8. Teluh Nyai Dasima

1322 Kata
Perempuan itu datang lagi ke gubuk yang menyeramkan di tengah hutan itu.  Memberanikan dirinya datang kemari meski sebenarnya dia ketakutan, karena terbukti dukun perempuan itu sangat sakti.  Matanya membelalak ketika Nyai Dasima membukakan pintu padanya sambil membawa tongkat dengan tengkorak kecil sebagai kepala tongkatnya.              “Masuklah, Nyonya.  Saya tahu Anda akan datang lagi!” kekeh dukun perempuan itu, memamerkan giginya yang agak tajam dan menghitam.  Entah karena terlalu banyak menghisap susur atau kebanyakan menelan racun.             Kaok!  Kaok! Suara burung gagak hitam yang berkaok-kaok diatas pohon membuat tengkuk si Nyonya merinding.  Apalagi saat dia merasa burung gagak itu mengawasinya dengan seksama. “Burung gagak, bukannya pertanda kematian, toh?” gumam Nyonya itu, miris. “Abaikan saja.  Burung itu peliharaanku.” Pantas.  Munggkin dukun ini penjelmaan set*n.  Peliharaannya saja burung gagak, burung pembawa pesan kematian!  Begitu masuk ke dalam gubuk, bau tajam kemenyan segera menyerbu lubang hidungnya.  Nyonya itu mengernyitkan hidungnya.  Dia memilih duduk sejauh mungkin dari dupa yang menyebarkan aroma kuburan itu. “Duduklah disini.” Sial, Nyai Dasimah justru menyuruhnya duduk di depan dupa yang tengah mengepul asapnya.  Terpaksa dia mematuhinya, sembari berusaha menutup penciuamnnya. “Dalem, Nyai.” Nyai Dasima menyeringai, meski maksudnya ingin tersenyum namun terkesan mengerikan di wajahnya yang buruk.  “Kamu datang kemari setelah yakin aku berhasil menenung suamimu, toh?” Nyonya Wardoyo mengangguk heran.  Luar biasa, dukun perempuan ini bisa tahu apa yang terjadi di rumahnya meski belum pernah kesana. “Bagaimana Nyai Dasima bisa tahu?” cicitnya bingung. “Hasil penerawanganku.  Bagaimana reaksi suamimu?” “Akhir-akhir ini dia kurang tidur, kantung matanya semakin menebal.  Mas Wardoyo mengeluh sering bermimpi buruk.” “Bagus, teluh dariku mulai bekerja.  Kamu membawakan yang kuminta , toh?”  Dukun perempuan itu menagih permintaan yang diutarakannya di pertemuan mereka sebelumnya. “Tentu, Nyai.  Tapi boleh saya bertanya.  Bukannya saya meminta Nyai memberi pelajaran pada gendakan kurang ajar itu?  Mengapa Nyai malah menenung suami saya?” Nyai Dasima melotot galak pada Nyonya kaya yang menyewa jasanya.  “Lain kali jangan tanyakan alasan saya melakukan apapun!  Saya punya alasan khusus yang ndak dipahami manusia bodoh seperti kalian!  Sekarang, ingat-ingat ... pada saat suamimu ndak sadar, bukannya dia melampiaskan pada gendakannya toh?” Benar juga, si jalang itu pernah pingsan kehabisan napas karena dicekik suaminya.  Senyum nyonya itu mulai merekah.  Jadi Nyai Dasima akan menghabisi gendakan binal itu melalui tangan suaminya.  Kalau begitu, dia ndak akan ragu lagi. “Maaf, Nyai.  Saya ndak akan bertanya lagi.  Ini, saya bawakan permintaan Nyai.” Perempuan itu menyerahkan kantong merah berisi barang yang diminta Nyai Dasimah, yaitu rambut kemaluan suaminya dan juga k****t bekas pakai suaminya yang belum dicuci.  Nyai Dasima mengangguk puas.  Teluhnya akan bekerja, untuk memuaskan dendam dan keserakahan manusia di bumi fana ini! “Nyonya, saya akan meneluh suami Anda lagi.  Pesan saya, untuk sementara ini ... jangan berhubungan badan dengan suami Anda dulu.  Biarkan dia memuaskan hasrat dengan perempuannya yang lain.  Anda paham maksud saya toh?” “Iya, Nyai.  Saya mengerti,” sahut perempuan itu patuh.  Dia bergidik melihat mata Nyai Dasima yang berputar-putar sendiri seperti orang kurang waras. Dia itu set*n atau manusia?  Nyai Dasima hanya bisa ditemui di malam hari. wajar, kan, dia memiliki dugaan seperti itu?   ==== >(*~*)    “Mbak, bukannya semalam Mas Wardoyo seharusnya kelon di kamar Mbak.  Mengapa tadi pagi aku memergokinya keluar dari kamar gendakan barunya?”  Nia, istri siri Juragan Wardoyo keempat bertanya pada Lusi, isri siri ke dua.  Sudah bukan rahasia lagi, Juragan Wardoyo selalu menggilir kelima istrinya ... meski seringkali dia ndak mematuhi jadwal ngeloni istrinya.  Akhir-akhir ini Juragan Wardoyo banyak menghabiskan waktunya di kamar gendakan barunya.  Mantan primadona p*****r di kawasan pinggiran kota yang baru saja ditutup pemerintah.  Lusi mendengkus sinis.  “Kayak ndak tahu saja kebiasaan baru Mas Wardoyo.  Dia lebih asyik sama gendakan barunya dan cenderung mengabaikan kita toh?” Nia sepakat dengan madunya ini.  Walaupun judes, Lusi itu amat royal pada orang yang bisa diajaknya bekerjasama.  Termasuk Nia.  Sedang istri ke tiga Juragan Wardoyo orangnya labil.  Sebentar membela sana, lainkali menjilat yang sini.  Berbeda dengan Nyonya Besar Kinanti yang sakit-sakitan.  Wanita separuh baya itu sudah tak peduli dengan suaminya, asal Juragan Wardoyo tak mengusiknya.  Konon kekayaan Juragan Wardoyo didapatkan dari istri pertamanya, lantas dia berhasil mengembangkan hingga beranak-pinak berkat kelicikan dan cara kotornya.  Pernikahan mereka tak menghasilkan keturunan, itu sebabnya Kinanti mengangkat anak yang bernama Shinta.  Shinta adalah anak keponakan Kinanti.  Ayah dan ibu Shinta telah meninggal semenjak gadis itu masih bayi merah.  Kinanti merawatnya dan mengangkatnya sebagai anak.  Kebetulan Juragan Wardoyo belum memiliki keturunan.  Meski istrinya lima, satu pun tak ada yang hamil anaknya.  Juragan Wardoyo tak mengerti, padahal dia telah memeriksakan dirinya.  Benihnya tokcer.  Dengan kata lain, dia subur.  Masa dari kelima istrinya tak ada satupun yang berhasil memberinya keturunan? Kembali ke rumpian pagi hari, kedua perempuan nyinyir itu sontak berhenti ketika Mira melintas dengan rambut basah dan hanya mengenakan jarit yang melilit tubuh sintalnya.  Seksi sekali. “Dasar jalang!  Lihat kelakuannya!  Apa dia mau menggoda semua lelaki di rumah ini?  Diperkosa rame-rame baru tau rasa dia!” cemooh Lusi. “Benar, Mbak!  Aku ya gemes melihat kelakuannya!  Lihat toh, bokongnya endal-endul ngono.  Jijiiik!” timpal Nia. Sementara yang dibicarakan dengan santai berjalan ke halaman belakang, dia ingin menjemur handuk basahnya.  Kebetulan disana ada seseorang yang diincarnya, siapa tau lelaki itu tergoda. “Pagi, Ganteng.  Senang sekali melihat lelaki di pagi hari telah berkeringat banyak.  Maskulin sekali kamu,” goda Mirah pada Satryo yang sibuk membelah kayu bakar dengan kampak. Matanya berkilau penuh hasrat melihat d*da telanjang Satryo yang mengkilap karena peluh yang membasahinya.  Bukannya buru-buru menjemur handuknya, Mirah justru mendekati lelaki mempesona yang menjadi obyek fantasinya saat kelon dengan Juragan Wardoyo.   Siapa tahu suatu saat dia bisa mencicipi yang asli.   Satryo mengabaikannya.  Dia terus menekuni pekerjaannya, meski ada perempuan seksi yang memandangnya penuh hasrat.  Tapi ada seseorang yang panas hatinya.  Dia bergegas mendekat untuk menyelamatkan pujaan hatinya dari perempuan penggoda murahan seperti Mirah. “Pagi-pagi sudah menggoda lelaki, Mbak.  Apa ndak takut karma?” sindir Shinta.  Seharusnya Mirah adalah ibu tirinya, mengingat perempuan itu gendakan bapaknya.  Tapi Shinta ndak mau memanggilnya ‘Ibu’.  Bagi gadis mungil ini, ibunya hanya satu.  Ibu Kinanti.  Terhadap istri bapaknya yang lain, dia memanggil mereka ‘Bibi’.  Khusus Mirah, dia hanya memanggil ‘Mbak’. Sindiran tak mempan buat Mirah. perempuan itu telah putus urat k*********a.  Sembari membusungkan dad*nya yang montok, dia membalas sindiran Shinta. “Kalau ada karma, sudah dari dulu saya mampus, Dek.  Sudah beribu lelaki tergoda padaku, termasuk bapakmu.  Mbak yakin yang ini juga begitu.  Malah yang adem begini, di ranjang dia berangasan loh.” Sengaja dia memanasi Shinta.  Pancingannya mengena, gadis itu terbakar hatinya.  Dasar s****l ndak tahu diri! maki Shinta dalam hati. Dia hanya bisa memaki kasar dalam hati, karena di luar dia ingin menampilkan image sebagai gadis kalem berbudi halus.  Apalagi di depan Satryo, dia ingin dipandang gadis sempurna.  Namun, mana bisa dia membiarkan perempuan gatalan ini bertindak semaunya?   Shinta bertekad memberinya pelajaran.  Dia berjalan mendekati perempuan itu, seakan tak sengaja dia terpeleset hingga spontan mendorong Mirah. “Auw!”  Mirah menjerit ketika jatuh terjengkang diatas tanah dalam keadaan mengangkang. Mirah yakin Shinta sengaja ingin mempermalukannya.  Gadis itu salah!  Dia bukan perempuan pemalu.  Jatuh mengangkang di hadapan Satryo, dia sengaja tak segera menutup pahanya.  Dibiarkan bagian intim tubuhnya terpapar bebas, hingga membuat Shinta geram.  Dari geram, Shinta mengernyit jijik begitu melihat kewanitaan Mirah. “Astaga! Ya Gusti!  Mbak, itumu!  Itumu kenapa bisa busuk begitu?!” Mirah tertawa sinis, dia pikir Shinta hanya mengerjainya.  Tapi begitu pandangannya tertuju ke bawah selangkangannya ... sontak matanya membeliak ngeri.  Kewanitaannya menghitam, busuk, bernanah, dan mengeluarkan set-set yang terjulur dari dagingnya yang membusuk. Mirah menjerit histeris! Ada apa dengan dirinya?  Mengapa mendadak miliknya membusuk?  Padahal semalam masih baik-baik saja!  Bahkan dia sempat kelon dengan Juragan Wardoyo. Diam-diam dari kejauhan, seorang wanita mengamati peristiwa ini dan tersenyum puas karenanya. “Teluh Nyai Dasima telah bekerja baik,” gumam wanita itu.   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN