14. FAKTA MENYAKITKAN SEKALIGUS MENGEJUTKAN

1176 Kata
“Nggak ngerti bahasa Indonesia, ya? Dena bilang nggak mau tapi kenapa maksa! Dan jangan bawa-bawa nama Jiro buat pancingan.” Sada mendorong tubuh Gentala agar menjauh dari Denallie. Tetapi dengan cepat Varo dan Abila melerai agar tidak terjadi hal yang lebih buruk. Jika sudah emosi, sangat sulit untuk membuat Sada kembali berpikir normal. Itu sebabnya, Abila dan Varo bergerak cepat/ “Jangan pakai emosi, bisa nggak?” tanya Abila penuh penekanan. Varo berdecak sebal. “Jangan terlalu berlebihan, Da. Semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik.” “Tapi dia maksa. Kalian nggak liat?” Sada kembali mendekati Gentala dengan kedua tangan mengepal. “Sada! Aku yang mau, jadi jangan ikut campur,” ucap Denallie tegas. “Makasih sudah mau bela aku. Tapi dia mau kasih tahu tentang Jiro, jadi aku mau dengar,” sambungnya. Sada menghela napas kasar dengan sorot mata yang nampak masih marah. “Kamu yakin?” “Iya, tentu. Kalian pulang duluan aja. Biar aku mau ngomong sama dia,” ucapnya. “Ya sudah, kita pulang duluan. Tapi kalau ada apa-apa, kamu telpon kita ya, Na,” ucap Abila. Lalu wanita itu menatap Gentala. “Mas Dokter, tolong jaga Dena baik-baik ya. Jangan macem-macem karena dia jauh lebih galak dari yang Dokter kira. Dena bukan anak kecil polos dan murni, seperti yang biasa Mas Dokter tangani. Jadi jangan macam-macam.” Gentala mengangguk pelan. “Tenang saja, saya tahu cara menjinakkan dia,” jawabnya enteng. Pada akhirnya Denallie mau mengikuti Gentala untuk masuk ke mobil. Dengan perasaan gugup, Denallie memberanikan diri duduk berdua dengan laki-laki asing. Meski sudah pernah berkenalan, baginya Gentala tetap orang yang tidak ia kenal, yang patut diwaspadai. “Sekarang apa? Kamu tahu apa tentang Jiro?” tanya Denallie tidak sabar. Gentala masih dengan ketenangannya. Laki-laki itu bahkan dengan santainya meneguk air mineral untuk membasahi mulutnya. Melihat Gentala diam, mulai memancing rasa kesal Denallie. Wanita itu menoleh, lalu mendelik. “Kamu Cuma main-main, ya?” “Sabar, saya Cuma mau kamu menyiapkan diri,” jawabnya santai. “Maksudnya?” Gentala menoleh ke samping, memandang kedua mata Denallie dengan lekat. Tidak lama, tangannya sesuatu yang tergeletak di atas dasbor mobil. Bentuknya amplop berwarna cokelat dengan ukuran cukup tebal. Benda itu lantas disodorkan kepada Denallie. “Buat kamu,” ucapnya. Kening Denallie mengkerut dengan tatapan curiga. “Jadi kamu nggak serius mau ngomong soal Jiro? Kamu mau kasih uang biar aku mau menemin kamu, begitu?” “Kenapa kamu bisa mikir begitu?” tanya Gentala heran. Ia mendorong tubuhnya untuk bersandar pada jok mobil. “Apa tampang saya kelihatan suka bayar cewek?” sambungnya. Denallie langsung berdecis kasar. Raut wajahnya nampak kesal karena Gentala mempermainkannya. Tangannya segera meraih gagang pintu mobil dan bersiap untuk keluar. “Kalau nggak penting, aku mau pulang. Ngomong sama kamu rasanya buang-buang waktu,” cibirnya. “Jangan geer, Dena. Saya terlalu capek kalau harus menghabiskan malam yang panas sama kamu. Tapi kalau lain kali, boleh juga. Dengan senang hati saya menyambut kamu.” “APA?” “Jangan kaget begitu, kamu bukan anak abg yang nggak ngerti maksud saya,” ujarnya tanpa rasa bersalah. “Gila, kamu memang maniiak!” maki Denallie tanpa rasa ragu. “Kalau kamu macam-macam, aku bisa teriak sekarang juga!” “Memangnya masih ada yang dengar? Tempat ini sudah sepi,” jawab Gentala dengan ekspresi mempermainkan Denallie. “Dasar b******k!” Jelas Gentala tidak menanggapi serius. Ia kembali menyodorkan amplop di tangannya. “Di dalamnya ada sesuatu tentang Jiro. Pacar kesayangan yang selalu kamu banggakan,” ucapnya. Sejenak Denallie terdiam sambil memandang kembali amplop cokelat yang Gentala ingin berikan. Ada keraguan akan keseriusan laki-laki itu. Tetapi rasa penasaran yang membumbung tinggi, akhirnya menggerakkan tangannya untuk menerima. Tangannya merasakan isi di dalam amplop itu cukup tebal. “Cepat buka daripada kamu penasaran dan nuduh saya macam-macam,” ucap Gentala santai. Denallie menuruti apa yang Gentala katakan. Perlahan membuka benda itu dan ngeluarkan isinya. Mendadak tangannya gemetar dan matanya membola sempurna ketika pertama kali melihat sebuah foto. Tubuhnya berubah kaku dengan degup jantung begitu cepat. “Itu Jiro pacar kamu, kan?” “Ke – kenapa kamu bisa punya foto ini?” Salah satu sudut bibir Gentala terangkat, menunjukkan senyum remeh. “Bukan hal yang susah. Kamu belum jawab, dia benar pacar kamu?” Bibir Denallie terasa kaku, sulit untuk menjawab. Matanya perlahan berubah kabur karena air mata yang tidak diinginkan berkumpul di sana. Tetapi penghilatan pertamanya masih teringat jelas, laki-laki yang ia cintai, tengah berciuman dengan seorang wanita. “Dia selingkuh dan kamu harus tahu.” Denallie masih bergeming tanpa mengatakan sepatah kata. Tangannya mengusap mata yang mulai basah agar bisa melihat lebih banyak lagi lembaran foto yang Gentala berikan. Bukan hanya ciuman, tapi Jiro juga bermesraan dengan seorang wanita tanpa ia tahu siapa dia. Sungguh, hatinya terasa remuk redam dibuatnya. “Kamu sengaja rekayasa ini karena perjodohan, kan?” tanya Denallie dengan suara bergetar. “What?” Gentala sedikit syok dengan pertanyaan Denallie. “Saya nggak segila itu. Kerjaan saya banyak, kalau kamu nggak mau dijodohkan dengan saya, kenapa harus dipaksa. Saya ini ganteng dan mapan, banyak yang mau sama saya.” “Jiro nggak mungkin kayak gini. Dia baik, setia dan yang paling penting, dia sayang sama aku.” Gentala berdecak tidak percaya. “Buktinya bukan Cuma satu tapi banyak. Lokasinya juga berbeda-beda. Kalau masih kurang, sekarang juga bisa saya kasih bukti lain.” “Bukti apa lagi?” “Coba kamu telpon dia sekarang, apa dia mau jawab?” tanya Gentala. “Dia batalin janji karena lagi check-in di hotel. Jadi jangan nuduh saya ingin cowok messum karena pacar kamu jauh lebih brengsek.” Tangan Denallie semakin gemetar. Otaknya sangat sulit untuk berpikir jernih. Meski ragu untuk percaya, tapi hati kecilnya meyakini apa yang Gentala katakan. Sejak Jiro tidak jadi datang ke sini, perasaan curiga itu ada hanya saja berusaha ia tepis. “Saya kasih tahu kamu soal Jiro, nggak ada hubungannya dengan perjodohan kita. Tapi saya memang kasihan sama kamu. Kalau foto ini belum cukup meyakinkan, kamu bisa cari bukti lain,” katanya Gentala. Lalu ia mencodongkan badannya ke samping, agar lebih dekat dengan Denallie. “Satu lagi, jangan bod0h dan mau dibohongi. Menilai sifat orang dari luar sangat tidak bijak. Jiro nggak sepolos yang kamu kira,” bisiknya. Buru-buru Denallie mengusap air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung. Sangat memalukan menangis di hadapan Gentala. Sakit hatinya begitu terasa, kecewa menumpuk di dalam dadaa hingga membuatnya sulit bernapas. Gentala menyodorkan kotak berisi tisu untuk Denallie. “Hapus air mata kamu. Saya nggak mau ada salah paham karena kamu nangis di mobil saya.” Tanpa ragu, Denallie mengambil beberapa helai. Dengan tisu ia bisa menyeka air mata yang susah dikendalikan. “Kenapa kamu bisa tahu tentang Jiro? Apa kamu memata-matai kami?” tanyanya dengan nada rendah. “Kalau saya kasih tahu, nanti kamu mikir saya ngarang.” “Jawab aja, apa susahnya, sih? Kamu ini memang cerewet!” Sontak Gentala tertawa mendengar sindiran Denallie. Tidak menyangka masih bisa marah dalam keadaan kacau seperti saat ini. “Jiro adalah anaknya Tante Anne. Jadi dia adik tiriku. Gimana, kamu percaya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN