Bab 5. Syarat dari Mayang

1500 Kata
Mayang terbangun cepat pagi itu. Rasanya ia masih seperti bermimpi bisa bermalam di rumah mewah milik Ivan. Ia mengedarkan matanya lebih dulu sebelum akhirnya duduk. Ia tidur di atas ranjang besar yang sangat empuk. Dan ranjang itu bahkan muat untuk 3 orang tanpa harus berdesakan. Ia pun menoleh pada Reva, sang dewi penyelamat dan juga Ivan, suaminya. "Entah apa jadinya gue kalau bocil ini nggak nongol," batin Mayang. Mayang membuang napas panjang lalu mengambil ponselnya. Seperti biasa, Mayang selalu mengecek ponsel setelah bangun tidur. Ia menunggu kabar dari rumah sakit tentang perkembangan Damar, tetapi hingga pagi ini tak ada pesan sama sekali dari rumah sakit. Jadi, ia pun mencari pesan dari pacarnya. Ada nomor baru, dan ia tahu itu pasti Bayu. Bayu: Gimana kondisi kakak lo? Udah sehat? Gue mau jenguk Damar. Bayu: Tadi malem gue telepon kenapa nggak diangkat, Beb? Gue di depan rumah lo, tapi gelap banget. Lo kerja di mana lagi? Mayang menyugar rambut kusutnya dengan gelisah. Ia bahkan menipu Bayu dengan pernikahan ini. Bayu datang ke rumahnya semalam! Itu berbahaya. Ia tak lagi tinggal di sana karena pernikahan ini. Mayang dengan sengit menatap Ivan yang masih tidur dengan dengkuran halus. "Oke, gue anggap aja ini kerjaan baru gue. Lagian ... gue bakal dapet duit banyak!" Mayang mencoba menghibur dirinya meskipun ia tahu taruhannya bukan sekadar waktu setahun. Ivan juga menginginkan tubuhnya! "Apa om Ivan beneran mau nidurin gue? Apa itu tertulis di surat kontrak?" Mayang bergumam seraya turun dari ranjang. Ia harus segera mandi lalu berganti baju dan menunaikan ibadah sholat subuh karena suara adzan sudah terdengar di kejauhan. Begitu masuk ke kamar mandi, ia dibuat takjub. "Wah, ini udah kayak di hotel aja." Setelah puas melihat-lihat, Mayang pun segera buang air lalu mencuci mukanya. Ia mencoba semua alat di sana termasuk alat cukur elektrik milik Ivan. Namun, ia buru-buru mematikannya karena tak ingin Ivan terbangun. "Bahkan, handuknya ada banyak," gumam Mayang seraya mengambil salah satu handuk dari lemari yang ada di toilet. Mayang segera mandi, ia menikmati sabun beraroma super wangi itu, juga shampo dan semua yang ada di sana. Sungguh sempurna! Tampaknya Ivan sudah mempersiapkan banyak hal untuknya karena itu adalah shampo dan sabun untuk wanita. Mayang menggulung rambutnya dengan handuk lalu memakai jubah mandi yang juga sudah tersedia di sana. "Gue harus ambil baju." Mayang berjingkat-jingkat menuju kamar lalu membuka lemari. Ia kembali terkesima karena semua baju yang ada di sana sangat bagus. Ia mengambil pakaian dalam barunya yang bermerek. "Gila! Ini sih bisa buat makan seminggu," gumam Mayang seraya merentangkan satu buah bra berwarna hitam. Ia melihat size-nya, sungguh pas untuk asetnya. "Kenapa om itu bisa beli yang pas gini ya?" Mayang baru saja menutup pintu lemari, tetapi ia hampir terlonjak karena di sana sudah berdiri Ivan. Buru-buru, ia meremas bra hitam di tangannya. "Ya Allah, Om! Ngagetin banget!" Mayang mengelus dadanya sementara Ivan mengacungkan telunjuk di depan bibir. Mayang pun menoleh pada Reva yang masih tidur nyenyak. "Maaf." "Rajin banget kamu mandi keramas, padahal semalam ... kita belum jadi ngelakuin itu," ledek Ivan. Mayang mendengkus. Ia berusaha untuk tak lemah di depan Ivan. "Apa maksud Om? Aku ... aku sepakat nikah sama Om karena pernikahan ini cuma pura-pura. Setahun doang. Kenapa kita harus tidur bareng? Nggak usah sembarangan deh." "Kamu emang suka jual mahal rupanya," kata Ivan lagi dengan nada meledek. Ia mengangkat dagu Mayang dengan kasar hingga gadis itu menengadah ke wajahnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Mayang yang sangat wangi itu. "Aku dengar, kamu udah lama kerja di kelab malam. Kamu pasti udah sering punya pelanggan, 'kan?" Mayang mengepalkan tangannya. Biarpun ia miskin, ia tak akan menjual dirinya seperti itu. "Itu bukan urusan Om. Sekarang, aku mau liat surat perjanjian kita. Aku mau tahu apa aja yang harus aku lakuin. Aku kemarin buru-buru tanda tangan karena kondisi kakak aku. Aku nggak mau rugi gara-gara perjanjian itu." "Rugi?" Ivan melepaskan dagu Mayang lalu berkacak pinggang. "Aku udah bayar biaya operasi kakak kamu, begitu juga dengan biaya perawatan kakak kamu di ruang ICU. Kamu pikir, biaya harian itu sedikit? Aku udah bayar dokter yang paling mahal untuk mengobati kakak kamu!" Mayang menelan keras. "Ya, aku tahu itu. Tapi ... boleh aku baca? Om Toni bilang, aku juga boleh mengajukan pasal tambahan di sana." Ivan memiringkan kepalanya. "Oke. Kamu bisa baca biar kamu paham apa yang perlu kamu lakukan selama kita menikah." Ivan berjalan ke meja kerjanya lalu membuka sebuah brankas yang ada di bawah lalu mengeluarkan amplop besar. Ia kembali mendekati Mayang dan mengulurkan berkas itu padanya. "Kamu baca ini. Kamu nggak boleh ngubah apapun isinya. Tapi, kamu boleh nambahin satu poin di sana. Kamu paham?" "100% paham, Om. Tenang aja. Aku nggak bego," tukas Mayang. Ia menatap Ivan yang tampak kesal padanya. "Aku mau pakai baju terus sholat baru aku baca." "Kamu juga sholat?" tanya Ivan terkejut. "Kenapa? Tadi malam aku juga sholat di hotel. Om nggak liat?" Mayang menatap Ivan dengan nada kesal. "Apa wanita malam nggak boleh sholat?" tanya Mayang lagi dengan nada mencela. "Terserah kamu!" Ivan mengibaskan tangannya. "Ada mukena di lemari. Kamu bisa cari sendiri." "Aku punya sendiri." Mayang menjulurkan lidahnya pada Ivan hingga pria itu mendesis marah. Namun, Mayang tak peduli. Ia tak ingin peduli dengan apapun yang dikatakan Ivan. Bahkan, jika ia dikira wanita malam, ia tak peduli. Akan lebih baik jika Ivan tak menyukainya. Jadi, Ivan tak akan meminta yang aneh-aneh padanya. Sementara Mayang berganti baju dan sholat, Ivan pun lekas mandi. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap Mayang tadi. Namun, ketika ia masuk ke kamar, ia memang melihat Mayang sedang melipat mukena parasut lalu menyimpannya kembali ke dalam tas. Mayang menoleh ke kanan-kiri lalu ia memutuskan untuk duduk di meja rias untuk membaca berkas yang diberikan Ivan. Ia dibuat terkejut membaca setiap pasal yang isinya jelas tak menguntungkan dirinya. Yah, ia akan mendapatkan uang 2 miliar, tetapi selain itu ia harus kehilangan segalanya. Ia yang disebut sebagai pihak kedua harus mau tunduk pada Ivan sebagai pihak pertama. "Pihak kedua wajib menuruti semua keinginan pihak pertama?" Mayang menatap sengit Ivan yang sedang sholat. "Pihak kedua harus melayani semua kebutuhan pihak pertama, termasuk kebutuhan batin." Mayang berdiri seketika. Ia langsung mondar-mandir di depan meja rias. Ini gila! Ia tak ingin menjual keperawanannya. Tidak untuk pria seperti Ivan. Jika ia ingin melakukannya tentu saja itu dengan Bayu, pacarnya. Hanya Bayu yang ia cintai selama ini. Tak mungkin ia memberikan mahkotanya yang berharga pada Ivan. Mayang kembali duduk untuk membaca. Ia hanya menggarisbawahi poin-poin penting. "Pihak kedua mau menjaga dan merawat anak dari pihak pertama, menganggapnya sebagai anak sendiri serta mengalah padanya." Mayang kini menoleh pada Reva. "Andai saja lo tahu kelakuan bapak lo!" umpat Mayang dalam hati. "Kenapa kamu melotot kayak gitu?" tanya Ivan seraya mendekati Mayang. "Kamu udah ngerti?" "Ya. Tapi aku nggak bisa ngelakuin ini. Aku nggak mau tidur sama Om!" hardik Mayang. Ivan menggeleng pelan. "Kamu milik aku selama setahun, May. Jangan lupa itu!" Mayang berdecih. Jika Damar tahu, pasti Damar akan kecewa. Ia menjual tubuhnya demi uang. Ini sangat memalukan. "Aku bisa pura-pura jadi istri Om. Aku bisa bersikap baik di depan keluarga Om. Aku janji, aku juga bisa ... masak, beres-beres. Aku bisa jadi b***k Om selama setahun tapi ... aku punya pacar." "Kamu punya pacar?" tanya Ivan dengan kepala meneleng ke kiri. "Ya. Aku mau nikah sama dia abis lulus kuliah nanti. Tahun depan, Om. Jadi ... aku nggak bisa ... ini ... Om 'kan kaya, jadi Om bisa beli wanita lain untuk ini," kata Mayang memberi saran. Ivan membuang napas panjang. "Aku udah beli. Dan wanita itu adalah kamu. Aku bukan pria yang mau gonta-ganti pasangan asalkan kamu tahu." Mayang terkesiap ketika Ivan melangkah maju dan mengikis semua jarak di antara mereka. Tubuh Mayang seketika menumbuk tepian meja. Ia meremang ketika merasakan sapuan tangan Ivan di pinggangnya lalu tangan itu berhenti di pahanya. Mayang menggeleng pelan. "Jangan, Om!" "Kamu milik aku selama setahun. Kamu udah terlanjur tanda tangan. Dan kamu pasti baca poin terakhir, kamu harus mengganti dua kali lipat jika kamu menolak isi perjanjian itu," kata Ivan. Dengan lembut, ia mengangkat tubuh Mayang ke atas meja. Ia sendiri kaget karena Mayang terlihat sangat gemetar di depannya. Namun, ia tak peduli. "Kamu kepunyaan aku sejak kita menikah! Jadi layani suami kamu dengan baik, May!" Mayang tak berkutik, dalam sedetik Ivan sudah berdiri di antara dua pahanya yang terbuka. Tidak! Ini salah. Ia tak mau kehilangan mahkotanya sekarang. Ia takut. "Aku punya syarat! Aku masih bisa nambahin satu poin di sana," kata Mayang seraya menunjuk ke berkas. Ivan menoleh dan menarik kepalanya dari hadapan Mayang. Untung aja, pikir Mayang dalam hati. Ia bisa bernapas sedikit. "Ya, katakan aja." "Aku nggak mau Bayu tahu kita udah nikah. Pokoknya, pernikahan aku jangan sampai diketahui pacar dan teman-teman aku," kata Mayang penuh harap. "Oke. Itu bukan masalah. Aku nggak peduli dengan pacar kamu." Ivan mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua telapak tangan mendarat di atas meja rias tepat di sisi panggul Mayang. "Sekarang, jangan menolak lagi!" Ivan hampir mencium bibir Mayang ketika tiba-tiba Mayang menunjuk ke arah ranjang. "Reva, Om! Reva bangun!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN