Aroma mi goreng lengkap dengan telur mata sapi setengah matang, memenuhi kamar sempit milik Denallie. Wangi dari shampoo yang ia gunakan untuk keramas, kalah dengan sedapnya makanan favorit dari Abila. Setiap datang, menu itu wajib dibuat sampai Denallie muak karena terlalu sering melihatnya.
“Pas banget kamu selesai mandi, mi gorengnya juga matang. Kamu mau nggak, Na?” tanya Abila.
Abila sudah mengambil tempat di lantai. Duduk bersila tapi kini mangkuk mi ada di atas meja kecil. Benda yang sangat Abila butuhkan ketika makan di kos Denallie sehingga ia berinisiatif membeli untuk ditaruh di tempat ini.
Denallie menggeleng dengan tangan fokus menggosok handuk untuk mengeringkan rambut yang basah. “Habisin sendiri biar kamu nggak kekurangan.”
“Kalau kurang, aku bisa buat lagi. Sebagai gantinya, sushi buat kamu,” jawabnya tanpa ada rasa sungkan.
“Kamu memang aneh. Ada uang beli sushi, malah milih mi instan. Pokoknya kalau sampai sakit karena makan mi, aku nggak mau tanggung jawab.”
Mata Abila menyipit dan bibirnya berdecak pelan. “Jangan mikir yang buruk-buruk, dong. Aku aja tiap makan selalu berdoa agar yang aku makan bisa membawa kebaikan untuk badanku.”
“Kalau kamu makan racun, mau berdoa seribu kali juga tetap mati, Bil,” sembur Denallie. “Aku bukannya pelit tapi nggak mau kamu sakit,” sambungnya.
“Ya ampun, jadi terharu. Tapi kalau sakit, aku punya teman yang calon suaminya dokter. Jadi lumayanlah buat dimanfaatkan.”
“Siapa?” tanya Denallie dengan suara meninggi.
“Gentala Daneswara. Cowok tajir dan juga tampan plus seksi jangan lupa,” jawabnya enteng.
“Ogah! Jangan bercanda soal dia, aku nggak mau.”
Abila tertawa melihat bagaimana emosi Denallie setiap menyebut nama Gentala. Beberapa hari berlalu sejak wanita itu memberitahunya. Meski sudah tahu keputusan Denallie, tapi Abila masih berusaha untuk menggoyahkannya sampai temannya kesal.
“Eh, kayaknya aku denger suara hape bergetar. Punya kamu, Na?” tanya Abila.
Denallie segera menyadari bahwa ponsel yang bergetar adalah miliknya. Ia belum sempat mengaktifkan suaranya sejak bangun tidur. Kedatangan Abila membuat perhatiannya tersita. Waktu liburnya harus diambil oleh temannya itu karena datang cukup pagi.
“Halo, Bu?” sapa Denallie.
“Halo, Na. hari ini kamu sibuk atau ada jadwal kerja?”
“Enggak. Ada apa Bu?”
“Ibu minta maaf ya karena ngomong dadakan. Jadi hari ini Pak Petra mau bawa beberapa bantuan untuk adik-adik kamu. Nah, kalau bisa, tolong temani Ibu, ya, biar nggak terlalu canggung. Apalagi Pak Petra juga nanyain kamu.”
Seketika raut wajah Denallie berubah murung. Apa yang Lulu sampaikan, membuat suasana hatinya menjadi tidak enak. Padahal ia sengaja tidak mau ingat dan pura-pura tidak pernah terjadi pembicaraan serius dengan Petra. Nyatanya ia tidak bisa menghindar karena panti akan selalu berurusan dengan pengusaha kaya raya itu.
“Na, kamu masih disitu? Dengar suara Ibu?”
“Ah? Iya Bu, aku dengar kok.”
“Terus gimana?”
Denallie menutup matanya, lalu menghela napas sangat pelan agar Lulu tidak mendengar keluhannya. “Iya, aku bisa pulang ke panti. Acaranya jam berapa?”
“Satu jam lagi, nak. Kalau bisa cepat, ya.”
“Iya Bu, aku siap-siap dulu,” jawab Denallie lemah.
Setelah sambungan telepon dengan Lulu berakhir, Denallie meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Ingin berteriak, tetapi harus ditahan.
“Ada apa, Na? Kok kayaknya kamu nggak suka?” tanya Abila yang masih menikmati mi goreng seorang diri.
Denallie melempar handuk basah di atas kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sebenarnya ia paling anti berbaring dalam keadaan rambut basah, tetapi tubuhnya seakan kehilangan energi saat ingat harus bertemu Petra.
“Na, kamu baik-baik, aja?” tanya Abila cemas.
Pandangan mata Denallie masih tertuju pada langit-langit kamar kosnya. “Aku harus ke panti, Bil.”
“Kenapa? Ada masalah?”
Denallie menoleh ke samping, menatap Abila yang wajahnya nampak bingung. “Pak Petra mau menyerahkan bantuan jadi Ibu nyuruh aku pulang.”
“Loh, nggak ada masalah, kan?”
“Bagi orang lain enggak, tapi bagi aku iya. Gimana caranya berhadapan sama Pak Petra kalau nanti dibahas lagi soal perjodohan?”
“Katanya sudah teguh sama pendirian sama Jiro, ya kamu tinggal kasih tahu. Bila perlu, kamu ajak Jiro ketemu Pak Petra, biar semuanya selesai.”
Saran dari Abila memang tidak selamanya konyol dan menyebalkan. Cara terakhir untuk menuntaskan masalah perjodohan adalah dengan melibatkan Jiro. Sayang, karena tidak mau merusak suasana pada malam itu, hingga saat ini ia tidak memberitahu Jiro tentang Gentala.
Denallie menghela napas, lalu menutup wajahnya dengan bantal. Ia berteriak lantang namun suaranya tidak terlalu kencang karena bantal meredamnya.
“Biar kamu nggak sendirian, sini aku temenin kamu ke panti,” ujar Abila.
***
Suasana ramai akan tawa bahagia memenuhi panti pada hari ini. Semua berkumpul karena kebetulan hari minggu dan tidak bersekolah. Anak-anak membawa beberapa makanan dan minuman yang baru saja dibagikan oleh Petra. Tidak hanya itu, stok bahan makanan serta perlengkapan sekolah juga dibawakan. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh anak-anak yang dibesarkan dengan kesederhanaan, kini merasakan apa yang sebelumnya tidak mereka dapatakan.
Denallie menyaksikan adik-adiknya makan ayam goreng dari merek terkenal lengkap dengan minumannya. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak cepat dan perasaannya bercampur aduk. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat terharu melihat adik-adiknya bahagia. Tertawa lepas seakan beban berat terangkat dari pundak mereka karena menikmati ayam goreng.
Abila bergabung dengan anak-anak yang lain. Bertingkah seperti anak kecil sehingga sangat menghibur. Sayang, Felicia tidak bisa pulang akibat sibuk bekerja di toko bunga. Andai saudaranya itu melihat langsung, pasti sama dengannya yaitu tidak bisa menahan rasa haru dan bahagia.
“Dena, kamu nggak ikut makan?”
Suara Petra membuat Denallie terkesiap. Laki-laki itu muncul dari arah samping, sehingga tidak menyadari kedatangannya. Denallie segera mengusap air mata yang sempat menetes, membasahi pipinya. Malu jika sampai ditanya oleh laki-laki itu.
“Pak Petra, saya kira siapa. Saya makannya nanti saja, masih kenyang,” jawab Denallie ramah.
Petra ikut duduk di sebelah Denallie. Kursi panjang yang terdapat di ruang makan panti. “Saya bahagia bisa melihat anak-anak bahagia. Katanya uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kenyataannya saya bisa membuat mereka senang.”
Denallie mengangguk, lalu menghela napas pelan. “Terima kasih Pak Petra sudah kasih kebahagiaan untuk adik-adik saya. Ini lebih dari cukup, Pak.”
“Saya tidak akan berhenti, Dena. Selama saya masih mampu, saya akan terus membantu kalian. Saya mau mencari kedamaian hidup dengan cara membantu yang membutuhkan.”
“Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak.”
“Amin.”
“Pak Petra, apa saya boleh tanya sesuatu? Tapi sebelumnya saya minta maaf, mungkin pertanyaan saya menyinggung perasaan Anda,” ucap Denallie.
Petra menoleh ke samping, melihat Denallie serius. “Silakan, saya pasti jawab, nak.”
Sebelum mulai bicara, Denallie berusaha menenangkan hatinya dan meyakinkan diri jika ia tidak akan menyesal sudah bertanya. Selain itu, harus menyiapkan mental mendengar jawaban dari Petra.
“Pak, semua kebaikan yang Anda berikan kepada saya dan keluarga di panti, apa ada hubungannya dengan niat Anda menjodohkan saya dengan Gentala?”
Petra terdiam dengan raut wajah menegang. Keadaan berubah canggung seolah Denallie salah besar bertanya demikian.
Merasa tidak enak, Denallie segera bersikap. “Kalau Pak Petra keberatan, nggak usah dijawab, Pak. Saya minta maaf kalau kurang sopan.”
Tiba-tiba Petra mengulas senyum lebar. Tangannya menepuk pundak Denallie, seperti layaknya seorang bapak bersikap menenangkan anaknya.
“Saya sama sekali nggak tersinggung. Diam saya, karena mau melihat reaksi kamu. Sesuai dengan dugaan saya, kamu punya hati sensitif dan tidak enak. Tanang, saya pasti jawab pertanyaan kamu tanpa merasa bersalah.”
Tanpa sadar Denallie menghela napas lega. “Syukurlah, Pak.”
“Dena, kamu tahu niat saya muncul untuk membantu panti sebelum saya berniat menjodohkan kamu dengan Gentala. Sikap dan sifat kamu buat saya terkesan. Apalagi keberanian kamu nolong saya dalam keadaan malam dan kamu nggak kenal sama saya. Nggak semua perempuan punya keberanian itu. Itu yang membuat saya yakin, kamu terbaik untuk anak saya,” jelas Petra.
“Tapi Pak, saya dan Gentala sangat timpang. Dia dokter dan saya Cuma seorang penyanyi kafe. Pendidikan saya sebatas SMA. Keluarga Daneswara sangat terpandang dan dihormati. Apa Anda nggak malu punya menantu dengan latar belakang anak panti seperti saya?”
Petra tersenyum, kembali menepuk pundak Denallie. “Soal harta, pendidikan, atau kehormatan sudah cukup bagi saya, Dena. Apalah arti semua itu kalau nyatanya anak saya nggak mau menikah. Tapi dengan kamu dia setuju, lalu apa yang lebih penting dari itu? Intinya, saya tidak giila hormat. Asal anak menikah, punya keturunan, maka masa tua saya akan lebih bermakna.”
Semua yang dikatakan Petra seperti membungkam bibir Denallie. Ia tidak menemukan celah untuk membantah. Kebijaksanaan laki-laki itu cukup membuatnya merasa malu karena berpikir yang tidak-tidak. Sangat langka bisa bertemu keluarga kaya tapi sifatnya luar biasa baik.”
“Tapi apa yang saya lakukan dan saya berikan ke panti bukan semata-mata untuk membuat kamu merasa berutang budi. Saya tulus dan ikhlas melakukannya,” ucapnya lagi.
“Rasanya melegakan, Pak. Tapi jujur, keputusan saya masih belum berubah. Saya nggak kenal sama anak Bapak, jadi semuanya sangat sulit saya terima,” ujar Denallie dengan suara sendu.
“Enggak apa-apa, Dena. Saya sangat paham kalau kamu dan Genta masih belum saling mengenal. Tapi sebagai papa, saya bisa kasih tahu kamu kalau anak saya bukan laki-laki b******k. Kadang dia cuek, tapi dia sangat penyayang. Sikapnya selalu hangat, terutama dengan anak-anak. Kalau dia ikut ke sini, dia pasti betah. Sayang, dia lagi sibuk,” tuturnya.
“Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah buat Pak Petra kecewa.”
Petra menggeleng dengan ruat wajah yang teduh. “Saya merasa masih punya harapan menjadikan kamu sebagai menantu. Satu minggu lagi, tolong kasih jawaban terakhir kamu. Kalau masih nggak bisa terima Gentala, maka saya akan berhenti membahas ini tanpa merubah niat saya untuk membantu panti. Kamu bisa pegang janji saya, Denallie.”
Denallie masih berusaha untuk biasa saja setelah percakapannya dengan Petra. Ucapan laki-laki itu cukup menenangkan tetapi satu sisi membebaninya. Ia memikirkan bagaimana bijaksananya Petra sehingga siapa pun wanita pasti akan beruntung bisa menjadi menantunya. Sosok figur seorang ayah, benar-benar ada pada diri Petra yang membuat Denallie merasa sangat nyaman.
“Tuhan, tolong bantu aku untuk mengambil keputusan terbaik. Jika Jiro terbaik untukku, maka teguhkan hatiku,” ucapnya dalam hati.