Janji Damian pada Indi

1093 Kata
Dengan langkah santainya Indi keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Indi?” panggil Damian dengan suara menekan. Matanya menatap tajam wajah istrinya itu lalu menghela napasnya dengan panjang. “Heung?” ucapnya datar tanpa menatap lelaki itu. "Kenapa muka elo kusut kayak gitu?" tanyanya merasakan keanehan pada raut wajah Damian kala menatapnya. “Apa maksud kamu meminum pil kontrasepsi?” tanya Damian meminta penjelasan Indi. "Kenapa kamu menunda kehamilan, Indi? Apa yang membuat kamu menjaganya, huh?" Perempuan itu lantas menghentikan acara mengeringkan rambutnya itu. Lalu menatap Damian yang tengah memegang pil tersebut. Ia pun menghampiri sang suami dan mengambil pil tersebut. Akan tetapi, begitu kuatnya Damian memegang pil tersebut, lantas tidak bisa diambil begitu saja. “Mau elo apakan pil KB gue, Damian? Nggak usah nanya kenapa gue pakai pil KB. Elo udah tahu jawabannya dan nggak perlu gue jelasin!” ucapnya menantang. Damian menghela napasnya. Mencoba bersabar dalam menyikapi sikap Indi yang terlalu enteng dalam berucap. “Kamu sudah berjanji sama papa kamu akan memberikan dia cucu! Kamu tahu kan, hanya kamu anak satu-satunya dan papa kamu sangat mengharapkan kehadiran seorang cucu di hidupnya. Kamu kok egois?” Damian tampak marah. Kecewa sebab Indi enggan mengandung benih yang selama ini selalu ditanam setiap hari semenjak mereka menikah bahkan dari satu bulan yang lalu. Indi menghela napas kasar. “Nggak harus sekarang juga, Damian. Kita baru menikah dan nggak harus juga hamil di bulan berikutnya. Gue belum siap. Lagian usia gue masih dua puluh lima tahun. Masih muda dan kalau harus nunggu satu tahun ke depan sambil nunggu gue bisa cinta sama el—“ “Harus nunggu cinta dulu, untuk mengandung anak aku? Cinta bisa menyusul kapan saja, Indi. Belum cinta jangan dijadikan sebagai alasan menolak permintaan papa kita. Aku harus jawab apa selain memberi tahu kalau kamu sendiri yang menghalangi benih itu tumbuh dengan cara minum pil kontrasepsi.” Indi menelengkan kepalanya menatap Damian. Baru kali ini dia mendegar Damian berucap panjang lebar, memarahinya akan tetapi suaranya masih santai. Bukan dengan berteriak atau penuh penekanan. Sangat menjaga lisannya sebab tidak ingin melukai perasaan Indi. Namun, Indi sendiri tidak pernah peduli mau marah dengan cara kasar atau lembut. Indi tetaplah Indi. Wanita bar-bar yang tidak mau diurus atau diatur oleh siapa pun. “Jangan diminum lagi, Indi. Lebih cepat lebih baik.” Damian berucap dengan pelan. Indi menggeleng. Masih enggan untuk memberi anak kepada Damian. “Nggak mau. Gue belum mau punya anak, titik! Gue mau raih mimpi gue dulu, Damian.” “Jadi desainer terkenal? Banyak ibu rumah tangga yang sukses menggapai mimpinya dan tidak menjadikan anak sebagai alasan terhalangnya mimpi mereka. Banyak ibu-ibu anak dua, satu, tiga. Tapi bisa menggapai cita-citanya.” Indi kembali terdiam setelah mendengar ucapan Damian. Tidak mau kalah dan terus mendesak Indi agar mau melepaskan pil kontrasepsi itu. Karena sedang lengah, Indi lantas mengambil paksa pil kontrasepsi itu di tangan Damian. Kemudian tersenyum menang sebab bisa mengambil pil tersebut. “Dari awal gue tidur sama semua cowok yang jadi pacar gue, udah minum ini. Sama elo juga sama. Nggak bisa gue, Damian. Belum bisa urus anak. Mau, anaknya kurang gizi? Diurus babysitter? Yakin, nggak aka nada main sama tuh babysitter?” Damian menghela napas kasar. “Sampai kapan kamu menjaganya?” tanyanya seraya menatap wajah Indi dengan serius. Indi mengendikan bahunya. “Sampai bosen. Atau … sampai yakin kalau elo emang beneran mau jadi suami gue. Gue nggak mau kejebak dalam pernikahan ini, Damian. Kita dijodohin, gue nggak tahu masa lalu elo kayak gimana. Walau nggak seburuk masa lalu gue yang biasa tidur dengan berbagai pria yang gue kenal. “Bukan ingin gue untuk melakukan itu. Tapi, karena hormone gue yang nggak bisa menolak sentuhan cowok. Gue udah berobat ke ahlinya tapi nggak efek apa pun. Gue nggak mau dikatakan munafik. Tapi, mau gimana lagi. Nggak ada rasa cinta pun gue bisa bercinta layaknya orang saling cinta. “Gue nggak mau kejebak dalam pernikahan ini yang mana nantinya elo bikin gue sakit hati karena saat gue udah cinta, udah kasih elo anak, tiba-tiba elo berubah lalu ninggalin gue. Atau mungkin kayak Rangga yang selingkuh sampai bikin hamil tuh cewek. Gue masih trauma, Damian.” Indi akhirnya menjelaskan dengan panjang lebar alasan mengapa dia menjaga agar jangan dulu hamil. Sebab tidak ingin kejadian ditinggal menikah oleh Rangga terjadi kembali kepada Damian. “Indi … aku—“ “Apalagi elo seorang pemimpin perusahaan. Punya banyak relasi dan kenalan banyak. Orang kaya mana yang nggak punya simpanan? Semuanya pasti punya. Nyokap gue, memimpin perusahaan papanya dan akhirnya pergi ninggalin Papa karena ada yang lebih dari dia. Itu cewek. Apalagi cowok. Digoda dikit aja langsung nyamber.” Indi menyela ucapan Damian. Sebab ia memiliki pengalaman buruk di masa lalunya, lantas tidak percaya pada pengusaha yang hanya memiliki satu perempuan saja di hatinya. “Indi. Jangan memotong ucapanku. Aku bukan pria seperti itu. Oke, untuk saat ini mungkin kamu tidak akan percaya karena ulah Rangga dan juga mama kamu. Tapi, aku akan membuktikan kalau aku bukan pria seperti itu. Aku menikahi kamu karena aku ingin bertanggung jawab atas hidup kamu. “Agar kamu berhenti menjadi perempuan yang tidur dengan berbagai pria lain. Aku ingin menjaga kamu dari para lelaki yang hanya menginginkan tubuh kamu. Hanya itu, tidak ada lagi yang lain selain mengharapkan cinta dari kamu yang mungkin sulit untuk mencintaiku.” Indi menatap dengan dalam wajah Damian yang berucap dengan sangat lugas. Tidak ada satu pun ucapannya yang terlihat berbohong. Semuanya real, asli dari lubuk hati yang paling dalam. “Tapi, elo kayak kesetanan kalau lagi bercinta. Nggak yakin kalau elo hanya bisa tidur sama gue. Apalagi kalau nanti hamil. Nggak boleh main kenceng-kenceng atau hal lainnya. Apa elo bisa, menahan semuanya?” Damian terkekeh dengan pelan. Ia kemudian memegang kedua lengan Indi seraya menatapnya dengan tatapan lembutnya. “Mungkin sulit bagi kamu percaya padaku mengenai kegilaanku selama bercinta. Selama setahun ini aku benar-benar tidak pernah menyentuh perempuan. Mungkin karena itu, alasan permainanku cukup gila. Karena memang aku baru menjamah perempuan lagi yaitu kamu.” Damian meyakinkan Indi. Perempuan itu menghela napas kasar. Ia kemudian menatap Damian dengan tatapan lekatnya. “Yakin?” tanya Indi kemudian. Damian mengangguk cepat. “Ya. Sangat yakin. Karena aku hanya menginginkan kamu. Kalau waktu bisa diulang kembali, aku ingin memberikan perjakaku hanya padamu." Indi lantas tertawa campah mendengar ucapan suaminya itu. Baru saja Indi mau berbicara, dering ponsel Damian berbunyi. Perempuan itu kemudian menolehkan kepalanya dan mengambil ponsel tersebut yang kebetulan ada di atas tempat tidur. Matanya memicing kemudian menatap Damian dengan tatapan menghunus. “Cindy? Siapa dia?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN