah mendengarnya. Sejak kapan ia berpikir macam-macam pada Aswin? Bisa-bisanya pula Aswin berpikir sejauh itu tentangnya. Karena tak kau harga dirinya diinjak, ia berjalan mengejar Aswin dan menarik kerah kemejanya dari belakang hingga membuat cowok itu berteriak. Ia tercekik dengan posisi itu. Sementara Agni menatapnya tanpa ampun.
"Jangan berpikir gue tertarik sama lo ya?!" kecamnya. Ia marah besar dengan kata-kata Aswin berusan. Sementara Aswin menatapnya dengan terperangah. Jelas kagetnya. "Gue hanya kasihan sama lo kalau harus mati sengsara gara-gara cewek. Apalagi cewek model begitu. Hei! Bukan mata lo, Win! Ada banyak hal lain yang bisa lo pikirin selain cewek yang susah lo lupain itu!" omelnya kemudian balik badan dan meninggalkan Aswin dengan pertanyaan baru.
@@@