SAAT RINDU MENGGUNUNG

559 Kata
Makan malam telah selesai, Azzam dan Era masih ke dokter, Arum terdiam di ruang kerjanya. Ruang kerja yang ia bangun tiga bulan yang lalu. Disana ia melewati hari-harinya. Menghabiskan banyak waktunya. Arum terdiam, ia melihat w******p di ponselnya, ia pandangi foto profil milik Hendrik. Lelaki yang sempat jadi pahlawan dalam kehidupannya. Disana jelas terpampang Hendrik dengan jas hitam dan celana hitam, ada bunga di saku jasnya di sampingnya seorang wanita dengan tinggi yang hampir sejajar. Wanita dengan gaun pengantin putih, gaun rancangan milik Arum. Gaun pertama kali yang sempat Arum buat. Arum menitikkan air matanya, ia enggan untuk menyeka air yang mengalir itu. Hendrik telah berdua, wanita cantik itu adalah pemilik hati dan hidupnya. Hendrik mungkin telah lupa pada janji yang ia ucapkan pada Arum. Janji setia, janji untuk terus menyayangi. Janji hanya tinggal janji sekarang kenyataannya Hendrik telah berdua, Hendrik telah memiliki kehidupannya sendiri. Hendrik bukan lagi lelaki single yang bisa bebas mencurahkan perhatiannya. Hendrik telah memiliki dunianya sendiri. Hendrik telah memiliki tanggung jawab dan kehidupannya sendiri. Hendrik bukan lagi pahlawan bagi Arum dan keluarganya. “Tuhan, tidak layakkah aku bahagia dengan lelaki yang mencintaiku ?, aku ingin dicintai, aku ingin dijaga, aku ingin dirindukan. Aku ingin bahagia seperti wanita lain. Ya..Tuhan.” Pekik Arum di ruangan kecil yang telah ia kuci. Ia teringat tawa riangnya bersama Hendrik siang tadi, ia teringan senyuman dan candaan lelaki itu. Lelaki itu ternyata telah merebut seluruh hatinya. Namun ketaatannya pada rumah tangga dan perkawinan membuat Arum harus ikhlas menelan semua keinginannya. Arum berharap Bagas mengerti isi hatinya, Arum ingin Bagas memahaminya namun yang terjadi Bagas justru kian menggila. Hampir satu tahun Arum dan Bagas tidak pernah lagi bercinta namun jika Bagas menyampaikan inginnya maka dengan ketaatan yang luar biasa Arum akan melayaninya dengan membuat Bagas bisa puas meski ia sendiri tidak merasakan apapun. Begitu saja sudah cukup, usai mengulum bagian intim itu Bagas pun memuntahkan air kepuasannya kemudian tertidur lelap dan Arum pun keluar dari kamarnya. Arum tidak menikmati percumbuan apapun sejak hari itu. Bagaimana mungkin Arum bisa melewati percintaan di kamar yang pernah digunakan oleh Bagas bercinta dengan madunya. Bagaimana Arum bisa menikmati percintaan di ranjang bekas keringat Bagas dan Raisa ? Bagaimana mungkin Arum dapat mencium bantal tempat kepala wanita itu pernah melabuhkan kepalanya ? Siapa yang bisa ? Siapa ? Arum hanya bisa berdamai dengan kehidupannya tapi tidak dengan rasa sakitnya. Dulu, sebelum Hendrik hadir, Arum hampir tidak pernah bisa mendefinisikan rasa sakit itu. Tapi hari ini entah mengapa ia demikian terluka. Kehilangan yang terasa begitu menyakitkan. Arum sebenarnya pernah meminta pada Tuhan kiranya mengijinkan agar kasih sayang Hendrik tidak pernah hilang untuknya meski hanya sekedar ucapan selamat pagi atau panggilan manis menanyakan kabar. Arum pernah meminta itu, tapi yang terjadi justru di luar dugaan, Hendrik berjumpa lagi dengannya justru saat Hendrik sudah tidak sendiri. Menyakitkan sekali. Dan malam ini, dalam kehampaan hati Arum meratapi sakitnya sendiri. Ia benamkan wajah di atas meja kerjanya, tertatih bibirnya mengucap untai doa. “Astaghfirullah...” “Astaghfirullah...” Ia pasrahkan semua luka pada kebaikan Tuhannya saja. Arum percaya Tuhan tidak akan menyakiti hambanya. Semilir angin malam masih berhembus, menyelinap melalui ventilasi, menabur damai dalam hati yang gersang. Berharap semua hati dapat terobati oleh kesejukan yang ia ciptakan. Arum pun terlelap menunggu Azzam dan Era datang. Saat rindu menggunung, tak ada seorangpun mampu menanggung, hanya berpasrah pada kekuatan Tuhan yang Maha Agung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN