3. SUCKER

1895 Kata
Jonas brother – Sucker (Just listening the songs because the lyrics so relate) Kim Taeri Aku rasa akan mati perlahan jika tetap bekerja di kantor ini. Pada dasarnya bekerja di kantor dengan segala rutinitas tetap bukanlah yang aku inginkan. Sesuatu yang stabil dan teratur memang adalah kesukaanku, tetapi di sisi lain aku ingin ruang gerak yang besar—lebih tepatnya untuk berleha-leha. Ada kala di mana aku begitu lelah dan rasanya ingin diam saja di rumah sambil menunggu uang datang padaku begitu saja. Namun itu mustahil terutama dalam keadaan tertentu aku harus bekerja. Ketika aku mengatakan harus, itu adalah benar-benar tidak boleh jika tak dilakukan. Aku butuh uang dan yang pasti butuh status legal. Ada beberapa hal tentang diriku yang membuat bekerja menjadi suatu ketetapan mutlak. Kalau tahu begini, mungkin aku lebih memilih seperti Kim Taekyung yang sedang diperlakukan layaknya raja dengan semua kru dan orang-orang yang memujanya. Wajahku tidak terlalu buruk untuk menjadi model—tapi sialnya tinggiku memang bukanlah yang terbaik—mungkin dalam beberapa produk tetap bisa disiasati. Atau malahan aku seperti Park Jinmin si pengacara licik itu. Taruhan bagaimana aku menangani kasus tak akan kalah darinya. Kemampuanku dalam hal seperti itu sangat baik. Namun kenyataannya di sinilah aku berakhir. Rutinitas kantor dengan bos gila bernama Jeon Jeongoo. Di mataku dia seperti hitler, semena-mena dan tak dapat dibantah sedikitpun. Begitu mengintimidasi dan sadis dengan caranya. Aku ingin segera angkat kaki dari kantor ini tetapi tidak bisa. Terlebih apa yang baru saja menjeratku. Aku membutuhkan Tuan Jeon yang pongah itu untuk beberapa tujuan. Pria penuh kuasa yang wajahnya seperti bocah. Sungguh awalnya aku mengira dia tipikal pria manis dan kekanakan. Cukup mengejutkan dia adalah CEO. Jam makan siang adalah yang paling aku tunggu. Saat-saat seperti ini merenggangkan otot dan tinggal menunggu Eunbyul—salah satu teman kantorku—datang mengajak makan di kantin. Kantor kami memiliki kantin luar biasa dengan makanan lezat dan bergizi. Selaras dengan pekerjaan gila super rumit yang dikerjakan dan fasilitas juga gaji yang kami dapatkan. Tidak semua dapat masuk bekerja di sini dengan mudah tetapi juga jarang yang dapat bertahan begitu lama. "Taeri-ya!" suara itu pastilah Eunbyul yang mendekat ke arah ruanganku. Senyuman lega dengan wajah kelelahan sudah tertampang jelas pada diriku. Tapi sungguh kedatangannya seperti oasis yang benar-benar aku nantikan. Aku tak begitu lapar, tetapi aku butuh udara segar setidaknya untuk keluar dari ruangan atau lantai ini. "Byul-ah! Ayo kita segera makan. Kira-kira apa menu hari ini dan apa yang kau ingin makan? Aku harap mereka menyajikan minuman yang manis sekali. Aku sedang ingin minum saja. Milkshake lebih baik." cerocosku seperti biasa. Aku memang introvert tetapi bukan berarti tidak pandai bersosialisasi, itu adalah dua hal berbeda. Apalagi aku haus memiliki teman dekat setidaknya satu di kantor ini. Eunbyul sendiri adalah tipikal gadis manis yang periang. Semua orang rasanya menyukai dia di kantor ini. Bisa dibilang dia begitu informatif pada semua yang terjadi di kantor, maka berteman dengannya membuat aku ikut mengetahui segala kejadian di sini. Tetapi bukan berarti dia pribadi yang suka menjelekan ataupun memanasi keadaan. Dia hanya berbicara berdasarkan fakta dan bukan memulai duluan kecuali padaku. Sekalipun dia dekat dengan banyak karyawan, akulah yang paling dekat dengannya. Tentang betapa informatifnya Eunbyul, terbukti melalui bagaimana dia selalu tahu menu apa yang ada di kantin maka aku selalu bersemangat bertanya padanya. "Sepertinya kita tidak bisa makan siang bersama hari in," ujar Eunbyul dengan wajah sedih. Keningku berkerut bingung. "Kenapa? Kau ada janji makan di luar?" Aku menghela napas sedih tetapi langsung mengangguk. "Bukan masalah besar. Just have fun!" "Bukan begitu—kau dipanggil Tuan Jeon ke ruangannya," ujar Eunbyul lagi. Aku terdiam beberapa saat untuk mencerna ucapan itu sampai rasanya ingin meledak ketika menyadari jelas apa artinya. Bola mataku berputar muak. "Dia gila? Ini jam makan siang dan dia masih akan membuatku bekerja? Dia benar-benar dictator!" makiku kesal tapi tetap mengontrol volume agar tidak terdengar. Bagaimanapun Jeongoo adalah seorang bos. "Apa kau ada hutang laporan padanya yang belum kau selesaikan?" tanya Eunbyul langsung menebak karena semua orang tahu bagaimana ketatnya Jeon Jeongoo. Aku mendengus kesal. "Ada satu dan itu dikumpulkan tiga hari lagi. Masih tiga hari! Setidaknya berikan waktu sehari sebelumnya atau nanti sore bisa! Ini jam makan siang!" Aku benar-benar tak habis pikir dengan si Jeon itu. Eunbyul menepuk punggungku lembut dan mengusap-usapnya seperti berduka. "Setidaknya anggap saja kau beruntung bisa dekat dengan Tuan Jeon. Maksudku—semua wanita di sini berharap berada di posisimu." Aku bergidik jijik mendengar itu. "Kau termasuk?" "Tentu. Tapi aku tidak tahan banting sama sekali sepertimu." Eunbyul menyengir lebar. "Baiklah aku akan ke ruangannya. Kau makan saja." Tak punya pilihan lain. Aku segera membereskan beberapa berkas. Tidak peduli ada yang belum selesai yang pasti aku sudah berusaha dan bahkan ini jauh dari waktu yang ditentukan. Bukan kesalahanku sama sekali. Setidaknya aku menghadap memberi tahu sudah sampai mana daripada langsung dikeluarkan begitu saja. "Kim Taeri... Bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Eunbyul tiba-tiba. Dia bahkan belum beranjak dari ruanganku. Aku hanya mengangguk saja sambil tetap bekerja memilah beberapa dokumen. "Beberapa karyawan di sini membicarakan tentangmu dan Tuan Jeon. Maksudku—biasanya dia sama sekali tidak mau berinteraksi banyak dengan orang. Bahkan sekertaris sebelumnya tak sering bersamanya dan memberikan berkas pada tangan kanannya daripada bertemu langsung. Kau berbeda. Apa kau memiliki suatu hubungan dengannya?" Aku langsung terdiam mendengar itu. Tapi buru-buru kembali bekerja—mengerakan tangan memilah lagi agar tidak mencurigakan. Sungguh bingung menjawab hal itu karena si b******n sialan itu menjebakku beberapa hari lalu. Tentu kami memiliki suatu hubungan. Tetapi jika dipikir sebelum itu dia bahkan sudah menyuruh-nyuruh dan bertindak semena-mena padaku. Persis seperti apa yang dikatakan Eunbyul kalau dia berbeda. Mungkin Jeon memang sejak awal ingin membuatku hancur. Aku harus berpikir cepat menjawab pertanyaan Eunbyul agar tidak membuatnya curiga. "Sungguh, kalau boleh memilih aku lebih baik seperti sekertaris sebelumnya. Sepertinya dia kegirangan mendapatkan sekertaris kompeten sepertiku dan malah membuatku over working." Eunbyul menganggukan kepala dengan wajah iba. "Benar juga. Dia sudah kelewatan." Aku bersyukur tak perlu memberi jawaban dan melemparkan pengalihan lain yang bisa dimasuk akal. Tentu saja, aku adalah Kim Taeri. Itu adlaah bagaimana aku bekerja.   +++   Pria tua berambut putih yang biasanya menjadi tangan kanan Jeongoo sudah jarang terlihat. Tentu saja dia tak begitu membutuhkannya karena sekarang sudah ada aku yang menjadi babu. Apalagi ditambah menjadi sarana melampiaskan nafsunya. Aku masih benar-benar tidak habis pikir atas apa yang Jeongoo lakukan. Seumur hidup ini pertama kalinya aku merasa begitu marah dan muak tentang bercinta. Ini benar-benar di luar consent. Kalau saja dia bukan Jeon Jeongoo dan keadaan memang tidak harus membuatku bertahan, aku sudah pergi dari sini. Melakukan sesuatu untuk pembalasan adalah nomor satu tentu saja. Setelah melewati dua penjaga yang berada di depan pintu coklat kayu mengkilap milik ruangan Tuan Jeon, aku segera masuk. Kedua penjaga itu hanya menatap lurus sambil membukakan pintu. Sementara aku menatap mereka dengan galak. Mau saja dijadikan patung penjaga seperti ini. Terlalu berlebihan karena ini hanya di kantor. Dalam kantor. "Kenapa lama sekali?" itu adalah kalimat pertama yang keluar dari Jeon yang duduk dengan angkuh di kursi putarnya. Setelan jas berwarna biru dengan kemeja putih dan satu kaki di angkat. Matanya menatapku lurus dengan dagu terangkat dan tatanan rambut yang menunjukan dahi juga alisnya yang menukik tebal. So breathaking I adimited. Tak berminat menjawab sama sekali. Aku hanya terdiam. Bungkam seribu Bahasa dan berdiri tepat di depan mejanya. Bersebrangan dengan dirinya sambil meletakan dokumen di mejanya. Menunjukan beberapa kertas yang pada akhirnya membuatku harus membuka suara hanya untuk menjelaskan. "Saya belum menyelesaikan semuanya karena memang waktunya yang tidak masuk akal. Ini beberapa laporan yang sudah selesai dan—" "Siapa yang memintanya?" potong Jeongoo. Aku terdiam dan mendongak menatap dia yang masih bersender sambil memutar bangkunya ke kanan dan kiri. Antara angkuh, sombong dan seperti bocah menjadi satu di mataku. Tapi tunggu—apa tadi dia bilang? "T-tapi tadi Eunbyul mengatakan kalau anda memanggil saya?" "Iya, benar. Tapi tidak ada yang mengatakan untuk meminta laporan, bukan?" Dia benar. Entah aku harus girang karena tidak tertekan oleh pekerjaan atau takut karena dia mungkin saja lebih gila dari itu. Ini adalah Jeon Jeongoo, aku tak boleh mempercayainya begitu saja. "Baik, kalau begitu ada apa anda memanggil saja Tuan Jeon?" "Makan siang." Makan siang? Baiklah. "Di mana Tuan? Apa anda ingin mem-booking restoran tertentu seperti biasa?" tanyaku. Untuk kali ini aku akan berhati-hati agar dia tak melakukan sesuatu buruk seperti sebelumnya padaku. "Di sini." "Di-di sini? Maksud anda di kantin?" Jeongoo menggeleng dan menggeser sedikit kursinya untuk memberi ruang antar dirinya dan meja. Lalu tangannya menepuk pahanya. "Di sini. Kau makananku. Cepat kemari, Kim Taeri-ku." Aku sukse melongo. Apa-apaan dia ini? Sudah menjebakku dan sekarang begitu terang-terangan seolah ini bukan hal besar. "Kim Taeri, kau masih ingat tawaran yang kau terima kan?" tanyanya lagi seakan sudah mengikatku. Padahal tak ada sama sekali kontrak hitam di atas putih. Tapi sungguh aku rasanya begitu marah. Dia terlalu seenaknya. Padahal seharusnya dia setidaknya merasa bersalah. Ini seperti apa yang dia lakukan sudah terlupakan begitu saja. Aku menduduk dan tertawa sinis. Sepertinya Jeongoo terkejut dengan reaksi sekaligus kebingungan. Kemudian aku menatapnya begitu mengintimidasi. "Jangan berlagak sok berkuasa. Tidakkah kau merasa bersalah? Aku menerima penawaran tetapi bukan berarti kau dapat mendominasi semuanya. Melakukan semaumu dan seenakmu. Aku tak akan membiarkan kau semena-mena. Kau bahkan lebih mudah dariku, Jeon Jeongoo. Kau hanya bocah yang kebetulan dilahirkan dari keluarga kaya dan mendapatkan ini semua. Kau hanya anak kemarin sore." Aku kira itu cukup menyulit Jeongoo tetapi kenyataannya dia malah tersenyum seakan begitu puas dengan apa yang aku katakan. senyuman takjub penuh kekaguman. Aku membenci itu. "It's ok, we can do mommy kink if you want. Daddy kink is kinda old, noona." ujarnya malahan dengan sengaja memakai kata 'noona' seolah sedang meledekku. Membalikan bagaimana aku menyebutnya bocah. Pengertian yang sama sekali bukan ke arah sana seharusnya. Kesabaranku habis. "Kau tahu ini menjijikan dan memuakan? Sudah berapa wanita yang kau perlakukan seperti ini? Kau bisa melakukan itu pada mereka semua tetapi tidak padaku. Atau lebih baik aku cari tahu siapa saja yang kau jebak untuk kau dapatkan keuntungan seperti ini? Akan aku buat kau menderita seumur hidup." Jeongoo terkesiap seketika. Bibirnya terbuka kecil menunjukan keterkejutan. Tak mengira bahwa aku akan mengatakan seperti itu. "Aku rasa ada kesalah pahaman di sini." ujar Jeongoo sambil terkekeh miris. Bukan tawa untukku tetapi lebih pada dirinya sendiri. Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada di kepalanya. Dia begitu abu-abu. "Kau adalah satu-satunya. Kesalahan terbesarku. Tapi aku harus melakukan itu untuk mendapatkanmu sebelum mereka semua," ujarnya menatapku dengan begitu serius. Dia mendekat padaku dan kemudian bangkit dari kursi. Mencondongkan tubuhnya agar wajah kami berdekatan. "Aku tidak pernah melakukan hal itu pada wanita manapun atau siapapun. Aku tidak sekeji itu. Aku tak akan melakukan tanpa mereka yang menginginkan. Kedua pihak. Aku tahu batasan dan menghargai mereka. Terdengar sombong tapi kenyataannya mereka yang menginginkanku. Aku menerimanya tapi tidak mengambil keuntungan lain. Tapi kau berbeda—aku berubah menjadi penjahat untuk merengkuhmu. Tak ada yang boleh mendapatkanmu selain diriku. Maka aku melakukan hal itu. Tak ada pembenaran dan aku tahu kau akan membenciku. Aku mengakuinya." Jeongoo pasti sudah kehilangan akal sehatnya. Apa yang dia bicarakan? Apa maksud dari semua ucapannya? Kenapa harus aku? "Kau seperti terobsesi denganku, Tuan Jeon." sarkasku tertawa sinis—menghina. "Kau benar," akuinya tanpa malu. Sungguh bukan reaksi yang aku inginkan. Aku sampai menahan napas karena itu terlebih tatapannya seakan mengontrol seluruh diriku. Feromon yang begitu kuat. "K-kenapa? Kenapa aku?" "You're making the typicall me and break my typicall rules. I'm a sucker for you." []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN