Lebih Baik Menunda Kehamilan

1116 Kata
“Perjanjian apa yang kamu inginkan?” tanya Damian ingin tahu. Sembari melipat tangan di dadanya, Indi menatap Damian dengan tatapan dalam. “Gue mau … elo bebasin gue mau ke mana pun gue pergi, jangan pernah dihalangi. Elo percaya kan, sama gue? Maka dari itu, jangan halangi kemauan gue apa pun yang gue ingin lakukan!” Indi memberi tahu apa yang ingin dia lakukan. Perjanjian yang dibuat dengan Damian setelah ada perempuan yang masih belum tahu siapa perempuan itu. “Indi. Itu bukan perjanjian, tapi meminta aku untuk membebaskan kamu. No! Aku nggak akan membiarkan kamu menuruti kemauan kamu yang ingin bebas apalagi hura-hura sama teman-teman kamu itu. Aku tidak akan mengizinkannya, titik!” Damian menolak permintaan Indi. Mana mungkin dia mau menuruti keinginan perempuan itu sementara niatnya menikahi Indi karena Wijaya yang meminta agar menjaga Indi. Jangan sampai perempuan itu kembali seperti saat masih belum menikah dulu. “Kenapa nggak mau? Belum tentu itu cewek nggak bakalan hubungi elo lagi, Damian. Gue nggak mau sampai dia datang kembali ke elo lag—“ “Sekalipun dia datang kembali. Untuk apa kembali padanya kalau ada kamu yang sudah aku miliki bahkan sudah ada yang namanya pernikahan di antara kita. Kenapa harus kembali pada orang yang sama sekali tidak ada ikatan apa pun denganku?” Damian menyela ucapan Indi. Ia juga tidak ingin Indi terus berpikir kalau Cindy akan kembali kemudian Damian lebih memilih Cindy daripada Indi yang kenyataannya adalah istri sahnya. Indi menghela napas kasar. “Sekarang jawab pertanyaan gue dengan jujur. Siapa dia antara gue dan dia, yang baik menurut elo? Nggak perlu dijawab. Gue udah tahu jawabannya. Udah pasti dia lah yang paling baik. Elo juga sebenarnya terpaksa juga nikah sama gue kalau bukan karena bokap elo yang udah jodohin gue sama elo.” Damian menghela napas pelan. “Bukan. Bukan itu alasannya. Aku tahu, kamu tidak akan percaya padaku karena kamu belum melihat kalau aku sangat mencintai kamu. "Indi. Kamu sudah menjadi istriku. Baik buruknya kamu sudah aku terima dengan senang hati dan ikhlas. Mana mungkin aku membandingkan istriku sendiri dengan orang lain yang bukan siapa-siapa aku. Kalau kamu tidak mencintaiku, seharusnya tidak perlu harus peduli seperti ini. Harusnya masa bodoh. “Jangan jaim sama suami sendiri, Indi. Kalau emang udah cinta, bilang aja. Jangan ribut nggak jelas kayak gini hanya karena tidak ingin kehilangan aku. Aku tidak akan mempermainkan pernikahan ini, kamu tenang saja.” Damian akhirnya menggoda Indi di akhir kalimatnya sebab sikap Indi seolah memang mencintainya karena sedari tadi mengeluarkan emosinya kepada Damian. Indi kemudian menyunggingkan bibirnya. “Nggak usah kepedean, Damian! Gue hanya memastikan kalau elo emang pria pilihan Papa yang tepat buat gue. Bukan yang hanya menyentuh dan mencicipi tubuh indah gue ini. Meski gue udah bukan gadis lagi saat elo nikahi, tapi harga diri gue masih gue jual mahal. Karena gue tidur dengan pria yang jadi cowok gue! Bukan sama semua cowok yang mau sama gue!" ucapnya seraya melirik Damian lalu menghela napasnya dengan panjang. "Nggak penting banget gue curhat sama elo." Indi geleng-geleng pelan. Damian menyunggingkan senyumnya ketika melihat sikap tak biasa Indi kala berucap. “Aku buatkan makan siang, yaa. Jangan marah-marah terus, hari haid masih lama.” Pria itu kemudian mengecup kening Indi dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua jam lamanya berdebat mempermasalahkan Cindy yang berhasil merusak bulan madu mereka alhasil melupakan segalanya. Bahkan Indi sampai menitikan air matanya sebab kejadian orang tuanya berpisah karena orang ketiga teringat kembali. Di sebuah bangku panjang, Indi duduk sembari menatap desiran ombak yang menggulung begitu indah. Tidak ada siapa pun selain Indi dan Damian di sana membuat pulau itu begitu hening, hanya bising oleh gulungan ombak. “Lagi ngapain?” Damian menghampiri Indi sembari membawakan nasi beserta lauk yang sudah ia masak. Indi kemudian menoleh kepada Damian kemudian menghela napas kasar. “Masak apaan?” tanya Indi dengan singkat. “Sosis teriyaki.” Indi mengerutkan keningnya. “Tahu dari mana kalau gue suka itu?” tanyanya kebingungan. Damian menerbitkan senyumnya. “Kamu adalah sosok perempuan yang mana semua laki-laki menginginkan kamu menjadi miliknya. Dan aku adalah salah satu dari pria itu. Untuk mengetahui apa saja yang kamu sukai atau tidak disukai, tentunya aku sangat tahu hal itu.” Damian menerbitkan senyumnya kembali. Indi memutar bola mata pelan. “Elo itu ganteng, punya segalanya. Nggak cocok banget mengagumi gue yang notabennya suka wara-wiri sana-sini.” Damian hanya menyunggingkan senyum. Seraya memotong sosis menggunakan sendok karena ia hanya membawa sepiring nasi dan lima potong sosis, alhasil tidak membawa pisau khusus memotong daging dan sebagainya. “Katanya, cinta itu buta. Dan aku merasakannya. Kamu jangan menganggap tidak pantas dicintai, karena itu merusak harga diri kamu sendiri. Tetap jadi Indi yang ceria dan berisik. Aku sangat menyukai hal itu.” Indi tersenyum miris seraya menatap Damian. Lalu, sendok berisi nasi dan sosis itu terulur ke arahnya. “Apaan sih?” “Suapin lah. Makan dulu, Indi. Aku nggak mau kamu sakit karena rumah sakit di sini jauh. Harus nunggu kapal meluncur ke sini, setengah jam baru sampai daratan. Lima puluh menit kemudian baru sampai ke rumah sakit.” “Gak jelas, lo! Gue masih bisa makan sendiri, Damian.” Indi lantas mengambil piring berisi nasi dan sosis itu di tangan Damian kemudian melahapnya. “Gitu dong. Kan enak, lihatnya. Kalau bisa, kita tinggal di sini saja selamanya supaya kamu nggak asyik party lagi sama teman-teman kamu itu,” kata Damian berharap bisa tinggal di sana selamanya. Indi menolehkan kepalanya kemudian memukul paha putih milik suaminya itu. “Gila, lo! Mau jadi orang primitive, tinggal di sini? Gue sih ogah! Elo aja yang tinggal di sini.” “Jadi, nggak suka dengan tempat ini?” tanya Damian kemudian. “Yaa suka. Tapi, kalau harus tinggal selamanya di sini ogah banget gue,” ucap Indi sembari menyantap makan siangnya itu. “Just kidding,” ucap Damian dengan suara lembutnya. Indi melirik Damian kemudian mendehem pelan. “Gue mau minta elo penuhi perjanjian gue, titik!” “No, Indi. Sampai kapan pun aku tidak akan mengizinkan kamu pulang larut malam bersama teman-teman kamu.” Damian tetap teguh pada pendiriannya. Indi menyunggingkan bibirnya. “Nggak akan larut, Damian. Paling telat jam sepuluh lah. Jangan rantai gue kayak gitu bisa nggak?” Damian menggeleng. “Nggak.” Indi membanting sendok karena kesal. “Terus, elo maunya gue jadi bini katrok gitu, huh? Rambut dikuncir nggak karuan, pake daster yang udah bau bumbu dapur. Iya, begitu?” Indi kembali naik pitam karena permintaannya tidak dipenuhi oleh suaminya itu. Damian menatap Indi dengan tatapan lembutnya. “Lebih baik aku mempersilakan kamu menjaga kehamilan daripada harus melihat kamu hancur karena pergaulan kamu itu, Indi. Apa gunanya aku sebagai suami kalau kamu masih keluyuran seperti anak gadis, Indi?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN