“Yu Fangye, kau sangat cantik. Pejabat Yu juga adalah seorang mentri di istana, sudah pasti Pangeran Gantang mau menerimamu.” Li Rouxe memuji wanita pilihannya yang akan ia jodohkan dengan pangeran Zhao Gantang.
Yu Fangye yang memang sangat cantik. Wajahnya putih bersih dengan kedua mata yang sipit dan rambut panjang itu, siapa pun akan tergoda dengannya. Dia juga sangat pintar dan pintar menyulam. “Terima kasih atas pujiannya, permaisuri Li.”
Li Rouxe menepuk kaki Kaisar Zhao pelan. “Yang mulia, bagaimana menurutmu? Apakah Tang’er akan menyukai Fangye?”
Kaisar Zhao sedikit mengulas senyum, mengambil cangkir teh, lalu meneguknya dengan sangat pelan. Tatapannya menerawang jauh. Mungkin saja, jika dia benar-benar Zhao Gantang putranya, pasti akan tertarik dengan Yu Fangye. Namun, sekarang ini, yang menempati raga Pangeran, bukanlah Gantang, melainkan Gantan yang berasal dari negri lain.
“Coba saja.” Hanya itu yang keluar dari mulut kaisar Zhao.
Detik kemudian, kasim membantunya berdiri, lalu melangkah meninggalkan paviliun Qingsong. Semua pelayan dan pengawal, termasuk Yu Fangye merendah, memberikan hormat mengantar kepergian kaisar zhao.
“Ibu suri, kenapa sepertinya … kaisar tidak setuju? Saya … saya jadi merasa kurang percaya diri.” Wajah yang semula ceria itu kini menjadi murung.
“Fangye, tenanglah. Gantang tak pernah menolak apa pun yang aku beri. Dia adalah anak yang berbakti dan penurut. Pasti dia juga akan menerimamu.” Li Rouxe menepuk pelan lengan Yu Fangye, mencoba menenangkan gadis cantik pilihannya itu.
**
“Hormat, yang mulia.”
Gantang melangkah mendekat, membungkuk, lalu mengangkat kedua bahu Yang Jin yang membungkuk dengan kedua tangan bertumpu didepan sebagai tanda hormatnya.
“Jangan terlalu sopan. Ayo duduk disini.” Dia mencekal tangan Yang Jin, menyeretnya untuk diajak duduk di tepi tempat tidur.
Seketika itu Yang Jin melangkah mundur, kembali pula ia membungkuk. “Saya terlalu berani, yang mulia. Mohon maaf.”
Gantan menghela nafas, dia ingin seorang teman. Ya, selayaknya Aldy, Daniel atau teman-teman tongkrongannya dulu. “Yasudah, terserah kau saja.”
“Terima kasih, yang mulia.” Patuh Yang Jin, lalu mengangkat kepala untuk bisa menatap pangeran Zhao.
“Kata kaisar. Eh, maksudku, ayah. Kau adalah orang yang telah melihat kejadian penusukanku waktu itu.”
“Benar, yang mulia.”
Gantan mengangguk. “Jelaskan, seperti apa kejadiannya. Dan siapa orang yang telah melakukannya.”
“Baik, yang mulia. Jadi begini, kebetulan tepat di tengah malam, adalah jadwal saya berjaga. Anak buah saya sudah berkeliling di istana Heng (kamar yang di tempati oleh kaisar Zhao). Sedangkan saya berjalan sendirian mengitari wangzi de fangjian ; kamar pangeran. Awalnya saya mendengar suara ribut di dalam, hampir saja tangan saya membuka pintu, tapi saya mengurungkan niat. Karna nona Wu Weiwei keluar dengan derai air mata. Saat kaki saya akan melangkah meninggalkan tempat ini, Yang mulia pangeran berteriak meminta pertolongan, lalu seorang pengawal yang terlihat asing kabur melalui jendela. Saya tidak terlalu fokus dengan teriakan pangeran, tapi malah saya mengejar si penyusup.” Kembali Yang Jin membungkuk dengan begitu hormat.
Gantan terdiam, mencoba berfikir dalam. Di sini memang nyaman, apa pun selalu ada. Tapi dia tetap merasa nyaman ada di negara asal mulanya. Bukan disini.
“Yang Jin, dimana pisau yang digunakan untuk membunuhku?” tanyanya setelah lama terdiam.
“Tersimpan di dalam peti, yang mulia.”
“Bawakan kemari, biar aku melihatnya.”
“Baik, yang mulia.” Patuh Yang Jin. Dia melangkah mundur, lalu keluar.
**
Tak begitu lama, Yang Jin kembali dengan sebuah pedang panjang. Lalu menyerahkan pedang itu ke Gantan. Pelan, Gantan membolak balikkan pedang yang tentu baru pertama kalinya ia pegang. Seumur hidup, ia sama sekali belum pernah melihat secara langsung bentuk pedang, apa lagi memegangnya.
Kedua mata melotot ketika melihat lukisan dalam pedang tebal itu. Ingatannya tertuju dikejadian sebelum para binatang liar itu menggigitya. Cepat Gantang beranjak dari duduk, menunjuk kearah pedang, lalu menatap Yang Jin dengan penuh selidik. “Dimana dia?”
Kening Yang Jin berlipat, dia diam, karna tak mengerti apa yang dimaksud Pangeran Zhao.
“Dimana orang yang telah menusukku?” menerangkan maksud dari pertanyaannya.
Dengan cepat Yang Jin bersimpuh, kedua tangannya bertumpu dengan mengepal cukup erat. “Ampui saya, yang mulia. Dia telah mati bunuh diri sebelum saya menyeretnya untuk menjelaskan semuanya pada yang mulia kaisar.”
Gantang menyentak nafas kasar, menyapu wajah dengan satu tangan. “Sudahlah, jangan seperti ini. Bangun cepat.” Suruhnya, dia sendiri kembali memikirkan sesuatu.
“Terima kasih, yang mulia.” Kembali Yang Jin berdiri, menatap punggung Gantan yang diam menatap jauh ke luar jendela.
“Yang Jin,” panggilnya lemah. “Apa kau tau, kira-kira … siapa pembuat pedang ini?”
Kedua alis Yang Jin bertaut, kali ini dia benar-benar bingung dengan sikap Pangeran Zhao yang jauh berbeda.
“Aku percaya padamu. Bisakah kau mencari tau, siapa pembuat pedang ini?” pinta pangeran Zhao.
Yang Jin terlihat ragu, tapi dia sendiri tak akan mungkin menolak perintah dari atasannya yang paling berkuasa. “Baik, yang mulia. Saya tak akan mengecewakanmu.”
Gantan ngangguk, menepuk pundak Yang Jin beberapa kali. “Pergilah. Aku akan menunggu kabar baik itu.”
“Iya, yang mulia. Saya undur diri.” Memberi hormat, lalu melangkah keluar dari rumah tinggal pangeran Zhao Gantan.
Begitu membuka pintu, Yang Jin dikejutkan oleh beberapa pelayan yang mengantarkan nona Yu Fangye dengan beberapa nampan berisi makanan kesuakaan Pangeran Zhao Gantang. Dengan sopan Yang Jin memberi homat.
“Maaf, nona Yu, Pangeran Gantang sedang tak ingin bertemu dengan siapa pun.” Ucapnya setelah menegakkan tubuh.
Kedua mata Yu Fangye melotot mendengar penolakan itu. “Jendral Yang, aku tau apa posisimu. Tapi aku datang kemari atas permintaan ibu suri. Siapa kamu! Sehingga berani menghadangku disini?!” marah Fangye.
Yang Jin kembali membungkuk. “Saya tidak berani, nona Yu. Tapi ini memang perintah dari Pangeran Zhao Gantang. Beliau ingin sendiri, beristirahat memulihkan tubuhnya yang belum lama sembuh.”
Wajah cantik itu memerah karna tak terima. Yu Fangye menyentak kedua tangan dengan cukup kasar. Sungguh, ia tak menyukai penolakan. Menatap Jendral Yang dengan tajam, lalu berbalik pergi meninggalkan kediaman Pangeran Zhao.
Melihat Putri Yu tak lagi terlihat, Yang Jin menatap kedua bawahannya yang kini menjaga kediaman Pangeran Zhao. “Siapa pun, jangan biarkan masuk. Kecuali itu memang kehendak Pangeran Gantang. Kali ini dia sangat sensitif.” Perintahnya lirih.
“Baik, jendral Yang.” Patuh kedua anak buahnya.
Melihat Yang Jin melangkah pergi dari Wangzi de Fangjian, Wu Weiwei melangkah mendekat. Namun, dengan cepat kedua lelaki yang berjaga didepan pintu itu menghadangnya dengan pedang yang selalu ada digenggaman tangan mereka.
“Berhenti! Tidak bisa sembarang orang masuk ke kediaman Pangeran Zhao.” Lantang seorang penjaga itu.
Wu Weiwei menghela nafas, kedua tangan mengepal erat. “Aku Wu Weiwei, pangeran Gantang tak akan masalah jika aku yang masuk.”
Tubuh Weiwei didorong ketika ia tetap memaksa masuk.
“Pergilah! Kau tak diberi ijin untuk masuk.”
Weiwei semakin mengepal dengan wajah masamnya. “Yang mulia! Yang mulia pangeran Gantang! Yang mulia, ini aku, Wu Weiwei!” teriaknya dari luar, membuat gaduh.
“Diamlah, jangan berisik!” bentak si penjaga yang tentu takut jika tempatnya berjaga menjadi pusat perhatian.
Di dalam kamar, Gantan menutup buku yang baru saja ia buka. Bahkan ia hanya iseng membuka buku itu. Tak tahan dengan keributan yang ada diluar, ia melangkah menuju pintu, lalu membuka pintunya dengan lebar.
“Ada apa? Kenapa ribut?” tanyanya dengan menatap kedua penjaga.
Kedua penjaga itu memberi hormat.
“Maaf, yang mulia. Pelayan ini memaksa ingin masuk.” Terang salah satu penjaga.
“Yang mulia ….” Seru Weiwei dengan penuh harap.
Gantang menghela nafas pelan, kini menatap wanita yang sebenarnya memang sangatlah cantik, hanya saja, memang dia adalah seorang pelayan. Dia tak tau, dahulunya, pangeran Gantang dan Weiwei ini memiliki hubungan apa. Yang jelas, dia sama sekali tak merasa tertarik dengan semua wanita di negri aneh ini.
“Masuklah.”
Mendengar ijin dari Gantan, kedua mata Weiwei yang berkaca itu berubah jadi binar bahagia. Senyum terukir di bibir tipisnya. “Terima kasih, yang mulia.”
Wu weiwei mengikuti langkah pangeran Zhao masuk kedalam kamar. Lalu menutup pintu dengan rapat. Berdiri tepat di depan Gantan yang duduk dimeja kecil dengan beberapa buku diatasnya.
“Weiwei,” panggilnya lembut.
Gadis itu mengangkat wajah, membuat tatapan keduanya bertemu. Lalu saling diam untuk beberapa menit.
“Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku belum bisa me—”
“Yang mulia, aku ….” Dia mengelus perutnya. “Aku hamil. Ini anak kita.”
Kedua mata Gantan melotot, dia beranjak dari duduknya dengan cepat. Menatap kearah perut Weiwei yang masih terlihat rata.
**