Enam bulan kemudian....
Bagas telah benar-benar sehat, ia telah bisa berangkat ke kantor meski tetap harus diantar oleh Azzam. Bagas mulai beraktifitas kembali. Arum merasa tenang. Setidaknya semua kembali normal seperti hari kemarin. Setidaknya di pagi hari ia tidak seribet hari kemarin.
Arum juga mulai berkonsentrasi pada pekerjaannya. Mulai aktif dengan jahitan dan pesanan dari para pelanggan. Ia kini punya butik kecil-kecilan.
Usai salat maghrib, mereka semua duduk di beranda kecuali Era, ia tetap di kamarnya. Entah mengapa Era memang kurang suka bila diajak duduk-duduk bersama keluarga besar Azzam. Ia lebih memilih berada di dalam kamar dan berkutat dengan buku-bunya saja.
“Bagaimana pekerjaanmu ?” Tanya Bagas pada Azzam saat Bagas duduk bersisihan dengan Azzam di teras rumah.
“Alhamdulillah baik.”
“Tidak ada masalah, kan ?”
“Tidak kok.”
“Syukurlah kalau begitu”
Usai berkata demikian mereka berdua kembali terdiam sambil melihat adik-adik kecil yang lucu dan menggemaskan. Firman, Fikri dan Rozzaq.
Mereka dengan lincah bermain berlarian tidak mengenal lelah. Hingga ketika bu RT melintas dan menyapa.
‘Assalamualaikum”
“Waalaikum salam..” mereka menjawab hampir serentak.
Bu RT dan Pak RT mendekati Bagas, mereka berbincang dan menanyakan keadaan.
“Pak tadi ada keponakan bapak ke kantor.” Cerita Bagas tiba-tiba.”Ponakan yang mana ?” Tanya Pak RT
“Itu yang cantik, putih, tinggi.” Bagas mencoba bermain teka-teki.
“Siapa ya ?” Tanya Pak RT bingung.
“Itu, Pak. Mbak Mayang.” Bagas mencoba menjelaskan.
“Oh..iya itu anaknya adik saya.”
“Cantik ya, Pak.”
“Ih Pak Bagas habis sakit masih suka sama cewek cantik ya.” Bu RT menyela, pandangannya menunjukkan padangan tidak suka, sedang pertanyaannya seolah menguliti. Bagas tersenyum kecut, Azzam tertunduk malu, Arum menatap kejadian itu bingung.
Azzam memaki di dalam hatinya sendiri, mengapa abinya tak mampu menahan diri sedikit saja ?. Memalukan sekali berada di situasi seperti ini. Sungguh sangat tidak enak.
Apakah memang seseorang yang pernah berselingkuh akan terus berselingkuh ?
Azzam menjadi heran.
“Itu memang keponakan saya Pak Bagas.”
“Baru lulus dari luar negeri ya, Pak ?”
“Iya.” Jawab Pak RT pendek seolah tidak ingin melanjutkan perbincangan tentang itu lagi. Terlebih lagi bu RT pandangan matanya sangat menohok jantung, jelas sekali terpancar rasa tidak suka di mata beliau.
Beda Azzam beda Arum, Arum hanya tersenyum menyaksikan Parodi Usai Senja kali ini, seolah ia telah begitu memaklumi semuanya. Seolah ia telah memahami kesulitan yang dialami suaminya.
Benar sekali, untuk merubah seseorang menjadi baik dan lepas dari kebiasaannya memang sungguh tidak mudah, dibutuhkan kekuatan untuk itu. Dan sejak Arum kembali menerima Bagas ia seolah mengerti bahwa ia akan menghadapi hal ini lagi. Arum telah membangun dinding tebal yang mengurung dirinya yang siap melindunginya dari semua rasa sakit yang akan muncul. Dari awal ia menerima Bagas kembali ia telah siap dengan semua itu. Itulah mengapa sore ini ia hanya tersenyum melihat ulah Bagas.
Bu RT dan Pak RT pamit pulang, mereka sepertinya menyesal telah menyapa Bagas sore ini.
“Kami pulang dulu, Mbak Arum.” Arum menunduk takdzim.
“Iya, Bu.”
“Assalamualaikum.”
Bagas tampak biasa saja, tak ada penyesalan atau wajah malu yang ia tampakkan. Selepas kepergian Bu RT dan Pak RT Bagas pun masuk ke dalam rumah dengan langkah yang masih tertatih. Meninggalkan Arum juga Azzam dengan perasaan yang tidak dapat di lukiskan. Bagas tampak santai dan tidak terlalu pusing.
“Ummi...” Panggil Azzam pada umminya.
“Tak perlu mengatakan apapun lagi, Nak. Ummi tahu perasaanmu tapi cobalah memaafkan.” Hanya itu yang Arum katakan pada Azzam sambil mendekati putra sulungnya itu. Menapuk pundaknya dengan lembut.
“Suatu hari nanti kau akan mengerti.”
Usai berkata demikian Arum pun masuk ke dalam rumah meninggalkan Azzam dalam kebingungannya sendiri. Arum enggan berlama-lama di samping putranya itu karena ia tak ingin putranya tahu luka hatinya. Ia biarkan hatinya berselimut luka dan ia bersegera menyembuhkan luka itu tanpa perlu orang lain melihat percikan darahnya.
Cukup dirinya, ya... dirinya.
Bila nanti malam tiba ia akan bercerita pada pemilik hatinya. Cukup begitu saja ia pun merasa lega.
Tak perlu mengumbar kecewa pada banyak tempat karena hanya akan membuat aib terbuka tapi masalah tak mereda.
Arum melanjutkan aktivitasnya sambil pikirannya menerawang. Dalam kondisi sakitpun Bagas masih tega berbuat sedemikian genit bagaimana nanti bila ia telah sempurna?
Arum menarik nafas panjang kemudian menghempaskannya.
Ia seolah melihat kabut hitam di depan matanya namun ia berusaha untuk tetap tegar dan setia.
Suatu hari seorang pendosa akan bertemu dengan karmanya sendiri, meski Arum sangat berharap Bagas akan baik-baik saja. Arum berharap bahwa Bagas akan jadi Bagas yang dulu yang begitu peduli pada anak-anaknya.
Dulu, dulu sekali sebelum Bagas jatuh cinta lagi.
Tapi...
Siapa mampu merubah siapa ?
Yang bisa merubah manusia ya manusia itu sendiri untuk tetap tegar, kuat, setia. Untuk selalu ingat pada perjalanan dan kejadian yang menimpanya. Faktanya mampukah Bagas berubah ?...
Arum hanya bisa berdoa saja.