Ayu terbius sentuhan Danial. Tekanan bibir Danial di bibirnya membuat pertahanan Ayu perlahan mulai goyah. Segala pikiran rasionalnya seakan berhamburan ke luar dari kepalanya. Ayu membiarkan Danial terus mencicipi, menghisap dan mendominasi ciuman mereka. Ayu memang tidak pernah bisa berciuman. Satu-satunya pria yang pernah berciuman dengannya hanyalah Danial.
Sentuhan Danial melambungkan Ayu hingga ke awan kenikmatan dan terus meninggi hingga tanpa disadari membawanya kembali ke waktu di mana dirinya dan seorang mahasiswa bernama Danial Narendra menghabiskan malam di tepi pantai. Ayu yang masih polos begitu bahagia saat Danial menciumnya untuk yang pertama kali.
"Kau pernah dicium sebelumnya, Yu?" Danial mengelus pipi Ayu dengan lembut, menyelipkan anak rambut yang melambai tertiup angin ke belakang telinga gadis itu.
Ayu menunduk malu lalu menggeleng. Danial membingkai wajah Ayu, mensejajarkan tatapannya, lalu menguncinya. Untuk beberapa saat Danial hanya menatap mata Ayu yang berbinar penuh suka cita. Ada keteduhan dan ketenangan dalam binar itu. Danial menempelkan bibirnya di bibir Ayu. Ia menyelipkan lidahnya di antara bibir Ayu yang terbuka, mendorongnya lalu mengeksplorasi seluruh bagian bibir dan mulut Ayu.
Danial melepas tautan bibirnya dari bibir Ayu sesaat kemudian. Ia terengah dan mencoba mengatur napas sebelum berkata, "Kau mau jadi istriku, Yu?"
"Apa Aa mau punya istri gadis kampung kayak Ayu, A?" Ayu menggigit bibir bawahnya lalu menunduk menyembunyikan rasa malunya. Pemuda kota yang tampan sedang memintanya menjadi istrinya. Ayu ingin mencubit dirinya sendiri. Merasakan sakit di kulitnya agar ia yakin semua itu bukan mimpi.
"Memang apa bedanya gadis kampung dan gadis kota? Aku sudah jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu siang itu. Aku tahu sepertinya aku sedang merayumu tapi rasa yang ada di sini," ucap Danial sambil menekan tangan ke dadanya sendiri, mengukuhkan perasaannya pada gadis desa yang sudah mencuri hatinya. "Rasa ini tidak bohong."
"Ayu!!!" Panggilan Ayah Ayu dari balik karang besar mengejutkan Ayu.
Seketika, kenikmatan yang Ayu coba reguk kembali menghilang. Bayangan wajah bapak dan ibunya tiba-tiba melintas di benaknya. Rona kecewa di wajah kedua orangtuanya tergambar jelas dalam rongga kesedihan yang membelit jiwanya. Ayu mendorong dirinya menjauh dari Danial. Sikap defensif dan antisipasi yang dia bangun selama bertahun-tahun dia coba bangkitkan lagi.
Danial melihat genangan airmata di mata Ayu. Pria itu sadar sudah bertingkah seperti seorang b******n. Danial mencoba meraih tangan Ayu, namun Ayu meringsut ke samping pintu.
"Dan, aku mau keluar. Tolong buka pintunya," ucap Ayu gugup.
Danial masih mengunci tatapannya pada Ayu. Pria itu ingin kembali meraih Ayu dan membawanya ke dalam dekapannya.
"Dan, tolong," pinta Ayu setengah memohon.
Danial berdecak. "Kenapa kau tega berbohong padaku, Ayu?"
Ayu menatap nanar Danial. Untuk apa Danial mempertanyakan hal yang sudah jelas jawabannya? pikirnya.
"Ceritamu sangat meyakinkan tapi kau tidak pandai berbohong. Seharusnya kau mengambil kelas akting. Jangan berpura-pura sedih," tukas Danial.
Hati Ayu mencelus mendengar semua ucapan Danial. Apa maksud pria itu? Apa yang dibicarakannya? Tuduhan apalagi yan dilontarkan Danial padanya? Semua pertanyaan itu terus bergelung di kepala Ayu.
Danial berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya, mengambil kunci cadangan pintu kamarnya lalu melemparkan pada Ayu. "Keluar dari kamarku!!!"
Ayu memungut kunci yang jatuh tepat di depan ujung kakinya. Dengan tangan gemetar Ayu membuka kunci pintu kamar Danial. Ayu berlari ke kamarnya, membenamkan dirinya di atas tempat tidur dengan air mata yang terus membanjiri bantalnya. Saat ini Ayu benar-benar butuh pelukan ibu dan bapaknya. Ayu sangat merindukan mereka. Ayu menginginkan perlindungan orangtuanya dari semua tuduhan Danial. Mata Ayu terus mengalirkan air bening. Tubuhnya gemetar karena ada rasa nyeri akut melubangi hatinya.
Di dalam kamarnya, Danial duduk di tepi tempat tidur. Kedua sikunya bertumpu pada lutut dan tangannya menangkup wajahnya. Apa yang baru saja dilakukannya pada Ayu memanglah bukan tindakan pria sejati, tapi Danial tidak bisa menahan dirinya lebih lama untuk tidak menyentuh Ayu.
Danial mengangkat wajah lalu mengembus napas dengan cepat. Ia lalu merebahkan dirinya ke atas tempat tidur sambil tangannya memijat dahi. Pandangannya menatap langit-langit kamar.
"Aku ingin memercayai semua yang dikatakan Ayu, tapi kenyataan yang aku dapat tidak seperti yang aku inginkan. Tante Rosa tidak mungkin berbohong padaku. Papaku adalah kakaknya, tidak mungkin Tante Rosa mencoba menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Ya, Tuhan. Aku tahu aku berdosa. Aku bersalah pada Ayu. Aku yang menjadikan Ayu wanita yang serakah."
○○○
Pagi itu Danial sengaja pergi pagi-pagi sekali. Bukan untuk menghindari Ayu karena kejadian semalam, tapi Danial butuh pembuktian akan suatu hal yang mengganjal di hatinya selama hampir tujuh tahun terakhir ini. Terlebih, setelah dia kembali ke Jakarta dan mendengar semua pengakuan Ayu. Demi bukti nyata itu pula Danial rela menjemput sahabatnya semasa kuliah, Iwan, di pinggiran kota Jakarta untuk pergi bersamanya.
"Gue pikir elu bercanda waktu lu bilang pengen ke desa tempat kita KKN dulu," tutur Iwan.
"Gue serius, Wan. Sorry ya gue bikin repot elu." Pandangan Danial mengarah ke jalanan yang ramai kendaraan dari balik kemudinya.
"Udah biasa. Eh, ngomong-ngomong si Ayu itu gimana kabarnya, ya? Inget nggak, dulu, kita datang jauh-jauh dari Jakarta mau cari dia eh sampai di sana dia udah digondol juragan ikan asin?" Iwan tersenyum. Pria berperawakan subur dengan rambut ikal pendek berantakan itu tak berhenti mengembangkan senyumannya sampai beberapa detik.
Danial melirik ke arah Iwan. Tidak ada yang berubah dalam diri sahabatnya itu. Cara dia tersenyum dan bersikap masih sama, bahkan selera humornya pun tidak berubah, hanya tubuhnya saja yang semakin membulat.
"Ayu baik-baik saja," jawab Danial dengan santai dan tanpa beban.
Iwan menjatuhkan pandangan penuh tanyanya pada Danial. "Tahu dari mana lu?"
"Tahu aja."
"Lu ketemu dia? Di mana?"
"Udah, deh, Wan. Pokoknya gue tahu. Si Ayu itu baik-baik saja."
Dahi Iwan berkerut. Pria itu menduga-duga dalam hati. "Jangan-jangan kepergian kita ke desa itu ada hubungannya juga nih sama si Ayu."
Danial mendesah. "Hah! Gue nggak mungkin ngajak elu ke sana tanpa tujuan."
"Udah gue duga. Pasti ada sesuatu," celetuk Iwan sambil menjentikkan jari.
Setelah beberapa jam berkendara akhirnya Danial dan Iwan tiba di desa tempat mereka melaksanakan KKN enam tahun lalu. Desa itu sudah banyak berubah, terlihat lebih tertata dan bersih. Pertokoan dan rumah makan yang menyediakan makanan khas laut berderet rapih. Perumahan warga yang tujuh tahun silam terletak sangat dekat dengan bibir pantai, kini berjarak sedikit lebih jauh untuk menghindari gelombang besar yang datang tiba-tiba. Pohon-pohon nyiur melambai menyapa setiap pengunjung yang datang ke desa yang dalam dua tahun terakhir ini sudah menjadi desa wisata.
Danial mengedarkan pandangannya. Matanya berkilat-kilat menatap ombak yang saling berkejaran ke tepi pantai. Semua kepahitan dan kepedihan yang membelit jiwanya berawal dari sini, dari tempat ini. Rasa sakit akan kenangan itu tertahan di tenggorokannya. Danial mencoba menelan ludah dengan susah payah. Pikirannya mulai berkecamuk tak menentu hingga Iwan menepuk pundak Danial, membuyarkan lamunannya.
"Apa yang elu cari sebenarnya, Dan?" tanya Iwan serius.
Danial masih menatap ombak. "Kebenaran. Mungkin dulu, saat kita datang ke desa ini sebulan setelah masa KKN berakhir, gue terlalu cepat membuat kesimpulan, Wan."
"Maksud lu?"
"Nanti juga elu tahu sendiri. Bantu gue cari orang di sini yang mungkin masih kenal sama Ayu dan mendiang orang tuanya."
"Kita tanya RT di sini saja atau orang yang dituakan. Mungkin mereka masih ingat dengan warga desa ini yang bernama Ayu."
"Boleh juga saran lu."
"Oke. Kita cari RT di sini. Tapi, gue mau beli minum dulu ya. Gue haus." Iwan melangkah ke sebuah warung makan yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
Danial masih bersedekap sambil menatap ombak. Di kepalanya, bayangan wajah Ayu terus menari-menari. Ayu terus menyiksa batinnya meski raganya tidak berada di hadapan Danial.
Beberapa menit kemudian Iwan kembali. Wajahnya terlihat senang. Entah apa yang merasukinya, pria itu terlihat seperti habis memenangkan lotre. Danial menatap heran Iwan. "Elu sehat, Wan?"
"Banget." Iwan mengangkat alisnya dan tersenyum bangga. Gue udah nemu yang elu cari. Tuh di sana!" Iwan menunjuk salah satu rumah makan sederhana di deretan pertokoan dan rumah makan di pesisir pantai itu.
Danial mengangkat dagunya, sorot matanya penuh tanya.
"Udah. Ikut gue." Iwan menarik lengan Danial.
Danial mengikuti langkah Iwan menuju sebuah rumah makan sederhana dengan banner bertuliskan 'Indah Seafood' yang membentang di atas pintunya. Dia melihat seorang wanita dalam balutan gamis biru dengan hijab berwarna senada yang berdiri di samping pintu rumah makan itu. Wajah wanita itu seakan tak asing di mata Danial. Danial pernah melihat wanita itu sebelumnya.
"Oh, ini A Danial ya? Ya, ampun. A Danial mah tidak berubah ya? A Iwan mah nambah gendut kayaknya?" Wanita itu tersenyum ramah menatap Danial.
Dari keramahan dan sikap sok akrabnya, Danial semakin yakin jika dia mengenal wanita itu. Danial masih memasang wajah penuh selidik sambil memutar otak mencari jawaban siapa wanita itu sesungguhnya. Seolah mengetahui pertanyaan yang bergelung di kepala Danial, wanita itu mengungkapkan siapa dirinya.
"A Danial pasti sudah lupa. Saya Indah. Temannya Ayu. Masih ingat kan sama Ayu?" Pencerahan itu akhirnya datang dari mulut Indah.
Raut wajah Danial berubah senang. "Oh, iya. Indah. Aku ingat. Indah yang dulu sering main sama Ayu ya?"
"Iya. Tapi, sekarang Ayu di Jakarta, A. Dengar dari kabar burung sih Ayu sekarang punya suami orang kaya di sana," tutur Indah.
Dari ucapan Indah sepertinya Ayu tidak pernah datang lagi ke desa ini.
"Begitu ya, Ndah?" Danial menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya, A. Ayu sudah hidup senang sekarang sampai lupa sama temen-temennya di sini. Tapi, mungkin juga Ayu tidak mau mengingat bencana yang menewaskan bapak dan ibunya. Tidak tahulah. Ayu belum pernah kembali ke sini," papar Indah.
Tak berapa lama seorang pria berusia tiga puluhan mendekat pada mereka bertiga. "Kok, tamunya tidak diajak duduk, Neng?"
Indah menarik lengan pria itu dan mendekat padanya. "A Danial dan A Iwan, ini suami Indah. Namanya Rusli."
Setelah mereka berkenalan, Danial, Iwan serta Rusli duduk bersama di bale-bale yang terletak di depan rumah makan.
"Sudah berapa lama Kang Rusli dan Indah menikah?" tanya Iwan basa-basi.
"Sudah empat tahun. Anak kami sudah berusia tiga tahun. Ngomong-ngomong Akang-akang ini ada keperluan apa ya sama istri saya?" tanya Rusli dengan sopan.
Indah datang membawa nampan dengan tiga cangkir kopi lalu meletakkan di tengah bale-bale.
"Waktu masih menjadi mahasiswa, A Danial dan A Iwan ini pernah KKN di sini, Kang," tutur Indah menjelaskan posisi Danial dan Iwan.
"Oh," Rusli mengangguk.
Danial membuka suara. "Sebenarnya kita datang ke sini mau tanya sesuatu. Tentang Ayu."
Indah mendekat pada Rusli lalu duduk di sampingnya. "Ada apa ya, A?"
"Mmm." Danial meragu, namun akhirnya melanjutkan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. "Apa Ayu pernah menikah dengan juragan Hendra?"
Indah mengerutkan dahinya. Ia memandang suaminya meminta izin untuk berkata. Setelah Rusli mengangguk beberapa detik kemudian, Indah mulai bertutur, "Ayu tidak pernah menikah dengan juragan Hendra. Eh, bukannya A Danial dulu naksir Ayu ya? Katanya mau kembali ke sini dan meminang Ayu. Ayu nungguin A Danial terus waktu itu."
Dada Danial serasa dihantam beban ribuan kilo. Napasnya tiba-tiba sesak dan dalam sekejap tubuhnya serasa tak bertenaga. Ia hanya tersenyum tipis merespons penuturan Indah.
"Lalu, setelah bencana alam itu, ke mana juragan Hendra membawa Ayu?" Danial menguatkan hatinya untuk memberi pertanyaan lagi.
"Setelah bencana itu Ayu memang dibawa juragan Hendra ke Jakarta. Katanya sih mau dinikahi, tapi sampai sana Ayu kabur dari juragan Hendra. Nasib Ayu sungguh malang, A. Tapi, Ayu beruntung dia bertemu duda beranak dua yang seusia bapaknya, mungkin lebih tua, yang mau menikahi Ayu. Kalau menikah dengan juragan Hendra mungkin hidup Ayu akan menderita," papar Indah dengan aksen Sundanya yang kental.
Danial memerhatikan raut wajah Indah. Sepertinya Wanita ini tahu banyak soal pelarian Ayu dari juragan Hendra. "Kau tahu dari mana, Ndah?"
"Kang Rusli dulu anak buah juragan Hendra. Dia juga yang disuruh juragan Hendra membawa Ayu ke rumah bordir. Juragan Hendra berniat menjual Ayu setelah tiba di Jakarta, tapi Kang Rusli merasa kasihan sama Ayu. Kang Rusli nyuruh Ayu kabur saat dalam perjalanan ke tempat itu. Karena ketahuan nyuruh Ayu kabur, Kang Rusli dipecat juragan Hendra. Tapi, ada untungnya ya, Kang." Indah menepuk lengan Rusli sambil tersenyum. "Untungnya, saat penggerebekan oleh Polisi, Kang Rusli nggak ketangkep. Kan sudah pulang kampung. Juragan Hendra dan yang lainnya mah harus mendekam di penjara."
"Alhamdulillah ya, Neng. Kalau Akang ketangkep, Akang tidak bisa menikah sama Neng." Rusli mengucap syukur.
"Semua perbuatan baik akan selalu ada balasannya, Kang," imbuh Iwan.
Setelah mendengar semua penjelasan Indah, Danial rasanya ingin menenggelamkan diri ke dasar samudra, berharap pasir basah di sana menguburnya dan membiarkannya terbungkus dingin dan hampa tanpa udara yang bisa melambungkannya kembali ke permukaan. Semua yang diucapkan Ayu benar.