Bab 3 – Welcome Aboard

2904 Kata
Bella baru saja selesai mengaplikasikan krim malamnya saat ponselnya berdering. Ia segera mencabut ponselnya dari kabel charger lalu ia duduk bersandar pada sandaran ranjangnya guna mencari posisi nyaman untuk menjawab panggilan telepon tersebut. “Halo, Ven.” “Halo, Belski. Lagi ngapain?” “Baru selesai pakai skin care.” “Bagus! Gitu dong, Bel. Cewe – cewe seusia kita emang harus merawat diri. Harusnya malah dari umur dua puluhan.”, ujar Venita dengan riang gembira karena akhirnya usahanya menasehati Bella untuk merawat kulit wajahnya tidak sia – sia. “Kayaknya percuma deh  kita perawatan, Ven. Udah bening begini masa masih aja jomblo.” “Mungkin lo-nya aja yang terlalu pemilih.” “Pemilih apaan? Lha wong yang mau dipilih aja gak ada!” Bella pun dapat mendengar suara cekikikan di seberang sana yang membuat dirinya mendengus kesal. “Lagi ngapain lo?”, tanya Bella. “Lagi guling – gulingan aja nih kayak ikan terdampar.” “Cari pacar makanya biar lo gak terdampar dan gangguin gue malem – malem.” “Gak usah sombong! Lo aja jomblo!” Kali ini berganti Bella yang terkekeh. “Eh, gimana tadi makan siangnya?”, tanya Venita bersemangat. Bella menghela napasnya demi mengingat pria menyebalkan yang ia temui di perjamuan makan siang tadi. “Tadi tuh nyokapnya si Wisnu ngenalin gue ke keponakannya. Gile, sombong banget itu cowok!” “Sombong gimana?” “Masa dia lihatin gue kayak jijik gitu. Sialan tuh orang!” “Ganteng gak?” “Enggak!” “Masa sih? Si Wisnu kan ganteng.” “Wisnu sih lumayanlah walau gak seganteng Gavin, tapi kalau dibandingkan itu manusia angkuh ya cakepan Wisnu.” “Penasaran gue. Siapa tau dia jodoh lo.” “Ogah! Amit – amit!”   ***   Sejak bekerja di Djojodiningrat Palm Oil Group, Bella yang sangat anti datang ke kantor sebelum jam kerja dimulai di tempat bekerjanya terdahulu, kini menjadi sangat rajin berangkat pagi dan tiba di kantornya sebelum pukul 8 pagi. Ia tidak mau ketinggalan melihat sang atasan yang sangat diidolakannya sejak awal ia bergabung di perusahaan tersebut. “Pagi, Bella.”, sapa pria yang selalu dinantikan kehadirannya oleh Bella saat pria itu baru saja tiba. “Pagi, Mas.”, balas Bella dengan senyuman cerianya. “Oh ya, gimana nikahan adik kamu?”, tanya Gavin seraya tersenyum dan duduk di kursi meja kerjanya. “Lancar, Mas.” “Syukurlah. Selamat ya, kamu udah jadi bagian keluarga besar Hadiputro.” Bella pun menunjukkan senyum kecutnya. ‘Pret! Ogah gue sampai jadi saudaranya si manusia sombong itu!’ “Eh, tunggu deh. Mas Gavin, kenapa masih duduk di situ? Kan mulai hari ini Mas Gavin resmi jadi Direktur Keuangan kita. Harusnya mas Gavin di situ tuh.”, ujar Bella seraya menunjuk ruang Direktur Keuangan yang mana penghuni sebelumnya telah pensiun. “Nanti aja deh. Ingin menikmati detik – detik terakhir sebelum kursi dan meja ini direbut sama Manager baru.” “Oh ya, Mas. Manager baru yang nanti gantiin Mas Gavin itu kayak apa orangnya?” “Baik kok orangnya. Dia baru aja balik dari Amerika.” “Amerika?” “Iya. Dia ngambil strata satunya di sini, lanjut ambil master di Boston, terus lanjut kerja di sana deh.” “Wah, keren banget!” “Orangnya juga keren lho. Kamu pasti suka.” “Ketinggian kalau untuk aku, Mas.” “Kenalan aja dulu. Dia belum nikah.” Bella hanya terkekeh saja untuk membalas ucapan Gavin yang tidak menyadari bahwa cinta Bella hanyalah untuknya. Pukul 8 pagi, jam kerja dimulai. Kantor mereka menerapkan sistem flexible morning hour sehingga banyak karyawan yang belum datang. Gavin dapat merasakan jantungnya semakin berdebar karena hari ini adalah hari pertamanya resmi bekerja sebagai Direktur Keuangan setelah tiga bulan lamanya Direktur lama mereka mengajarkan pekerjaan yang akan segera berpindah menjadi tanggung jawab Gavin. “Eh, Pak Bos? Kok masih di sini? Pergi sana. Hus hus.”, ujar Ajeng, sang Assistant Manager yang baru saja tiba di ruang kerja mereka. “Ngusir nih?”, tanya Gavin dengan senyum terkembang. “Iya. Udah gak ada urusan lagi lu orang di mari. Hus hus!” “Gils, gue diusir. Fine. Bye.” “Bye!”, balas Ajeng seraya melambaikan tangannya yang membuat tawa Gavin semakin lebar. Gavin pun bangkit dari kursinya dan membawa tas kerjanya. “Oy Vin, selamat berpusing ria,ya.”, ujar Daniel, Supervisor di Information and Technology Team, seraya merangkul pundak Gavin. “Wish me luck!”, balas Gavin seraya memberikan senyum terbaiknya. “Beres!” Bella memandangi Gavin yang menjauh dari ruang kerja divisinya sampai pria itu menghilang dari pandangannya saat pria itu memasuki ruang kerja khusus Direktur Keuangan. Ia tersenyum kecut seraya memandangi layar laptopnya. Sekarang Gavin resmi menjadi seorang Direktur. Resmi berpisah ruang kerja dengannya. Apa iya pria tampan itu mau bersanding dengannya di pelaminan? Bella menghela napasnya. ‘Mungkin cowok – cowok yang gue incer ketinggian buat gue kali, ya.’, ujarnya membatin. “Manager baru belum dateng ya, Bel?”, tanya Ajeng setelah mengaktifkan laptopnya. “Ya belum, Mbak. Lah wong orang HR-nya belum ada yang dateng.” *HR = Human Resource Ajeng terkekeh dan menganggukkan kepalanya. Di kantornya dahulu, tidak boleh ada satu pun anggota tim Personalia yang boleh datang terlambat karena tim Personalia adalah panutan bagi para karyawan lainnya. Mereka adalah wajah perusahaan. Namun, nyatanya di berbagai anak perusahaan di bawah naungan organisasi sekeren Djojodiningrat Corporation menerapkan flexible morning hour.   ***   Pukul 9 pagi, Yusuf tiba di kantornya. Buru – buru ia meletakkan tas kerja di meja kerjanya di ruang divisi Human Resource lalu merapikan penampilannya sejenak dengan bantuan pantulan dirinya di cermin. Setelah yakin bahwa penampilannya sangatlah paripurna, ia mendatangi ruang kerja divisi Accounting. “Guys, siap – siap, ya. Manager baru kalian segera datang.”, ujar Yusuf. “Oke, Pak.”, balas Ajeng. Para anggota tim Accounting pun sibuk merapikan dandanan dan meja kerja mereka agar si Manager baru itu tidak pingsan mengetahui bagaimana urakan tingkah laku anak buahnya di kantor.   ***   Revano keluar dari dalam kamar mandi unit apartemennya dengan hanya menggunakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Dimatikannya nyala alarm yang terletak di atas nakas di samping ranjangnya. “Too bad. You lose.”, ujar Revano saat mematikan nyala alarm jam beker miliknya. Pagi itu adalah hari yang penting baginya. Hari pertamanya bekerja sebagai Accounting Manager di Djojodiningrat Palm Oil Group. Dengan pengalaman kerjanya di kantor pusat XYZ Accounting Firm di New York sebagai Assistant Manager tentulah jabatan sebagai Manager di negaranya sendiri tidak ada apa – apanya. Seharusnya ia mendapatkan yang jauh lebih baik daripada sekedar menjadi bos dari tim kecil. Namun, permintaan sahabatnya tidak mungkin ia tolak. Gavin adalah sahabat kesayangannya sejak duduk di bangku kuliah. Pria itu pernah mendonorkan darahnya saat ia mengalami kecelakaan maka ia tidak mungkin menolak permintaan Gavin itu. Sebelum mereka menemukan seseorang yang sangat tepat untuk mengisi kekosongan posisi Accounting Manager pada perusahaan perkebunan kelapa sawit mereka, maka dengan senang hati ia akan membantu sahabatnya itu. Revano memakai setelan kemeja putih, jas dan celana hitam, lalu ia mematut dirinya di depan cermin. ‘Apa gak berlebihan ya pakai jas begini di Indonesia? Lagipula, gue kan bukan mau ketemu klien.’, ujarnya membatin seraya memandangi dirinya yang sangat tampan dengan setelan pakaian kerja tersebut melalui pantulan cermin. ‘Ah, bodo amat deh. Siapa tau ketemu cewek cantik di sana.’, lanjutnya. Ia pun mengambil kacamata hitam dari dalam laci khusus penyimpanan aksesorisnya kemudian memakainya. Setelah tampilannya benar – benar sempurna, ia berjalan keluar dari dalam unit apartemennya dengan sepatu klasik model Oxford miliknya. Ia pun mengendarai mobilnya menuju gedung perkantoran yang tidak jauh dari gedung apartemen tempat tinggalnya. Sesuai dengan apa yang telah dijanjikan, Revano tiba di kantor perkebunan kelapa sawit milik keluarga Djojodiningrat itu pukul 08.30 pagi. Para receptionist tercengang melihat ketampanannya dan kepercayaan dirinya yang memakai kacamata hitam yang tidak pas dengan budaya di Jakarta. “Good morning. Welcome to Djojodiningrat Empire Building. May I help you?”, sapa salah seorang receptionist gedung saat melihat pria bule yang mendatangi meja receptionist. “Saya mau ke Djojodiningrat Palm Oil.”, jawab Revano setelah melepas kacamata hitam yang dipakainya yang membuat sang receptionist tersadar bahwa dugaannya salah. Ternyata pria itu adalah orang Indonesia. Receptionist itu menebak jika pria di hadapannya adalah seorang blasteran. “Maaf, Bapak. Boleh tahu keperluannya?” “Hari pertama saya kerja. Mungkin juga hari pertama untuk kita.”, jawab Revano lagi, tetapi kali ini dengan diiringi kedipan mata yang membuat receptionist itu tersipu malu. “Boleh pinjam KTP-nya?” Revano segera mengeluarkan KTP miliknya dari dalam dompet yang berharga jutaan dan memberikan kartu pengenal tersebut pada receptionist. Ia dapat melihat gadis itu gemetaran saat mengetik data dirinya di komputer guna mencatat para tamu yang datang berkunjung ke gedung tempatnya bekerja. Ia pun meyakini bahwa para receptionist yang bertugas hari ini bukanlah receptionist yang bertugas saat ia datang untuk melakukan sesi tes dan wawancara kerja beberapa waktu lalu demi melihat betapa mereka terheran – heran memandanginya. “Mbak belum sarapan, ya?” “Maaf?” “Tangan Mbak gemeteran. Mau sarapan sama saya biar Mbak gak gemetaran lagi?” Teman – teman receptionist lainnya berusaha untuk menahan tawanya sekeras mungkin demi melihat rekan kerja mereka ketahuan mengagumi tamu mereka. Receptionist itu pun tidak menjawab pertanyaan Revano. Ia terus berusaha fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. “Saya foto dulu, ya.” Revano pun menegakkan tubuhnya agar gambar dirinya dapat terekam di kamera petugas receptionist dengan baik. Setelah berhasil menekan tombol untuk mengambil potret gambar diri tamunya, receptionist itu memberikan kartu akses gedung pada Revano. “Thanks, Beib.”, ujar Revano seraya memberikan senyuman mautnya. Setelah Revano berlalu dari pandangannya, receptionist itu terduduk di kursinya dan memegangi dadanya. Jantungnya berdetak dengan sangat keras. “Rina, lo gapapa?”, tanya Tuti, salah satu rekan kerjanya. “Gapapa, kok.” “Itu cowok emang ganteng banget, Rin.” “Iya.” Sementara itu, Revano memutuskan untuk mampir ke kafetaria yang berada di lobby gedung tersebut sebelum beranjak menuju kantor barunya. Setelah menerima pesanannya dari pelayan kafetaria, ia kembali ke meja receptionist gedung. “Hi, ladies.”, ujar Revano yang sontak membuat Rina, Tuti dan Ambar terlonjak kaget sebab para wanita itu sedang diam – diam memperhatikan foto Revano yang diambil oleh Rina saat Rina mengisi data diri Revano. “Ada apa, Pak?”, tanya Rina gugup setelah berhasil mengunci layar komputernya agar tidak ketahuan dirinya sedang mengagumi foto pria itu. “Sarapan dulu ya sebelum kerja.”, ujar Revano seraya meletakkan beberapa potong sandwich dan tiga gelas kopi yang dibelinya di kafetaria di atas meja receptionist. “Te..”, ujar Rina terbata kemudian ia dan kedua rekan kerjanya saling berpandangan. “Terima kasih.”, ujar Rina, Tuti dan Ambar berbarengan. “Anything for you, Ladies.”, balas Revano kemudian ia segera berlalu menuju deretan lift yang akan membawanya ke kantor barunya. Rina, Tuti dan Ambar saling berpandangan dan berebut gelas kopi yang ternyata sudah dituliskan nama mereka masing – masing dan juga tertulis pesan ‘Have a nice day, Cantik’. “Gombal deh tuh cowok.”, ujar Ambar. “Gapapa. Tetep ganteng.”, balas Tuti seraya cekikikan. Rina pun menganggukkan kepalanya seraya terkekeh sebagai tanda bahwa ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Tuti.   ***   Riri dan Ocha bangkit dari kursi di balik meja receptionist kantor mereka untuk menyambut kedatangan pria tampan yang diperkirakan akan menjadi korban gosip anak – anak kantor. “Selamat pagi.”, ucap Riri dan Ocha berbarengan. “Pagi. Bisa bertemu dengan pak Yusuf?” “Baik. Mari ikut dengan saya.”, ujar Riri yang segera membawa pria tampan itu ke salah satu ruang meeting kantornya. Sementara itu, Ocha segera menghubungi pak Yusuf. “Silahkan duduk.”, ujar Riri. “Terima kasih.”, balas Revano yang segera memilih untuk duduk di kursi dekat pintu masuk ruang meeting tersebut. “Mau minum apa, Mas?”, tanya Riri. “Tidak usah.” “Kalau misal Mas mau minum, Mas boleh ambil air mineral yang ada di sudut ruangan.”, ujar Riri seraya menunjuk beberapa botol air mineral yang tersusun rapi di atas meja yang terletak di sudut ruangan itu. “Atau Mas bisa menghubungi receptionist melalui nomor extension 0 kalau Mas butuh sesutau.” “Oke.” “Saya tinggal dulu, ya.” “Ya.” Revano menghela napasnya setelah Riri pergi. Sedari tadi ia ingin menggoda receptionist cantik itu, tetapi ia harus menjaga sikapnya di kantor tersebut sampai ia berhasil lulus dari masa percobaan barulah ia akan menunjukkan sifat aslinya. Saat Revano sedang membuka akun media sosialnya di ponsel, seseorang mengetuk pintu ruang meeting yang ditempatinya kemudian munculah pria yang sedari tadi ditunggunya. “Pagi, Mas Revano.” “Pagi, Pak.” “Maaf ya, Mas kelamaan nunggu, ya?” “Enggak, kok. Saya juga baru sampai.” “Syukurlah. Saya buru – buru ke sini karena Lina yang seharusnya menemani Pak Revano onboarding tiba – tiba saja izin karena anaknya masuk rumah sakit.” “Oh ya? Kenapa, Pak?” “Tau deh. Katanya sih keracunan jajanan anak – anak gitu. Semoga saja anaknya cepat sembuh.” “Amin.” “Ya udah, apa kita bisa langsung mulai sesi Induction-nya? Atau Mas Revano mau ke toilet dulu?” “Mulai sekarang saja, Pak.”   ***   Terdengar ketukan di pintu ruang kerjanya yang membuat Gavin mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. “Eh, Pak Yusuf, masuk Pak.”, ujar Gavin saat melihat Yusuf telah berdiri di depan pintu ruang kerjanya yang sengaja dibiarkan terbuka. Yusuf pun masuk ke dalam ruang kerja Direktur Keuangan itu diikuti oleh Revano yang melangkah seraya menunjukkan senyum jahilnya pada sang sahabat. “Mas Gavin, ini saya bawakan mas Revano.”, ujar Yusuf. “Terima kasih ya pak Yusuf.”, balas Gavin. “Sama – sama, Mas. Ini mau ngobrol – ngobrol dulu atau gimana?” “Langsung anterin aja dia ke mejanyalah, Pak. Gumoh kalau kelamaan liatin dia.” “Yee kan lo juga yang nyuruh gue ke sini.”, balas Revano seraya memanyunkan bibirnya. Gavin terkekeh lalu mengunci layar laptopnya, kemudian ia mengajak pak Yusuf untuk mengantarkan Revano bertemu dengan teman – teman yang akan menjadi rekan kerja pria itu. Ajeng yang melihat Yusuf baru saja keluar dari dalam ruang kerja Gavin pun segera merapikan tatanan rambutnya. “Guys, bos baru kita dateng.”, bisik Ajeng pada para staffnya. Bella dan para rekan kerjanya pun bersiap – siap berkenalan dengan Manager baru mereka. Namun, seketika Bella ternganga saat mengenali wajah pria yang berdiri di antara Yusuf dan Gavin. “Teman – teman Accounting dan Finance, ini saya bawakan Accounting Manager baru kalian.”, ujar Yusuf dengan senyum sumringahnya. Revano pun tak kalah terkejutnya tatkala ia menyadari adanya seorang gadis yang dikenalkan oleh tantenya saat perjamuan makan siang keluarga pada hari Minggu kemarin. Ia memandangi Bella seraya memberikan seringainya pada gadis jelek yang ia temui di acara pernikahan kakak sepupunya. “Hai, Bella.” Semua orang yang berada di sana pun memandangi Revano dan Bella secara bergantian. “Lo ngapain di sini?”, tanya Bella dengan wajah sewotnya. “Bella, Revano ini yang akan jadi Manager kamu.”, ujar Yusuf yang mendadak darah tinggi melihat sikap Bella yang sangat tidak sopan pada Manager baru itu. “Apa?!”, ujar Bella dengan histeris. “Mohon kerjasamanya ya, Bella.”, ujar Revano dengan sengaja menekankan suaranya saat menyebut nama Bella. Ia menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan gadis itu. ‘Ih, ngapain pakai salaman segala sih?! Nanti kalau tangan gue gatel – gatel gimana?!’, keluh Bella di dalam benaknya. Bibirnya manyun menandakan bahwa ia benar – benar tersiksa harus bersalaman dengan pria itu. Namun, ia ingat ia harus bersikap profesional di kantor, maka ia pun menyambut jabat tangan itu. “Aak..”, erang Bella karena Revano sengaja meremas tangan mungilnya. Bella menatapnya yang kembali menunjukkan seringai yang sangat dibenci oleh Bella. ‘Dasar manusia terkutuk!’, jerit Bella di dalam batinnya. ‘Yes! Gue punya mainan baru!’, ujar Revano dalam batinnya seraya tersenyum meremehkan gadis jelek itu. Tanpa disadari oleh kedua orang yang bermusuhan sejak awal perkenalan, rekan kerja mereka melongo berbarengan melihat mereka berdua yang kini saling memandang dengan tatapan penuh permusuhan. “Ehem!”, ujar Gavin yang sengaja berdehem agar kedua orang yang bersitegang itu segera mengakhiri perang dingin mereka. “Rev, ini ada Mbak Ajeng yang jadi Assistant Manager, ada Panji yang jadi supervisor, terus ada Tita yang jadi staff lo dan ada Bella yang biasa bikin faktur pajak. Nah, di barisan belakang itu tim Finance. Yuk, kenalan dulu.” Revano pun berkenalan seraya berjabat tangan dengan semua anggota tim Accounting kemudian dengan tim Finance di bawah asuhan Ikmal sang Finance Manager yang menggantikan Haikal Salim setelah pria itu mengundurkan diri dari perusahaan tersebut akibat desas – desus perselingkuhannya dengan istri dari pemilik saham terbesar perusahaan tempat mereka bekerja itu.   ***   Nih, biar di bab - bab selanjutnya pada gak bingung: - Accounting: Manager – Revano Assitant Manager – Ajeng Supervisor – Panji Accounting Staff – Tita Tax Staff – Bella   - Finance Manager – Ikmal Assitant Manager – Rendra Supervisor – Vita Treasury Staff – Widya Billing Staff – Riris Collector – Resti ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN