Sepulang dari kantor Azzam sengaja duduk di dapur menemani Umminya untuk membuat persiapan makan malam. Sengaja Arum yang memasak untuk malam ini karena Era sedang sakit.
“Um,” panggil Azzam.
“Iya.”
Azzam dan Arum kembali diam hingga ketika Arum hampir usai memasak Arum duduk di samping Azzam, ia memulai perbincangan bersama putra sulungnya yang selalu perhatian padanya.
“Antara Ummi dan Om Hendrik tidak ada hubungan apa-apa.” Secepat ilat kalimat itu keluar dari mulut Arum seolah ia tahu kegundahan putranya.
“Maafkan Azzam, Um. Bila Azzam sempat berprasangka.”
Arum tersenyum, jiwa bijaknya berbicara bahwa anaknya sedang berada dalam kegundahan yang tiada tara. Ia tahu anaknya hanya ingin mendengar penjelasan dari dirinya saja bukan untuk hal lain sekedar untuk meyakinkan bahwa Umminya tidak melakukan hal yang salah.
Dulu, Azzam memang adalah orang pertama yang mendukung Arum untuk menerima Hendrik namun demi rumah tangganya Arum bersikukuh menolak Hendrik dan merawat Bagas suaminya. Memperbaiki bongkahan demi bongkahan rumah tangganya yang hampir berserakan. Hingga ia berhasil.
Apapun rasa yang ia nikmati, seberat apapun kerinduan yang ia miliki kenyataannya saat ini rumah tangganya berdiri tegak dan baik-baik saja.
“Sebaiknya kita siap-siap untuk makan malam bersama, yuk.” Ajak Arum pada Azzam.
Azzam memandangi Umminya, wanita tegar dan terbaik dalam pandangannya, wanita yang hampir sama sekali tidak pernah mengeluh, wanita yang selalu baik terhadap dirinya dan adik-adiknya.
“Mas, “ panggil Arum pada Azzam.
“Iya, Um. Ada apa ?”
“Kelihatannya Era sakit, kamu coba ajak dia ke dokter ya.”
Azzam diam.
“Kok diam ?”
“Azzam mau mengajak Era ke dokter untuk berobat, Um. Tapi Azzam tidak ingin mendengar kalimat yang tidak nyaman dari Abi lagi.”
Arum sekali lagi tersenyum sambil tangannya membawa beberapa penganan menuju meja makan. Sesekali jilbab lebarnya berkibar tertiup angin yang sidikit kencang yang berhembus dari jendela ruang makan mereka.
“Ayolah, tidak usah terlalu diambil hati kalimat Abi mu. Sudah jadi hal yang wajar bagi setiap orang tua mengkhawatirkan putranya.”
Azzam menunduk, hatinya bergemuruh ia merasa tidak percaya diantara semua kejadian Umminya bisa sedemikian tulus mempercayai Abinya, bukankah Abinya telah melukai hati Umminya dengan menikah lagi, memaksakan kehendak agar wanita simpanannya bisa tinggal serumah dengan Umminya sampai hamil dan melahirkan. Tapi mengapa Ummi seolah lupa pada semua kejadian itu bahkan mengikhlaskan semua luka yang pernah dibuat oleh Abinya.
‘Hei, kok melamun, ada apa ?”
Azzam terkejut mendengar suara sang Ummi.
“Tidak apa-apa, Um. Hanya sedikit berpikir.”
“Masih berpikir tentang Ummi kah ?”
Azzam menggeleng, mencoba menutupi hatinya yang kini berkabut.
Seketika itu juga tampak di depan matanya Abinya sedang berjalan perlahan menuju meja makan begitu juga adik-adiknya dan juga Era.
Mereka duduk di tempat mereka masing-masing. Tampak Arum menuangkan sayur dan ikan gurami bakar ke piring Bagas. Azzam hanya diam menyaksikan. Suapan demi suapan mulai mereka nikmati. Hingga saat makanan di piring hampir habis, nampak Era hampir terjatuh dari tempat ia duduk.
“Kamu kenapa, Nak ?” Tanya Arum yang berusaha memapah tubuh Era, ada Azzam di samping Era.
“Kepala Era pusing, Bu.” Jawab Era gemetar.
“Azzam sebaiknya kamu antar Era ke dokter.” Pinta Arum pada Azzam.
“Baik, Um.” Jawab Azzam. Hampir saja Azzam berlalu dari ruang makan itu sampai ia mendengar kalimat dari Abinya.
“Kamu terakhir datang bulan kapan ?”
Azzam bingung dengan pertanyaan tidak sopan yang disampaikan oleh Bagas. Semua mata menatap penuh tanya pada Bagas kali ini.
“Kok, kalian heran, bukankah wajar aku bertanya begitu. Perubahan yang terjadi pada anak gadis menjelang datang bulan itukan macam-macam. Abi hanya khawatir terjadi hal buruk pada Era.” Arum lega mendengar penjelasan dari Bagas.
“Aku hanya tidak ingin Era hamil di luar nikah.” Tandas Bagas lagi.
“Maksud Abi ?’
“Ya, maksud Abi sangat jelas. Kenapa Era bisa seperti ini mungkin saja Era hamil, iya kan ?”
Darah Azzam mendidih, ia sangat marah dengan ucapan Abinya yang sangat memalukan.
“Lalu menurut Abi Era hamil dengan siapa ?”
Semua terdiam, suasana menjadi hening. Arum pun kembali duduk, kebingungan menggelayut di hatinya.
“Mungkin saja dengan kamu, Abi hanya ingin memastikan namun jika kenyataannya tidak ya syukur...”
Azzam meradang menahan rasa sakit yang bertubi-tubi.
“Abi, mohon maaf, biar begini Azzam ini bukan laki-laki berotak m***m seperti lelaki lain yang berani membawa selingkuhannya untuk bermain ‘m***m’ di rumahnya sendiri !” Azzam mulai tidak bisa menahan emosi. Hatinya terlalu sakit.
Belum sampai Bagas menjawab kalimat yang diucapkan oleh Azzam, Arum secepat kilat bersikap, ia tidak ingin perseteruan ayah dan anak makin berkembang. Arum berusaha meleraikan mereka dengan caranya.
“Sudah, sekarang cepat bawa Era ke dokter!!” Perintah Arum pada Azzam.
“Kamu ikut, Um!” Kembali Bagas bersuara, Arum jadi bingung.
Azzam berdiri, menggamit lengan Era kemudian berpamitan pada Arum.
“Kami ke dokter dulu.” Arum menangguk.
“Satu hal, Um. Kami bukan pecundang.” Arum mengedipkan ke dua matanya. Berusaha bersikap bijak dalam kondisi saat ini sangatlah sulit, luar biasa sulit.