Hari ini hal yang paling tidak diinginkan Bella dalam hidupnya akhirnya terjadi. Adiknya yang sempurna itu menikah terlebih dahulu. Dan yang lebih parahnya lagi, adiknya itu tidak menikah dengan Rasya, melainkan dengan bos pemilik perusahaan tambang batu bara tempat adiknya itu bekerja. Bayangkan saja betapa kaya rayanya kini adiknya itu dan betapa semakin menderitanya Bella dibuatnya. Hidup adiknya itu benar – benar diberkahi. Wajahnya cantik, bentuk tubuhnya proporsional dan otaknya jugalah cerdas. Entah apa yang dilakukan orang tuanya di masa lalu. Mengapa ia dan adiknya memiliki nasib bagai langit dan bumi. Sejak kecil, keluarga besarnya banyak yang mengejeknya. Dengan kejamnya, mereka mengatakan bahwa Bella adalah produk gagal kedua orang tuanya. Ia dianggap sebagai kelinci percobaan. Dengan melahirkannya, kedua orang tuanya dapat mengetahui apa yang salah sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama pada saat pembuahan anak ke dua mereka. Ejekan – ejekan serupa dilontarkan kepada Bella sampai gadis itu beranjak dewasa. Bahkan, di hari bahagia adiknya itu saja ia masih harus meladeni sindiran para keluarga besarnya karena ia dilangkahi oleh adiknya yang usianya lima tahun lebih muda daripada usianya. Mereka kembali menegaskan bahwa Gisella menang dalam segala hal. Kecantikan, kecerdesan dan karir Gisella jauh melampaui Bella.
Di resepsi pernikahan adiknya itu, Bella hanya berdiam diri saja di kursi tamu undangan VIP seraya memandangi adiknya dan sang suami yang berdiri di pelaminan dengan senyum lebar tercetak jelas di wajah mereka. Para deretan bridesmaid dengan gaun indahnya pun setia mendampingi Gisella sepanjang resepsi pernikahan mewah itu digelar.
“Diem aja, Bel? Gak makan lo?”, tanya Venita saat ia kembali ke meja yang ditempati Bella setelah ia dan Shinta mengambil zuppa soup.
“Gak laper.”, jawab Bella.
Venita dan Shinta pun saling berpandangan mendapati temannya yang sudah bagaikan mayat hidup itu.
“Makanannya enak – enak banget lho, Bel.”, ujar Shinta.
“Ya namanya juga makanan hotel bintang lima.”, balas Bella lagi yang semangatnya sudah benar – benar hilang ditelan bumi.
Venita dan Shinta menghela napasnya kemudian menyantap zuppa soup mereka tanpa mempedulikan Bella yang masih terdiam menatap nanar pada adiknya yang sedang sangat berbahagia di atas pelaminan sana. Tiba – tiba saja Shinta tersedak saat ia terburu – buru menelan zuppa soup-nya.
“Hati – hati, Shin.”, ujar Venita seraya memberikan tisu pada Shinta.
“Eh, Rasya dateng.”, bisik Shinta yang sedari tadi ingin mengatakan hal itu hingga ia tersedak.
Sontak Bella dan Venita menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Shinta. Kedua mata mereka terbelalak mendapati mantan kekasih Gisella itu datang ke resepsi pernikahan tersebut dengan wajahnya yang sangat pucat dan lingkaran bawah mata yang sangat hitam. Mereka sama sekali tidak menyangka Rasya, salah satu pria yang didaulat sebagai pria paling tampan di angkatan kuliah mereka itu, akan sangat patah hati setelah Gisella memutuskan hubungan mereka dan menikah dengan pria lain. Setelah menyelesaikan pendidikannya dengan IPK yang sesempurna dirinya, Gisella diterima bekerja sebagai auditor di salah satu kantor akuntan publik ternama. Di sana, Gisella berkenalan dengan banyak pria hingga ia menyadari bahwa Rasya bukanlah tipe pria yang ia inginkan untuk menjadi suaminya. Setelah dua tahun bekerja sebagai auditor eksternal, Gisella mendapatkan pekerjaan baru sebagai Accounting Supervisor di sebuah perusahaan tambang batu bara. Dengan kecantikan dan kecekatan Gisella dalam bekerja, Wisnu, sang pemilik perusahaan tersebut, jatuh cinta pada Gisella. Setelah satu tahun mereka menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih, Wisnu melamar Gisella. Tentulah Gisella menerima lamaran itu. Apalagi kedua orang tuanya yang sangat terpukau pada Wisnu setelah mengetahui latar belakang calon menantu mereka itu yang ternyata merupakan cucu dari mantan pejabat negara. Rama dan Meira bagaikan mendapat tambang emas saat Wisnu meminta mereka agar merestui hubungannya dengan anak bungsu mereka. Semua anggota keluarga besar Kamardi, keluarga Rama, pun menyetujui pernikahan tersebut, kecuali Bella. Bukan karena Wisnu tidak baik untuk Gisella, tetapi tidak baik untuk kelangsungan batin Bella yang sudah pasti akan menderita sepanjang hidupnya mendengarkan nyinyiran para anggota keluarga yang akan lagi – lagi membandingkan Gisella yang memiliki suami tampan dan kaya raya, sedangkan dirinya jangankan menikah, punya kekasih saja tidak. Sungguh malang nasib Bella. Di usianya yang sudah menginjak 31 tahun, ia belum pernah sekali pun memiliki pacar. Bukan karena orang tuanya yang tidak mengizinkannya berpacaran, tetapi tidak ada pria yang tertarik padanya.
Rasya naik ke atas pelaminan dan membuat semua tamu undangan terkejut melihat penampilan pemuda itu yang sangat urakan. Rama dan Meira pun melongo mendapati mantan calon menantu mereka dalam tampilan mengerikan seperti itu. Apalagi hawa napasnya menguarkan aroma alkohol. Sudah dapat dipastikan bahwa pemuda itu mabuk – mabukkan sepanjang hari untuk melupakan kesedihannya.
“Selamat ya udah berhasil menggaet pria kaya.”, bisik Rasya pada Gisella saat bersalaman dengan mempelai dan kedua orang tuanya di atas pelaminan.
“Thanks. Kerja keras ya biar kamu bisa kaya raya juga, jadi kamu gak sirik lihat orang yang lebih kaya daripada kamu.”, balas Gisella yang membuat Rasya mendengus kesal dan segera meninggalkan resepsi tersebut tanpa menyantap hidangan yang disajikan oleh tuan rumah.
“Gile, langsung pulang lho dia.”, ujar Venita pada Bella dan Shinta saat melihat Rasya keluar dari pintu utama ballroom tersebut.
“Patah hati banget tuh kayaknya.”, balas Shinta.
“Kalau gue jadi si Gisel, gue juga lebih milih Wisnu ketimbang Rasya.”, ujar Venita.
“Ya jelaslah. Wisnu lebih kaya ke mana – mana. Lihat aja nih resepsinya. Muke gile mewahnya! Gak kebayang kaya rayanya si Wisnu. Beruntung banget deh adek lo, Bel.”, ujar Shinta lagi.
Bella menghela napasnya. Dilipatnya kedua tangannya di atas meja kemudian kepalanya diletakkan di atas lipatan tangannya itu. Tak lama kemudian, terdengarlah suara isak tangis yang cukup menyayat hati dari Bella yang membuat kedua orang temannya panik.
“Bel, lo kenapa?”, tanya Shinta seraya mengguncang tubuh Bella.
“Bel, lo sakit?”, tanya Venita.
Bukannya menjawab pertanyaan dari teman – temannya, Bella justru menangis dengan suara tangis lebih kencang hingga beberapa tamu undangan berbisik – bisik sambil memperhatikannya.
“Bel, lo jangan nangis dong. Orang – orang lihatin kita nih.”, bisik Venita.
“Bel, please stop crying! Kalau lo nangis kayak gini yang ada nanti saudara – saudara lo malah makin seneng lihat lo menderita.”, bisik Shinta.
Bella tetap tidak mau menghentikan tangisannya. Venita dan Shinta pun menunjukkan senyum seringai kudanya pada tamu undangan yang sedang berjalan melewati mereka dengan tatapan aneh mereka memandangi Bella.
“Bel, udah dong, Bel.”, ujar Shinta lagi setengah merengek.
Bella mengangkat kepalanya dan terlihatlah matanya yang memerah usai menangis. Tiba – tiba saja ia bangkit dari kursinya dan berjalan meninggalkan Venita dan Shinta.
“Bel, mau ke mana?”, tanya Shinta.
“Ikutin, Shin.”, ujar Venita.
Mereka pun bergegas mengikuti langkah Bella yang ternyata gadis itu pergi ke toilet.
“Ya elah, bilang dong lo mau pipis. Bikin panik aja!”, ujar Venita saat Bella masuk ke dalam salah satu bilik wc.
“Ngapain juga mau pipis doang pakai laporan segala?!”, protes Bella yang masih sibuk dengan hajatnya di dalam bilik wc.
“Ya habis tadi lo kan nangis. Gue pikir lo mau bunuh diri!”, balas Venita.
Sementara itu, di bilik wc yang berada tepat di samping bilik wc yang ditempati Bella, terdapat seorang wanita yang tersenyum sumringah mengetahui saudara iparnya menangis di pernikahan adiknya.
Bella keluar dari dalam bilik wc dengan mata sembabnya. Tatanan rambutnya juga sudah mulai berantakan. Ia mencuci tangannya di wastafel seraya memandangi dirinya yang sangat kacau melalui cermin wastafel tersebut. Entah kapan penderitaannya akan berakhir. Belum juga lukanya sembuh, datanglah seorang wanita yang sangat cantik, yang baru saja keluar dari dalam bilik wc, dan kini berdiri tepat di sampingnya.
“Hai, Bella. Udah lama gak ketemu.”
Bella mendesah pelan kemudian memaksa bibirnya untuk tertarik ke atas memberikan senyum yang sangat dipaksakan pada wanita itu.
“Hai.”
“Gak usah sedih gitu dong. Gak masalah kok jadi perawan tua. Bukan salah kamu juga kalau kamu masih gak punya pasangan sampai sekarang.”
Bella memutar kedua bola matanya dan menghela napas malasnya.
“Oh ya, bosnya mas Rio sekarang jadi duda lho. Umurnya 50 tahun. Istrinya meninggal tahun lalu. Dia punya tiga anak. Kayaknya dia cocok sama kamu. Nanti aku kenalin ya ke kamu.”
“Gak usah.”, balas Bella seraya mengeringkan tangannya dengan tisu.
“Gapapa. Daripada gak nikah seumur hidup. Kan lebih baik nikah sama duda. Jadi, kamu bisa langsung punya anak deh.”
Bella membanting tisu ke dalam tempat sampah dan wanita itu pun menunjukkan seringai puasnya.
“Udah cek kelamin anak lo?”
“Udah, Bel. Cewek.”, balasnya seraya tersenyum dan mengelus perutnya yang sedang mengandung janin berusia 18 minggu.
“Semoga anak lo gak bernasib kayak gue, ya. Oh ya, kalau nanti sampai umur 30 tahun dia belum nikah juga, coba lo cariin om – om kaya aja biar hidupnya terjamin.”
Wanita itu pun naik darah dan Bella menunjukkan senyum kemenangannya. Sementara itu, Venita dan Shinta diam – diam cekikikan di sudut toilet melihat temannya yang entah mengapa tiba – tiba seberani itu. Bella pun keluar dari dalam toilet diikuti oleh kedua sahabatnya meninggalkan seorang wanita yang masih memandanginya dengan penuh kebencian.
“Bel, gue pamit, ya.”, ujar Shinta yang sudah mendapatkan pesan singkat dari Dion, suaminya, yang mengatakan bahwa ia sudah berada di depan lobby hotel tempat resepsi pernikahan Gisella dan Wisnu diadakan.
“Yah, lo gak ikut after party?”, tanya Venita.
“Anak gue nyariin. Dah ya, gue pamit.”
Setelah Shinta pergi, Venita mengambilkan pudding untuk Bella yang kembali duduk diam di kursi tamu VIP. Sebenarnya Bella tidak suka jika dirinya ditinggal sendirian sebab ada saja om, tante, kakak atau adik sepupu, saudara ipar dari sepupu, bahkan tetangga om dan tantenya yang datang menyapanya dan menanyakan pertanyaan basa – basi yang membuatnya sangat muak. Apalagi ketika si kecoa pengganggu itu datang lagi. Kini kecoa pengganggu itu datang bersama pasangannya dan bergabung di meja VIP-nya.
“Bel, aku udah bilang ke mas Rio untuk kenalin kamu ke bosnya. Ya kan, Mas?”, ujar Wanda dengan gaya centilnya.
“Iya, Bel. Kamu tenang aja. Pak Brata itu orangnya baik.”, ujar Rio, kakak sepupu Bella.
Kedua mata Bella seketika terbelalak. Rupanya si kecoa itu benar – benar ingin balas dendam padanya.
“Punya perusahaan pula. Keren banget kan?”, lanjut si kecoa pengganggu.
“Iya Bel. Anak – anaknya juga baik – baik lho. Kasihan mereka. Mereka baru aja ditinggal sama ibu mereka. Siapa tau kamu bisa mengisi kekosongan sosok ibu buat mereka.”, sambung Rio.
“Terima kasih atas niat baiknya, tapi Bella udah punya pacar.”
“Pacar? Kamu pacaran sama siapa Bel?”, tanya Rio dengan kedua mata terbelalak karena selama ini yang ia tahu adik sepupunya itu tidak pernah memiliki pacar.
“Temen kantor.”, jawab Bella singkat.
Wanda pun menunjukkan seringai mengejeknya. Ia yakin seratus persen musuhnya yang kini menjadi adik iparnya itu tidaklah memiliki kekasih. Mana mungkin ada pria yang mau menjadi kekasih gadis menyebalkan itu.
“Kenapa kamu gak pernah ngenalin pacar kamu ke kita?”, tanya Rio lagi.
“Ya, nanti aku kenalin.”
“Paklek dan Bulek udah tau?”
“Belum.”
“Dia kok gak dateng ke sini, ya?”
“Sibuk.”
“Dek, kalau dia gak mau ketemu keluarga kamu, itu artinya dia gak serius sama kamu.”, balas Rio.
“Gak mau ketemu atau emang gak ada orangnya?”, tanya Wanda seraya mengedipkan mata genitnya.
Bella kembali mendengus kesal. Diedarkan pandangannya ke sekeliling ballroom itu. Mengapa rasanya Venita lama sekali perginya padahal sahabatnya itu hanya pamit untuk mengambil pudding. Ia pun ternganga saat mendapati Venita justru asyik menikmati pudding di meja untuk tamu non VIP.
“Sorry, gue tinggal dulu.”
Bella segera bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Venita untuk mendamprat sahabatnya itu yang tidak setia kawan. Berani – beraninya gadis itu makan sendirian dan tega membiarkannya dimangsa oleh kakak sepupu dan kakak iparnya yang sangat ingin dipelintirnya itu.
“Heh!”, bentak Bella seraya menggebrak meja hingga Venita tersedak.
“Apaan sih lo, Bel! Kasar banget. Pantesan lo jomblo.”
“Ya lo juga jomblo kali! Kenapa lo malah makan di sini sih?!”
“Sorry deh, Bel. Gue gak enak ganggu lo sama sepupu lo.”
Bella duduk di samping Venita seraya melipat kedua tangannya. Wajahnya cemberut memandangi Wanda yang bergelayut manja di lengan Rio. Mengapa kakak sepupunya itu bisa jatuh cinta pada si manusia ular selicik Wanda. Wanda adalah temannya di Sekolah Menengah Atas yang sangat ia benci. Wanda adalah gadis populer di sekolahnya yang sering kali bergonta – ganti pacar. Wajar saja ia tidak setuju kakak sepupunya yang baik hati berpacaran dengan gadis itu. Jadilah, ia dan Wanda bermusuhan hingga sekarang.
“Jangan dilipet mulu napa itu muka. Sepet gue lihatnya!”, ujar Venita.
“Yang nyuruh lo lihat muka gue juga siapa?!”, balas Bella dengan sewot.
“Ngomong apa lagi sih kakak ipar lo itu?”
“Dia ngomong ke mas Rio katanya gue setuju dikenalin sama bosnya yang umurnya aja cuma beda 10 tahun dari umur bokap gue.”
Venita pun tertawa selebar mungkin hingga membuat Bella mendengus kesal.
“Lo gak mau, Bel? Kan lo bisa jadi istri bos.”
Bella pun memandangi Venita dengan sewot.
“Sorry sorry.”, ujar Venita seraya cekikikan.
Tak lama kemudian, musik electronic dance yang dimainkan oleh disk jockey ternama, DJ Radit, terdengar membahana di ballroom tersebut. Bella pun segera bangkit dari kursinya untuk menuju tempat bartender. Venita segera melahap seluruh pudding-nya kemudian mengejar Bella yang sedang memesan wine.
“Ih gile, DJ Radit ganteng banget, ya.”, bisik Venita yang terkagum – kagum melihat ketampanan pengacara yang juga berprofesi sebagai disk jockey itu.
Bella tidak menyahuti ucapan Venita. Ia segera mengambil gelas wine yang diberikan oleh bartender dan segera pergi menuju lantai dansa. Venita pun mendengus kesal. Apa ia sesalah itu hingga Bella mendiamkannya saja sejak tadi. Ia segera menyusul Bella dan menemani sahabatnya yang sedang patah hati itu berdansa sepanjang malam.
Semakin malam, semakin Bella menggila. Entah berapa kali ia bolak – balik ke meja bartender untuk meminta minuman yang membuat kepalanya semakin sakit.
“Bel, udah wey, jangan kebanyakan minum!”
“Berisik lu!”
“Kalau lo mabok, jangan salahin gue, ya.”
Setelah after party berakhir, Venita menuntun Bella berjalan menuju kamar hotel mereka sebab sahabatnya yang sedang patah hati itu kini berjalan sempoyongan setelah entah berapa banyak cairan laknat itu mengisi tubuhnya.
“Veniii!!! Kenapa musiknya berhenti?”
“Acaranya udah selesai, Sayangku.”
“Enggak. Ayo nari lagi. Lo juga harus nari. Gue ambilin minum, ya.”, ujar Bella yang segera berubah haluan, tetapi Venita cekatan menangkap gadis nakal itu agar tidak kembali ke area bartender.
“Nanti kita pesta lagi.”
“Kapan?”
“Ya nanti di acara nikahan lo.”
“Nikah ama siapa gue, Ven?”, tanya Bella seraya terkekeh.
“Sama Gavin?”
Bella kembali terkekeh dan menganggukkan kepalanya. Venita ikut tersenyum melihat sahabatnya seriang itu membayangkan menikah dengan bos di kantor tempat sahabatnya itu bekerja.
Mereka pun tiba di kamar hotel mereka. Venita segera mengambrukkan tubuh Bella di ranjang dan segera membantunya melepaskan kebaya yang dipakai oleh sahabatnya itu.
“Ven.”
“Ya?”
“Nanti lo mau kan jadi bridesmaid gue?”
Venita pun terkekeh mendapati sahabatnya yang teler itu masih saja memikirkan perihal bridesmaid yang selalu ingin diimpikannya.
“Iya, nanti gue dan Shinta akan jadi bridesmaid di pernikahan lo dan Gavin.”
Senyum tercetak di wajah Bella saat mendengar nama Gavin.
“Gue mau hapus make up dulu ya, Bel.”
Bella tidak membalas ucapan Venita. Sahabatnya itu kini pergi ke kamar mandi untuk mengganti gaunnya dengan piyama lalu membersihkan riasan wajah dan menyikat gigi.
Selesai dengan ritualnya, Venita kembali ke ranjang dan mendapati Bella sudah tertidur lelap dengan senyuman di wajahnya. Ia yakin saat ini Bella sedang memimpikan Gavin. Gavin adalah pria yang berusia dua tahun lebih tua daripada mereka. Pria itu bekerja sebagai Accounting Manager di perusahaan kelapa sawit milik Djojodiningrat Corporation. Pria itu pulalah yang mewawancarai Bella dulu saat gadis itu melamar pekerjaan ke perusahaan tersebut sebagai Tax Staff empat tahun yang lalu. Hari berganti hari, Bella merasakan ada kupu – kupu berterbangan di perutnya setiap kali ia melihat Gavin. Pria itu sangat cerdas, baik hati dan tampan. Bagaimana mungkin Bella tidak menyukainya. Sayangnya, Bella memiliki banyak saingan di kantornya. Banyak gadis – gadis yang mengincar Gavin. Namun, tak ada satu pun dari gadis – gadis itu yang ditaksir oleh pria tampan tersebut sehingga Bella masih memiliki harapan besar Gavin akan memilihnya sebagai istri.
***