Bab 4. Gagal Menikmati Malam Pertama

1493 Kata
Mayang mendengar Ivan mendesis marah di atas tubuhnya. Namun, itu justru membuatnya lega karena tak lama Ivan langsung bangkit dari ranjang—begitu juga dengan dirinya. Mayang menatap Ivan yang berjalan menuju ke pintu kamar. Ketukan dan teriakan itu masih terdengar. Mayang mulai bertanya-tanya, siapakah anak kecil itu. "Papa? Om Ivan udah punya anak? Gue nikah sama bapak-bapak? Sialan! Untung aja cuma setahun," batin Mayang. Sementara itu, Ivan langsung membuka pintu kamar. Ia melotot pada Meri yang dengan rasa bersalah menangkupkan kedua telapak tangannya. "Maaf, Tuan. Saya udah minta nona Reva untuk tidur di rumah nyonya besar, tapi nona Reva nggak mau dan minta pulang." "Papa! Papa kenapa pintunya nggak dibuka?" tanya Reva seraya memukuli daun pintu dengan tangan kecilnya. "Reva, malam ini kamu bobo sama bibi Meri ya," pinta Ivan pada Reva yang berdiri di depan kedua kakinya. Ia masih menutupi akses masuk ke kamar. Reva mendongak dengan eskpresi cemberut. "Tapi aku mau bobo sama Papa! Aku mau denger cerita Papa! Aku mau Papa nyanyiin lagu Nina Bobo." "Ehm, besok malam aja ya. Di dalem ... Papa nggak cuma sendiri, Sayang," kata Ivan yang bingung bagaimana menjelaskan bahwa ia sudah menikah lagi. "Emangnya, Papa sama siapa?" tanya Reva polos. Ia berusaha mengintip ke dalam, tetapi ia tak bisa. "Ada tante di dalem. Namanya tante Mayang," ujar Ivan menjelaskan. Ia lalu berlutut di depan Reva dan menyentuh kedua bahu kecilnya. "Malam ini aja, kamu tidur sama bibi ya. Atau, Papa temenin kamu di kamar kamu aja dulu." "Nggak mau, aku mau bobo sama Papa di sini!" teriak Reva dengan nada tak terima. Karena Ivan sudah melebarkan daun pintu, akhirnya ia bisa berlari masuk. Sama seperti Reva, Mayang pun terkaget ketika mereka bertatapan. Mayang sontak berdiri dari ranjang, ia lalu melambaikan tangannya dengan canggung pada anak kecil yang ia tebak masih TK itu. Ivan menggeram seraya menutup pintu kamar. Ia lalu masuk dan mendekati Reva. "Reva, kamu lihat sendiri 'kan, Papa nggak sendirian. Jadi, kamu tidur di kamar kamu aja ya." "Tapi ... tante ini siapa, Pa?" tanya Reva tanpa mengalihkan tatapan dari Mayang. Mayang menelan keras. Anak kecil bernama Reva itu terlihat lucu, tetapi ia punya firasat bahwa Reva tak menyukai kehadirannya. "Ini tante Mayang. Kamu bisa kenalan sama dia besok," ujar Ivan. "Kenapa papa harus bobo sama tante Mayang?" tanya Reva lagi. Kali ini Reva mendongak pada Ivan. Ivan lalu duduk di tepi ranjang sementara Reva berjalan mendekat. "Reva Sayang, sebenarnya papa sama tante Mayang udah nikah. Kamu tahu 'kan, kalau orang udah menikah, mereka biasanya akan tidur bersama," kata Ivan dengan nada setenang mungkin. Mayang menyimak obrolan ini. Ia belum memiliki anak, tetapi ia bisa mengerti kenapa anak kecil ini ingin tidur dengan ayahnya. Sebab, ketika kecil pun ia juga sering memiliki keinginan serupa. Sayangnya, ia tak pernah bisa mewujudkan impiannya tersebut. Ia bahkan tak tahu siapa ayah ibunya. "Apa Papa nggak mau bobo lagi sama aku gara-gara Papa udah nikah?" tanya Reva. "Ehm, bukan begitu. Papa udah bilang, Papa bisa tidurin kamu dulu di kamar kamu. Bukan di sini," jelas Ivan lagi. Reva mencebik. Ia menatap Mayang lagi lalu ayahnya. "Apa setelah Papa nikah, kita bakal jarang ketemu?" "Kenapa kamu tanya kayak gitu?" Ivan mengangkat tubuh kecil Reva lalu memangkunya dengan penuh kasih. "Soalnya ... mama nggak pernah mau ketemu aku lagi setelah mama nikah. Apa Papa juga? Apa Papa nggak mau ketemu aku lagi kayak mama?" tanya Reva. Kedua mata Ivan langsung panas mendengar ucapan Reva. Sementara Mayang berdebar keras. Ia baru tahu, mantan istri Ivan telah menikah, barangkali wanita itu meninggalkan Ivan dan anak mereka, pikir Mayang. "Nggak kayak gitu, Reva." Ivan memeluk tubuh Reva erat-erat. Ia begitu sakit hati atas perceraian dan pernikahan Reni. Apalagi hal itu juga menyakiti Reva. Ia ingin Reni kembali padanya. Pada Reva juga. "Kita tinggal bersama di rumah ini. Tentu aja kita bisa ketemu setiap hari, setiap pagi, sore dan malam! Kita nggak terpisahkan. Oke?" "Tapi, kenapa Papa nggak mau aku bobo di sini?" tanya Reva seraya menelengkan kepalanya pada Mayang. "Apa tante itu bakal jadi mama aku?" "Nggak. Nggak, Reva. Kamu boleh tidur di sini kok," kata Ivan yang tak ingin Reva bertanya lebih banyak lagi. Ivan melepaskan sandal rumah Reva lalu membaringkan tubuh kecil Reva di tengah ranjang. Ia lalu mengedikkan dagu pada Mayang agar kembali duduk. "Kita bisa tidur bertiga malam ini," kata Ivan. "Nggak perlu, Om. Aku ... aku bisa tidur di kamar lain," kata Mayang yang merasa bersyukur atas gangguan ini. Walaupun Reva menatapnya tak suka, ia mungkin harus berterima kasih. Akan lebih baik jika Reva tidur dengan Ivan setiap hari! Yah, Reva adalah dewi penyelamatnya! "Nggak, kamu tidur di sini!" Ivan bersikeras. "Ehm, dulu aku juga bobo sama mama sama papa di sini, Tante," kata Reva dengan nada polos. Mayang tertawa getir. Oke, lagipula ia tidur di pinggir dan Reva ada di tengah-tengah di antara ia dan Ivan. Ia akan aman dari sentuhan mengerikan pria itu. Jadi, Mayang dengan cepat berbaring. Ia sengaja membelakangi Reva dan Ivan. "Papa, aku mau Papa bacain buku cerita," ujar Reva. "Oke. Papa ambil dulu ya." Mayang mencoba memejamkan matanya, tetapi kedua telinganya terus menangkap apa yang diobrolkan oleh Reva dan Ivan. Ia juga mendengar Ivan menarik laci lalu mengambil sesuatu. Terlihat sekali bahwa Ivan menyiapkan buku cerita untuk putrinya di sana. Mayang lalu mendengar Ivan berdehem dan Reva tertawa senang. "Papa, aku nggak mau selimut. Aku 'kan udah pakai baju panjang, Pa." "Oke. Tapi kalau malam makin dingin, nanti Papa kasih kamu selimut ya," ujar Ivan. "Ya. Papa buruan baca!" "Oke." Ivan pun mulai membaca dengan lirih. Ia tak ingin Mayang merasa bahwa ia adalah pria konyol yang membaca dongeng anak-anak. "Papa yang keras dong. Aku mau Papa bacanya yang kayak biasa!" Mayang membuka matanya begitu Ivan mulai mendongeng lebih keras. Ia tersenyum tipis mendengar bagaimana pria yang tadi ia sempat takuti itu bisa menuturkan cerita dengan lembut. Bahkan, Ivan mahir mengubah suara dan intonasi membacanya. Reva sesekali tertawa lalu bertanya ini dan itu. Kedua ujung bibir Mayang semakin tertarik ke atas karena ia juga sangat suka dengan cerita. Ia ingat ketika kecil, ia selalu mendengarkan dongeng dari ibu pantinya yang bernama Mawar. Ia ingat setiap malam ia, Damar dan anak-anak lain akan berkerumun di sekeliling Mawar untuk mendengarkan setiap cerita barunya atau cerita lama yang diulang-ulang. Mereka tak peduli, yang jelas itulah yang mereka nanti setiap hari. "Nggak nyangka, om Ivan bisa bikin gue bernostalgia." Mayang mengulum bibirnya. Mendengar Ivan bercerita, membuatnya yakin bahwa Ivan adalah ayah yang baik. Ia pernah menginginkan sosok ayah seperti itu. Rasanya keren memiliki ayah yang pandai mendongeng. Ia merasa bahwa Reva begitu beruntung memiliki ayah seperti Ivan. Mayang menggeleng pelan karena lama-kelamaan, ia justru merasa mengantuk. Apalagi, Ivan sudah mengakhiri ceritanya. Ia mendengar Ivan membimbing Reva membaca doa sebelum tidur. "Papa, Papa nyanyi dulu biar aku ngantuk," pinta Reva. "Besok aja ya," kata Ivan. Sebenarnya, ia agak malu dengan Mayang. Karena malam pertama mereka justru menjadi seperti ini. Padahal ia sudah meminta Meri untuk menahan Reva apapun yang terjadi. "Papa ... aku nggak mau merem kalau Papa nggak nyanyi," ancam Reva sambil menghentakkan kakinya di atas kasur. "Oke-oke!" Ivan menahan kedua kaki putrinya. Ia juga mengangkat kepalanya untuk melihat reaksi Mayang. Sudah jelas, Mayang sangat penasaran dengan nyanyian sebelum tidur Ivan. Jadi ia kembali membuka mata dan mendengarkan. Ia tersenyum lagi karena Ivan bisa bernyanyi dengan baik. Lagu pengantar tidur itu berbahasa Inggris dan Mayang tak tahu itu lagu apa. Namun, lagu itu berhasil membawa kantuk datang. Ivan baru berhenti menyanyi ketika ia melihat kedua mata Reva terpejam rapat. Ia membelai rambut panjang putrinya dengan lembut. Ia merasa terenyuh setiap kali menatap wajah Reva. Gadis ciliknya selalu merindukan Reni, tetapi Reni sama sekali tak peduli lagi. "Papa pasti bisa bawa pulang mama kamu lagi," batin Ivan. Ia mendaratkan kecupan singkat ke kening Reva. Beberapa detik terdiam, Ivan baru ingat bahwa ada Mayang di tepi ranjangnya. Ia segera mengangkat kepalanya lagi lalu mengintip ke wajah Mayang. "Dia juga ikutan tidur? Ah, malam pertama aku gagal total. Aku malah nidurin dua gadis di sini," gumamnya. Ivan pun bangun lalu mematikan lampu utama kamar. Ia lalu menarik selimut Mayang untuk menutupi tubuh sang istri. Ia tersenyum karena wajah teduh Mayang tampak begitu cantik dan tenang di bawah temaram lampu tidur mereka. Ivan tak tahu bahwa kini, Mayang bisa bermimpi indah berkat dongeng dan nyanyiannya. "Kamu lolos malam ini, tapi besok ... aku nggak akan biarin kamu," ujar Ivan seraya berdiri. Ia tentu merasa resah karena Mayang sudah berstatus sebagai istrinya dan ia memiliki hak. Walaupun Mayang hanya istri sementara baginya, setidaknya ia tak membuat dosa ketika ia menyalurkan hasratnya. Dengan lembut, Ivan mengusap puncak kepala Mayang. "Sayang sekali, kamu cuma wanita malam. Kehidupan berat tampaknya sudah membuat kamu memilih jalan yang salah selama ini. Tapi, itu bagus. Aku nggak mau ngerusak anak gadis yang masih polos cuma demi rencana aku dapetin kembali hati Reni." Ivan lantas berdiri. Ia masih tak tahu bahwa Mayang bukanlah wanita malam dan barangkali suatu hari ia memang akan mengambil kepolosan Mayang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN