PROLOGUE
Ini bukan cerita bahagia karena di awali dengan muslihat, dijalani dengan kepura-puraan bersama sebuah pengkhianatan, akhirnya? Tentu duka sudah menunggu sambil tertawa terbahak-bahak. Untuk aku, kamu dan kalian yang akan menikmatinya—mengebu dan terlarut dalam helaan napas begitu berat; hidup itu lebih dari sekadar salah dan benar. Berdiri di salah satunya hampir mustahil. Keduanya akan saling Tarik-menarik sampai kau habis tak tersisa dimakan perspektifmu sendiri.
Tapi dia kerap mengatakan bahwa apa yang ada di kepalaku itu seksi, perspektif yang membuatnya jatuhnya. Walaupun akhirnya aku akan tertawa karena yang paling menarik, tubuhku bukan, Tuan Jeon?
Ponsel Jeongoo berbunyi. Jeongoo membuka matanya kala aku mengagumi setiap sudut wajahnya yang diciptakan kelewat indah—begitu sempurna. Entah Tuhan sedang tidak adil atau sedang kegirangan ketika Jeongoo diciptakan. Karena pria itu dapat begitu mudah menjerat siapapun. Wajahnya adalah kelicikannya. Perilakunya berupa trik mematikan yang akan membuat deretan orang bertekuk-lutut. Luar biasa.
"Menyukai pemandangannya?" tanyanya begitu menggoda. Wujud monster yang kerap kutemui di atas kasur.
Tak begitu banyak menunjukan respon, tetap dengan wajah datar—menatap matanya yang gemerlap itu. Menyentuh lembut pipinya yang segera ditangkap lalu diciumi pada punggung tangan dengan mata terpejam sehingga bulu matanya seolah mengajak bermain. Minta dikecup pada kelopak. Terlalu lembut, tak selaras dengan apa yang dia lakukan. Aku lagi-lagi jatuh dalam pesonanya seperti biasa.
"Angkat ponselnya," ujarku karena merasa begitu terganggu.
Ia membuka matanya, menatapku tak suka karena apa yang keluar dari bibirku. Terdengar seperti memerintah kah? Tapi aku rasa itu perlu ketika kenyamananku merasa terusik. Kami di sini berdua, sama-sama mendapatkan hak.
"Apakah itu penting?" Tanya retorik. Tak ada guna bertanya padaku karena dialah satu-satunya yang tahu hal itu. Alangkah lebih baiknya kalau dia mengangkat lalu memutuskannya. Toh tak begitu penting untukku kecuali—
"Itu istriku, kau tahu kan?" lanjutnya.
Ah, itu dia.
"Lalu? Bukankah justru kau harus mengangkatnya?" tanyaku masih harus berusaha terlihat tenang.
Jeon Jeongoo semakin mendekatkan tubuh kami. Tak mengenal apa itu jarak karena satu-satunya yang kami tahu adalah dua kulit saling bersinggungan di bawah selimut—telanjang. Dia merengkuh tubuhku seolah aku mutlak miliknya. Mungkin benar, jika hanya di kasur berdua dengannya. "Lalu? Apa aku harus mengangkat dan mengatakan sedang bercinta dengan salah satu karyawanku?" tanyanya balik dengan sarkasme menggunakan apa yang sebelumnya Taeri lontarkan.
Kurangan ajar sekali.
"Kau membuatku terdengar seperti selingkuhan."
"Lalu kalau bukan? Apa? Mau jadi yang resmi? Kau cukup mengandung anakku. Ibuku pasti akan bahagia dan kau dapat masuk ke dalam kehidupanku.
Karena sumpah, Kim Taeri, aku menginginkanmu."
Seperti biasa, seenaknya. Membuat seakan apa yang dia katakan terdengar begitu mudah. Apa yang dia inginkan biasanya kerap didapatkan. Dan aku merasa menjelma menjadi obsesinya. Jelas sekali ini bukan cinta.
Aku tersenyum asimetris. "Aku tak pernah ada niat menikah. Apalagi untuk mempunyai anak dan itu bersamamu. Jeon Jeongoo, aku saja sudah bodoh jatuh dalam permainanmu ini."
Ia terkekeh seakan itu adalah lelucon paling lucu di dunia. Aroma alcohol menyeruak dari mulutnya. Membuat pusing karena teringat malam gila kami. Bukan hanya baju yang tercampakan di lantai karena lebih dari itu. Kami menggila membiarkan satu-satunya yang ada di kepala adalah birahi yang minta dipuaskan.
"Ya, kau menyebut ini permainanku? Kim Taeri noona, aku tahu tujuanmu sejak awal sampai ada di atas kasurku. Kau ingin membunuhku kan?"
[]