Ayu berlari kecil menuju lift. Meski dia tahu Danial tidak lagi mengejarnya, tapi hatinya tetap was-was. Ayu menyandarkan punggungnya ke dinding lift dan mendongak untuk menahan air matanya agar tidak menetes lagi. Namun, ketika wajah Danial kembali melintas di benaknya, air mata itu lolos begitu saja mengalir dari sudut matanya. Ayu tidak ingin menjadi lemah, tetapi Danial dengan segala tingkah serta ucapannya selalu membuat Ayu tak mampu bertahan. Setiap kali memandang Danial, setiap kali itu pula semua kenangan yang menyedihkan akan masa lalu kembali tergambar dan menusuk-nusuk hatinya.
Saat pintu lift terbuka Ayu bergegas melangkah menuju ruang perawatan Anthony. Saking tergesanya, Ayu sampai melupakan bahwa ia baru saja menangis. Mata serta pipinya masih terlihat sembap dan basah.
Ayu duduk di tepi ranjang Anthony. Ia menggenggam tangan Anthony dengan erat. "Mas, maaf—"
Anthony menatap wajah muram dan sedih Ayu dengan heran. Ia menarik tangannya dari genggaman tangan Ayu lalu menyapu pipi basah Ayu dengan ujung jemarinya. "Kenapa kau menangis, Yu?"
Ayu tersentak, matanya melebar. Wanita itu baru menyadari dia baru saja menangis. "Ayu tidak apa-apa, Mas,"
"Jangan bohong padaku, Yu. Ada apa sampai tanganmu gemetaran kayak gini?" Anthony kembali bertanya penuh selidik.
Sial. Ayu bahkan tidak menyadari tangannya gemetar. Tanpa dikomando dan tanpa diundang bayangan wajah Danial kembali melintas. Hati Ayu kembali nyeri dan perih. Ayu terisak dan berkata dengan suara sedikit serak dan tertahan. "Ayu tidak apa-apa, Mas. Sungguh."
"Kalau kau tidak apa-apa kau tidak akan menangis seperti ini. Katakan padaku ada apa?" Anthony memaksa.
"Ayu benci sama dia, Mas. Ayu benci. Kenapa harus bertemu dengannya sekarang? Kenapa harus saat ini? Saat semua janji dan ucapannya sudah tidak ada gunanya lagi." Semua ucapan itu lolos dari mulut Ayu disertai isak tangisnya. Ayu tidak menyadari semua ucapannya mengarah pada rahasia yang selama ini ia coba tutupi. Perasaan marah dan benci yang menjadi-jadi pada Danial membuatnya melupakan siapa Anthony.
Anthony mengangkat tubuhnya, merubah posisinya untuk duduk bersandar ke punggung tempat tidur. Pria itu tampak sangat mengkhawatirkan Ayu. "Kau ketemu laki-laki b***t yang menghamilimu? Di mana? Apa dia ada di rumah sakit ini?"
Selama ini Ayu tidak punya seseorang untuknya berbagi cerita, baik kesedihan maupun kebahagiaannya. Semuanya ia telan sendiri. Kali ini, bagai burung yang lepas dari sangkarnya, Ayu hampir meluapkan semua sesak yang mengganjal di dadanya. Beruntung, dia tidak mengucapkan nama Danial hingga Anthony tidak tahu siapa pria yang pernah datang dan membuat hidupnya menderita.
Ayu memutar otaknya mencari alasan. Bagaimanapun, suaminya tidak boleh tahu bahwa pria yang dulu menghamilinya adalah putra yang ia banggakan dan harapkan. Kondisi kesehatan Anthony menjadi alasan utama Ayu untuk tetap bungkam.
"Ayu tidak tahu, Mas. Ayu hanya melihat dia berada di jalanan dari jendela kantin rumah sakit." Ayu berbohong.
"Jangan pikirkan dia lagi. Kau punya kehidupan berbeda sekarang. Dia tidak pantas mendapatkanmu, Yu. Pria tidak bertanggung jawab seperti itu tidak pantas mendapatkan wanita sebaik kau,." Anthony berbicara dengan nada geram. "Aku akan selalu menjagamu. Meski kondisiku seperti ini tapi, aku masih punya banyak tangan, kaki, dan mata untuk membuatmu selalu aman. Kau sudah menjaga Rachel, membantu menjalankan perusahaanku, dan mengusir para predator yang mengincar keuntungan dariku. Aku sangat berterima kasih padamu."
Ayu tersenyum. "Itu sudah menjadi kewajiban Ayu, Mas."
Ayu tidak kembali ke perusahaan maupun ke rumah. Sampai menjelang malam Ayu menemani Anthony di rumah sakit. Wanita itu dengan tulus menyuapinya makan, menceritakan keadaan perusahaan, dan mendengar semua keluh kesah pria itu.
Tak pernah ada kata lelah untuk Ayu menemani dan merawat Anthony. Kebaikan Anthony terhadap dirinya tidak bisa ia sangkal begitu saja. Pria itu sudah memberikan semua yang Ayu butuhkan, bahkan yang tidak dibutuhkannya sekalipun.
Deru mobil Ayu terdengar memenuhi garasi yang luasnya mencapai 24meter persegi. Waktu sudah menunjukkan jam 22.30. Rumah besar menyerupai istana itu sudah terlihat sepi. Kemungkinan besar Rachel sudah terlelap di kamarnya. Jika pun belum, pada jam-jam seperti ini dia pasti sedang bercengkrama dengan ponselnya. Ayu menaiki anak tangga dengan tenang. Tiba di lantai atas, Ayu melintasi kamarnya langsung menuju kamar Rachel. Ayu memutar kenop pintu lalu membukanya. Anak tirinya sudah tertidur pulas. Ayu mendekat ke ranjang Rachel lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis remaja itu. Kemudian, ia meraih remote AC yang berada di atas nakas—di samping ranjang—untuk mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin dan membuat tidur Rachel tidak nyaman. Hal terakhir yang menjadi kebiasaan Ayu sebelum meninggalkan kamar anak tirinya itu adalah mengusap lembut kepala Rachel lalu mengucapkan selamat malam. Ayu menatap wajah polos Rachel beberapa saat sebelum berbalik.
"Astagfirullah!" Ayu tersentak, tubuhnya lemas, dan jantungnya hampir berhenti berdetak saat dia melihat sosok pria yang berdiri di ambang pintu. "Danial, sedang apa kau di situ?"
Tidak ingin membuat kegaduhan yang bisa membangunkan Rachel, Ayu berjalan dengan tenang dan sedikit pelan menuju pintu. Ayu berdiri di hadapan Danial memberi isyarat padanya agar melangkah mundur sebelum Ayu keluar dari kamar Rachel dan menutup pintunya.
Danial menangkap sinyal itu. Pria berperawakan tinggi dan berkulit putih itu mundur dua langkah. Ayu menutup pintu kamar Rachel pelan-pelan.
"Danial, mau apa kau di sini?" tanya Ayu pelan.
"Ini kamar adikku. Aku hanya sedang mengawasi dan memastikan tidak akan ada orang yang menyakitinya," sindir Danial.
Ayu mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Sindiran Danial menghujam langsung ke hatinya dan menciptakan rasa sakit seketika. "Kau pikir aku manusia macam apa, Dan? Kau terlalu picik jika berpikir aku bisa menyakiti Rachel. Jika aku mau, aku bisa melakukannya sejak dulu. Tidak perlu menunggu kau kembali."
Ayu berjalan melintas ke hadapan Danial untuk kembali ke kamarnya. Namun, Danial menahannya. Pria itu mencekal lengan Ayu. Ada getaran yang begitu saja dirasakan mereka berdua saat kulit mereka bersentuhan. Ayu mencoba menepis tangan Danial. Ia tidak mau merasakan hal-hal yang bisa dengan mudah meruntuhkan segala pertahannya dari pria itu. Namun, lagi-lagi tangan kuat Danial tak membiarkan semua usaha Ayu berhasil. Pria itu masih mencekal lengan Ayu, bahkan lebih kuat lagi hingga Ayu sedikit mengerang.
"Urusan kita belum selesai!" tegas Danial. Ia mengatupkan sedikit bibir dan menekan giginya kuat-kuat saat penegasan itu keluar dari mulutnya.
Danial menyeret Ayu dan memaksa Ayu masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu lalu melempar sembarang kunci tersebut.
Ayu panik. Pandangannya menyisir ke arah Danial melempar kunci kamarnya. "Dan, apa yang kau lakukan?! Danial, biarkan aku keluar!"
Danial meraih tubuh ramping Ayu dan menariknya mendekat hingga tak menyisakan jarak. Ia terus menekan dan menghimpit tubuh Ayu.
"Dan, lepaskan Aku! Kalau tidak, aku akan teriak," ucap Ayu mengancam.
"Teriak saja dan semua orang akan menemukan seorang ibu tiri yang tidak berhasil merayu anak tirinya lalu bermain sebagai korban. Kau lupa jika ini kamarku?" tantang Danial.
Ayu melebarkan mata. Iris cokelat gelapnya tampak berapi-api dan diselimuti kabut amarah yang diciptakan Danial. Ayu tidak ingin bermain sebagai korban tapi menurutnya, dialah korban yang sesungguhnya.
"Dan, kau sudah keterlaluan. Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti ini." Ayu menahan kedua telapak tangannya ke d**a bidang Danial, berharap pria itu tak menemukan degup jantungnya yang mungkin saja terdengar sangat kencang.
"Seperti apa aku harus memperlakukanmu? Apa aku harus memujamu seperti papaku? Mendewikanmu layaknya kau perempuan paling suci? Begitu maumu?" Danial mengeratkan lingkaran tangannya di punggung Ayu hingga tubuh Ayu merasakan sesak napas. Ujung hidung Danial yang hampir menyentuh ujung hidungnya menambah derita Ayu. Sakit hati dan rasa mendamba yang mendadak terpatri berkecamuk menghantam ketegaran Ayu.
Mata Ayu mulai berkabut. Gelombang air mata yang sangat hebat menerjang bulu mata lentik dan langsung terjun bebas ke pipinya. Napas Ayu tersekat. Jantungnya berdentam kencang menghadapi kenyataan yang terus meyiksa. Wanita itu ingin mengucapkan pembelaan dengan beribu-ribu kata agar Danial tidak lagi menganggapnya begitu rendah, namun rasa perih yang terselip menahan bibirnya untuk terbuka dan bersuara.
Kebisuan Ayu semakin membuat Danial kesal. Ia kesal pada Ayu yang seolah membenarkan semua ucapannya dan terutama kesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti perasaan wanita yang masih menjadi ratu di hatinya itu.
Tubuh Ayu gemetar dan tulang-tulangnya menjadi lemas. Pembelaan seperti apa pun yang akan ia berikan pada Danial, pria itu akan tetap menyangkalnya. Ia selalu menuduh Ayu sebagai penyebab kehancurannya kini dan menganggap wanita itu sebagai pengkhianat. Ayu menunduk. Dahinya beradu dengan d**a bidang Danial. Ayu terisak, sedikit mengerang.
"Bapak dan ibuku meninggal saat bencana itu melanda. Aku pun hampir kehilangan nyawaku saat itu. Saat itu aku sedang hamil anakmu, Danial. Anakmu!" Ayu memukulkan kepalan tangannya ke d**a Danial. "Aku memang dibawa ke kota oleh juragan Hendra, tetapi dia tidak menjadikan aku istrinya. Si tua berengsek itu menjualku ke rumah bordil. Aku tidak mau jadi p*****r. Aku kabur dari rumah bordil itu. Aku—" Ayu menghentikan ucapannya. Wanita itu menghela napas menahan luapan emosi yang berkecamuk dan menguatkan diri untuk melanjutkan pembelaannya. "Aku hidup menggelandang selama beberapa hari di kota ini sampai Pak Joko dan Bi Dedeh menemukanku dan membawaku ke rumah ini. Aku tidak pernah menikah dengan juragan Hendra. Satu-satunya pria yang menikah denganku adalah papamu."
Danial mengelus tangan Ayu yang masih mengepal di dadanya lalu memeluk Ayu. Terlepas ia percaya atau tidak dengan semua cerita Ayu, Danial hanya tidak ingin melihat Ayu menangis seperti ini lagi. Tangisan dan semua ucapan Ayu sepertinya tulus tanpa kebohongan, namun Danial masih menahan dirinya untuk tidak begitu saja percaya sampai ia mendapatkan cukup bukti yang membenarkan ucapan Ayu.
Ayu merasakan tubuhnya mulai rileks terbungkus tangan kuat Danial. Temperatur udara di sekitarnya mulai menghangat. Danial membingkai wajah Ayu, menyapu air mata Ayu dengan ibu jarinya, dan merasakan kembali kelembutan kulit pipi Ayu yang terasa selembut sutra. Kilat matanya menembus mata berair Ayu lalu turun ke bibir Ayu yang merekah dan sedikit terbuka. Sengatan gairah itu datang tanpa diundang. Danial berusaha kuat untuk tidak terperangkap dalam gairah yang mulai membakar tapi tubuhnya bertindak sebaliknya. Persetan dengan semua pertahanan diri. Danial tidak sanggup lagi bertahan. Pria itu mengecup bibir Ayu lalu melumatnya dengan lembut.
Ayu mengutuki dirinya sendiri yang tanpa penolakan menerima semua sentuhan Danial. Tubuhnya merespon percikan hasrat yang disulut oleh pria itu. Ciuman penuh tuntutan Danial begitu menggodanya. Wanita ini kembali merasakan gairah yang telah padam selama hampir tujuh tahun.