10. HATI YANG DILEMA

1156 Kata
“Dena, sudah tidur?” Mendengar suara Lulu, yang dilakukan Denallie adalah segera menyimpan ponsel yang sejak tadi digenggam karena menunggu kabar dari Jiro. Sudah hampir satu minggu laki-laki itu tidak muncul dan jarang menghubungi Denallie akibat sibuk akan pekerjaan. Denallie pun sama, sibuk dengan segala jadwal serta masalah kesehatan Lulu dan juga panti. “Belum Bu, Cuma lagi tiduran aja, kok.” Lulu melangkah masuk ke kamar yang ditempati Denallie malam ini. Setelah pulang dari rumah keluarga Daneswara, gadis itu memutuskan untuk tidak kembali ke kos dan memilih menginap di panti. “Ada apa Bu?” tanya Denallie begitu Lulu duduk di pinggir tempat tidur bersamanya. “Nggak apa-apa, Cuma mau tahu kondisi kamu,” jawabnya. Tangan wanita itu terangkat, lalu mengusap pelan pucuk kepala Denallie. “Kamu pasti masih kepikiran sama permintaan Pak Petra. Iya kan?” Seketika Denallie tertunduk lesu. Siapa yang bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Walaupun sudah memberi jawaban yaitu penolakan, tetapi keluarga Daneswara masih berharap ia mempertimbangkan keputusannya. Yang artinya, Denallie diharapkan meninggalkan Jiro demi menerima Gentala. “Bu, sampai sekarang aku masih belum bisa terima sama pemikiran Pak Petra. Aku sudah punya pacar tapi kenapa masih disuruh buat pikir-pikir. Nggak mungkin aku putusin Jiro demi perjodohan ini.” “Ibu ngerti dan sangat paham perasaan kamu. Memang nggak bijak kalau sudah punya pacar tapi putus karena orang lain.” “Tuh kan, ibu juga setuju sama aku.” “Tapi …” “Tapi apa Bu?” Lulu menghela napas, lalu tangannya menyentuh lembut tangan milik Denallie. “Tapi, apa hubungan kamu sama pacar kamu sudah serius? Sudah dikenalin sama ke orang tuanya belum? Bagaimana latar belakang keluarganya, apa nggak terlalu timpang dengan kondisi kita? Dia juga belum pernah ke sini, kan?” Pertanyaan yang dilontarkan Lulu tidak mampu dijawab langsung oleh Denallie. Otaknya bekerja, berusaha mencerna. Apa semua itu bisa menjadi tolak ukur sebuah keseriusan dari Jiro kepadanya. Selama ini tidak terbesit pertanyaan itu karena ia merasa hubungannya baik-baik saja. “Dena, kok diem? Ada apa?” “Bu, aku pacaran sama Jiro baru beberapa bulan. Aku belum pernah dibawa ke rumahnya untuk kenalan sama orang tuanya. Aku Cuma tahu keluarganya pengusaha, selebihnya aku nggak cari tahu. Kalau ibu tanya dia serius apa enggak, sejauh ini dia balik dan cukup pengertian. Apa itu bisa dianggap dia serius sama aku?” “Nak, Ibu nggak ada niat mengecilkan hati kamu karena kamu salah satu anak Ibu yang paling hebat dan tegar. Tolong kamu jangan salah paham sama apa yang ibu kasih tahu sekarang, karena ini demi kebaikan kamu.” “Maksud Ibu?” Tangan Lulu kembali terangkat, mengusap pundak Denallie dengan lembut. Layaknya seorang ibu yang ingin menenangkan perasaan anaknya. Menyalurkan kasih sayang lewat sentuhan demi menahan gejolak yang Denallie rasakan. “Dena, Ibu mau nanti kamu hidup dengan laki-laki yang baik dan juga bertanggung jawab. Mencintai dan menyayangi kamu tanpa tapi. Tidak harus dari keluarga kaya, asal berkecukupan. Dan yang paling penting, bisa menerima kamu serta latar belakang kamu dengan baik,” tutur Lulu penuh harap. Wanita itu mengambil napas pelan, kemudian dikeluarkan secara perlahan. “Pertemuan kamu sama Pak Petra bukan Cuma kebetulan tapi seperti takdir. Keluarganya baik tanpa peduli bagaimana kehidupan kita di sini. Niatnya menjadikan kamu menantu bukan hal yang main-main, Na. Apa semua hal baik ini nggak menggerakkan hati kamu meski sedikit?” Denallie merasakan sesak di dadanya. Bukan karena kamar yang ia tempati dengan Felicia sempit, tapi karena dipaksa menghadapi banyak kejutan dalam satu waktu. Ada rasa kecewa yang muncul atas apa yang Lulu jelaskan. Ia tidak terima kalau ibunya berada di pihak keluarga Daneswara. “Kesannya Ibu maksa aku buat terima,” gumamnya dengan raut wajah kecewa. “Ini bukan demi aku, Bu. Tapi Ibu mau aku balas budi atas bantuan yang Pak Petra kasih ke panti,” sambungnya. Lulu langsung menggeleng keras, tidak setuju sama apa yang dipikirkan Denallie. “Dena, Ibu Cuma mau kasih pandangan dari sisi Ibu. Ibu nggak ada niat jahat sama kamu, tolong jangan salah paham.” “Jawabku akan tetap sama Bu. Aku nggak mau dijodohkan sama Gentala karena aku nggak kenal siapa dia,” ucap Denallie tegas. Reaksi Denallia membuat Lulu paham kalau saat ini bukan waktu yang pas mengajak anaknya bicara serius. Ia lalu beranjak dari duduknya, siap untuk keluar dari kamar itu. “Ya sudah, Ibu pergi dulu, ya. Ini sudah malam, jadi sebaiknya kamu istirahat, nak. Lain kali kita bicarakan masalah ini.” Denallie mengangguk pelan tanpa menatap wajah ibunya. “Iya Bu, selamat malam.” Suasana di kamar kembali sepi, seperti sebelumnya. Denallie memutuskan untuk keluar dari sana dan pergi ke teras samping. Pikirannya kacau dan perasaannya bimbang, sehingga perlu udara segar untuk membuatnya tenang. “Mbak Dena belum tidur?” Denallie menoleh ke samping, melihat kemunculan Lana – adiknya yang berumur 14 tahun. “Loh, kamu kok di sini? Belum tidur?” “Aku baru selesai belajar, Mbak. Mau balik ke kamar terus lihat Mbak Dena,” jawabnya. Lana ikut duduk di kursi kayu usang, sebelah Denallie. “Mbak kenapa belum tidur?” “Oh, lagi cari angin dulu. Kebetulan belum ngantuk karena biasa tidur larut malam.” Lana mengangguk pelan. “Mbak kerja malam ya, pasti capek. Dan kerja keras demi bantu kami di sini.” “Enggak dong, Mbak suka dengan pekerjaan sekarang. Bukan Cuma bantu kalian tapi ini juga buat masa depan Mbak, jadi jangan merasa bersalah, ya.” “Iya Mbak. Tapi aku senang karena berkat Mbak Dena nolong Pak Petra, panti kita jadi dapat donatur yang mau bantu keuangan di sini. Kata Bi Pita, Pak Petra orang kaya yang baik. Apalagi tadi juga titip makanan yang banyak sama Ibu. Kami bisa makan makanan yang jarang dilihat. Pendapaku benar kan, Mbak?” Denallie tersenyum lalu mengangguk. “Benar. Beliau dan keluarganya sangat baik dan dermawan. Jadi kalian jangan lupa selipkan nama mereka setiap berdoa. Semoga Pak Petra dan keluarganya selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan. Bisa kan?” “Bisa, Mbak. Tentu saja kami akan melakukan itu agar Ibu nggak sakit lagi karena kehilangan donatur.” Tangan Denallie mengusap kembut pucuk kepala Lana. Gadis yang nasibnya sama dengannya ini memiliki penyakit yang sama dengan Petra. Tetapi sangat jarang mengeluh, bahkan selalu berusaha untuk terlihat kuat. Lana salah satu adik yang membanggakan bagi Denallie. “Sekarang kamu tidur, ya. Sudah malam, besok juga sekolah. Dan yang paling penting, biar nggak sakit karena kena angin malam.” “Iya Mbak, sekarang aku ke kamar. Mbak Dena juga cepat tidur ya, biar besok kita sarapan sama-sama.” Denallie mengambil napas dalam-dalam, lalu mengebuskan pelan. Wajahnya menengadah, menatap langit yang cahaya bintangnya cukup sulit di lihat. Perkataan Lana tentang Petra dan bagaimana kebahagiaan anak itu setelah masalah keuangan bisa diselesaikan, membuatnya benar-benar merasa berutang budi kepada keluarga Daneswara. Perasaannya kembali dilema, bingung harus bagaimana. “Kenapa harus Gentala? Kenapa bukan Jiro saja anaknya Pak Petra? Andai itu terjadi, aku nggak akan pernah nolak perjodohan ini,” gumam Denallie.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN