Suara burung yang sarangnya ada di atas pohon jambu belakang rumah Daneswara bunyinya seperti obat terapi di pagi hari. Rutinitas membaca buka ditemani dengan kopi hitam dari Kintamani, membuat perasaan lebih tenang dan damai. Kegiatan ini hampir selalu dijalani oleh Gentala jika harinya tidak terlalu hactic. Momen langka yang harus ia syukuri karena memang jarang terjadi.
Lembar demi lembar halaman buku Gentala baca dengan tenang. Sesekali menyesap kopi dalam cangkir yang isinya hampir habis. Matanya yang fokus, seketika saja membola saat membuka halaman buku berikutnya. Setelah itu, senyum dingin muncul di wajahnya ketika menatap foto yang terselip di sela-sela buku miliknya.
“Sepertinya akan seru kalau permainan ini berlanjut,” gumam Gentala.
Suara dehaman pelan dan langkah kaki dari arah samping, membuyarkan lamunan Gentala. Ia segera menutup buku dan memastikan foto sebelumnya kembali tersimpan baik. Petra datang sehingga Gentala mengubah posisinya yang setengah berbaring, kini menjadi tegap.
“Kamu nggak ke rumah sakit?” tanya Petra. Laki-laki itu pun ikut mengambil tempat di kursi berbahan rotan yang ada di samping putranya. “Biasanya kamu selalu hilang sebelum sarapan,” sindirnya.
Gentala kembali menyesap kopinya, menikmati sisa terakhir dari cairan berwarna hitam pekat. Setelah itu, meletakkan kembali di tempat semula, lalu fokus melihat sang ayah.
“Masih ada waktu buat santai, Pa. Kalau aku pergi lebih pagi, artinya memang ada pasien yang gawat,” jawabnya.
Petra mengangguk pelan, tentu sudah tahu alasan dari Gentala. “Bagaimana perkejaan kamu, semuanya aman?”
“Ya bisa dibilang begitu.”
“Papa minta maaf belum sempat ke tempat prektik kamu yang baru.”
Gentala menggeleng santai, tidak menunjukkan ekspresi kecewa. “Santai saja, Pa. Bukan hal yang perlu disambut dengan berlebihan. Aku pindah tempat praktik, bukan buka apotek baru.”
“Ngomong-ngomong soal apotek baru, sepupu kamu kasih laporan kalau kita akan buka beberapa cabang apotek lagi. Apa kamu nggak tertarik buat tanya-tanya soal keadaan perusahaan?” tanya Petra serius.
“Pa, fokusku sekarang adalah merawat dan mengobati anak-anak yang sakit. Urusan perusahaan sudah ada yang urus jadi buat apa aku ikut campur lagi. Lagi pula, dari awal aku sudah bilang kalau kemungkinan aku belum tertarik urus perusahaan,” jelas Gentala.
Petra menghela napas. Pembahasan ini sudah terjadi berkali-kali tapi belum juga berhasil menggoyahkan keputusan putranya. Dan juga, ia tidak bisa menentang cita-cita Gentala untuk membantu anak-anak yang membutuhkan bantuan.
“Aku suka pekerjaanku, Pa. Jadi aku harap ini terakhir kalinya Papa bahas ini. Kalau suatu saat nanti aku siap, orang pertama yang aku kasih tahu adalah Papa. Tolong pahami keputusanku. Bisa kan, Pa?”
“Baiklah, tapi ada syaratnya.”
“Syarat? Apa lagi, Pa?” tanya Gentala penasaran.
“Papa berencana undang orang yang sudah menyelamatkan nyawa Papa, untuk makan malam di rumah. Tolong luangkan waktu kamu untuk ketemu mereka.”
Permintaan Petra terasa biasa saja tapi justru membuat Gentala merasa curiga. Ada sesuatu yang disembunyikan ayahnya dan ia penasaran akan niat terselubung itu.
“Cuma makan malam biasa, kan?”
“Iya, Cuma makan malam sekalian Papa kenalin kamu sam Dena. Siapa tahu kalian cocok, jadi Papa bisa jodohin kamu dengan dia,” jelas Petra.
“Apa?” Gentala cukup kaget meski ini bukan yang pertama baginya. “Ayolah, Pa. Kenapa harus repot-repot begini? Memangnya Papa pikir aku kurang ganteng sampai nggak bisa cari pasangan sendiri?”
Petra beranjak dari tempatnya duduk. Memasukkan kedua tanganya ke dalam saku celana. Ditatapnya Gentala begitu dalam dan juga ekspersi tegas.
“Sebenarnya Pap malas juga jodohin kamu dengan perempuan di luar sana, apalagi kamu sudah terlalu dewasa dan harusnya bisa urus sendiri. Tapi Papa sudah tua dan juga sakit-sakitan, jadi sudah waktunya kamu menikah. Hari tua Papa harus diisi dengan menimang cucu,” ucapnya. “Kecuali kamu berhenti main-main dengan perempuan nggak jelas. Cari calon sendiri, dan saat itu juga Papa berhanti ikut campur sama kehidapan pribadi kamu,” tegas Petra lalu pergi dari sana.
Bukannya kesal, Gentala justru tersenyum mendengar permintaan ayahnya. Apa yang Petra minta adalah hal wajar mengingat ia adalah anak tunggal dari laki-laki itu. Gentala punya adik tiri, tapi Petra tidak punya hak untuk memaksakan kehendaknya. Jadi yang jadi sasaran utama adalah dirinya.
Hubungan Gentala dan Petra baik-baik saja. Namun ketika ayahnya memutuskan menikah lagi karena ibunya meninggal beberapa tahun lalu, ia tidak bisa sedekat dulu. Entah dari mana datangnya jarak, Gentala merasa tidak bisa lagi bersikap seperti dulu. Tidak hanya dengan Petra, ia juga masih sulit menerima kehadiran Anne di dalam keluarga Daneswara.
“Apa nggak ada topik lain selain menikah? Bukannya nggak laku, tapi aku masih suka bermain-main tanpa ikatan yang mengekang,” gerutu Gentala.
***
Seperti biasa, selesai melakukan tugas sebagai dokter anak di rumah sakit, Gentala tidak pulang ke rumah. Ia memilih istirahat di apartemen miliknya karena jaraknya lebih dekat ke tempat prakteknya. Awalnya ia membeli apartemen untuk ditempati permanen, tetapi Petra memohon agar tidak pindah mengingat kesehatan laki-laki kadang tidak stabil. Merasa tidak tega, Gentala sebagai anak tentu tidak akan menolak. Jadi apartemennya digunakan sebagai tempat singgah jika terlalu singkat untuk pulang ke rumah.
Mulai jam enam sore Gentala memulai prakteknya. Biasanya ia melayani sekitar 10 sampai 15 pasien. Sebagai dokter, ia senang-senang saja kalau pasiennya sedikit. Ia menganggap, semakin sedikit yang datang maka banyak anak dalam keadaan sehat. Bagi Gentala, uang bukan segalanya. Ia sering sedih melihat anak-anak sakit dan menderita.
“Lagi berapa pasein, Kania?” tanya Gentala. Setelah selesai menangani pasien anak perempuan yang menderita demam, Gentala sedikit mengambil waktu untuk meregangkan badannya. Meminum air demi menghilangkan kering di tenggorokan. “Apa masih banyak?”
“Sisa dua pasien lagi, Dok. Kalau Dokter mau istirahat dulu, kita bisa minta mereka tunggu sebentar.”
Gentala menggeleng. “Tidak usah, kita lanjut saja karena saya sudah ada janji.”
“Janji?” gumam Kania tanpa sadar.
Suara asistennya terdengar di telinga Gentala. Laki-laki itu tidak marah tapi justru tersenyum. “Jangan tanya saya janjian sama siapa. Yang jelas bukan yang kemarin, lusa atau minggu lalu. Kamu tahu saya orangnya cepat bosan, jadi tentu saja dengan orang yang berbeda,” jelas Gentala tanpa Kania minta.
Kania tersenyum canggung dengan raut wajah memerah. Merasa tidak enak hati karena terlalu ingin tahu urusan Gentala. “Maaf Dok kalau saya lancang.”
“Santai saja, saya selalu terbuka sama kamu, kan?”
“I -iya Dok. Kalau begitu saya panggil pasien selanjutnya,” ucap Kania demi mengurai rasa canggung.
***
Seperti yang dikatakan kepada Kania, begitu pasien habis dan urusan pekerjaan selesai , Gentala lamgsung pergi meninggalkan tempat prakteknya. Ia mendatangi Purple Café and Bar, tempat biasa yang sering ia datangi. Tempat itu juga menjadi lokasi Denallie bekerja sebagai penyanyi. Kali ini Gentala tidak sendiri, melaikan ditemani seorang wanita yang dikenalkan oleh saudara sepupunya.
Datang ke tempat hiburan, Gentala menanggalkan semua atributnya sebagai dokter. Di luar ia memang suka bersenang-senang, tapi kalau urusan pekerjaan ia tidak akan main-main. Rekan kerjanya tahu kebiasannya, dan mereka tidak ikut campur selama tidak mengganggu pekerjaan.
“Kenapa kita ke sini? Aku tahu loh tempat yang lebih bagus daripada tempat ini.”
Gentala meneguk minuman di dalam gelas. Pandangan matanya tertuju ke depan. Mejanya menghadapat langsung ke area tempat Denallie bernyanyi. Sehingga saat ini mereka saling menatap. Tentu saja tatapan wanita itu tidak bersahabat bahkan cenderung menghindar. Tetapi Gentala sengaja menggoda agar Denallie semakin kesal.
“Kamu denger aku ngomong nggak?” tanya wanita bernama Neysa.
“Aku denger, kok. Aku suka tempat ini makanya kita ketemu di sini. Lain kali kamu yang tentukan tempatnya,” jawab Gentala santai.
Tangannya dengan santai menarik pinggang Nesya yang duduk di sebelah Gentala. Tanpa canggung mencium leher wanita itu. Akan tetapi pandangan matanya justru tertuju kepada Denallie.
“Aku suka wangi parfum kamu. Boleh aku cium lebih dekat lagi?” tanya Nesya ditambah dengan kedipan genit.
Gentala tersenyum, lalu mengangguk. Ia merebahkan sedikit badannya, hingga bersandar pada sofa kulit berwarna hitam pekat. Dibiarkannya Nesya mendekat, menciumi aroma parfum yang melekat di tubuhnya.
“Rasanya kurang puas kalau cium dari balik baju. Gimana kalau …”
Gentala menahan tangan Nesya yang mencoba menyentuh dadanya yang bidang. Setelahnya, ia mendekat, lalu berbisik di telinga wanita itu. “Aku nggak suka main sembarangan. Kita ketemu untuk senang-senang di sini, bukan di ranjang.”
Seketika raut wajah Nesya yang nakal dan antusias berubah kecewa. Wanita itu menghela napas, nampak tidak suka mendengar ucapan Gentala.
“Kamu marah?” tanya Gentala tanpa rasa bersalah.
Nesya mengangkat bahunya ringan lalu meneguk minuman miliknya. Setelah itu kembali menatap Gentala. “Untung kamu ganteng, jadi aku bisa lebih bersabar.”
Bukannya membalas pujian dan tatapan Nesya, yang dilakukan Gentala adalah kembali menatap Denallie. Wanita itu sedang melantunkan lagu dengan tubuh yang bergerak teratur. Pakaian yang dikenakan memperlihatkan bagaimana indah lekuk tubuhnya. Rambut panjang terurai dan mata bulat tajam, menambah daya tarik dari wanita itu.
“Pacarmu kurang bersyukur, tapi aku harap dia belum menyentuh tubuhmu, Denallie,” gumam Gentala.
“Kamu ngomong apa?”
Gentala sedikit terkesiap karena suara keras Nesya. Ia mengambil botol minuman lalu menuang ke dalam gelas miliknya yang kosong. Tanpa menunggu lama, diteguk hingga tersisa setengah.
“Mungkin aku mulai mabuk, jadi omonganku nggak jelas,” ujar Gentala.