Sore itu ketika hendak pulang kerja, Ivan mendapatkan telepon dari ibunya. Ia menatap ponselnya berlama-lama karena ia tak ingin bicara dengan Yanti. Jika ia bicara dengan Yanti, biasanya ia hanya akan bertengkar. Yanti ingin ia menikah lagi dan menyiapkan wanita khusus untuknya. Namun, ia terus menolak, ia masih menginginkan Reni untuk kembali padanya.
"Halo, Ma," sapa Ivan yang akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan Yanti.
"Kamu belum pulang?"
"Ini mau pulang. Kenapa?" tanya Ivan dengan nada kesal.
"Bagus deh kalau kamu udah mau pulang. Mama juga mau ke rumah kamu ini. Mama dengar dari Reva, kamu udah nikah lagi sama wanita yang namanya Mayang. Mama penasaran," kata Yanti.
"Apa?" Ivan berdiri seketika. Ia cukup kaget karena pernikahannya begitu cepat diketahui oleh ibunya. Dan itu dari Reva. Ah, ia sungguh tak habis pikir. Seharusnya ia memberitahu Reva untuk merahasiakan hal ini dari ibunya. Namun, ia bisa apa? Reva hanya anak kecil yang polos.
"Kenapa kamu kaget? Ini Mama sama papa juga. Kami mau ketemu Mayang. Kamu buruan pulang. Istri kamu di rumah atau di mana?"
"Aku nggak tahu di mana Mayang!" jerit Ivan dalam hati. Ia pun mengepalkan tangan kirinya. "Oke, aku pulang ini. Nanti aku kenalin istri aku ke Mama."
Ivan buru-buru menekan tombol 1 di ponselnya—nomor Toni. Ia meminta Toni untuk mengawasi Mayang sejak pagi tadi di kampus karena ia tak ingin Mayang kabur darinya. Entah bagaimana, ia memiliki firasat bahwa Mayang ingin pergi darinya meskipun mereka memiliki perjanjian.
"Halo, di mana istri aku, Ton?" tanya Ivan.
"Ehm, ini saya lagi ngikutin nona Mayang. Tapi, saya nggak tahu ke mana dia pergi," kata Toni melaporkan.
"Bukannya dia kuliah sampai sore dan kerja?" tanya Ivan lagi.
"Ya. Tapi nona Mayang pulang lebih cepat dari kampus dan ini sudah pergi dari resto. Saya masih ngikutin, motornya lambat banget," ujar Toni yang frustrasi sendiri karena motor butut Mayang. Ia harus memelankan mobilnya ketika mengikuti Mayang agar tak ketahuan.
"Kirim lokasi kamu! Aku mau ke sana jemput Mayang sekarang juga." Ivan memberi perintah.
"Baik, Tuan."
Ivan bergegas keluar dari kantornya. Ia tak menyapa sekretaris dan siapapun yang ia temui karena ia terlalu kesal sekarang. Ia mempercepat langkah hingga ia tiba di parkiran lalu masuk mobil. Ia melihat lokasi yang dikirimkan oleh Toni lalu mengernyit.
"Ngapain Mayang ke arah sana? Itu bukan arah ke rumah sakit. Bukannya dia mau jenguk kakaknya." Ivan menggeleng pelan. Ia tak mau menebak-nebak, lebih baik ia langsung menyusul saja.
***
Di tempat lain, Mayang baru saja menghentikan motornya di dekat sebuah rumah yang sepi. Ini adalah kontrakan Bayu, ia tahu. Ia juga sudah beberapa kali datang ke kontrakan ini dan berduaan dengan Bayu. Ia akan berciuman dengan leluasa bersama Bayu di kamarnya. Itu hanya ciuman dan pelukan, tak pernah lebih. Ia tak pernah membuka bajunya untuk Bayu, begitu juga sebaliknya.
Namun, Mayang ingat foto-foto yang ada di ponsel Sekar. Ia melihat Bayu bertelanjang d**a, atau mungkin seutuhnya, ia tak tahu pasti dan Sekar yang menutupi dadanya dengan selimut. Ia jelas bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam kontrakan ini.
Mayang mengepalkan tangannya, ia berdebar keras ketika berjalan menuju rumah kecil itu. Itu hanya sebuah rumah dengan satu kamar dan ruang tamu serta dapur, jadi ketika ia tiba di depan pintu ia bisa mendengar tawa Sekar dan Bayu. Mayang seketika mual mendengar mereka.
"Beb, masa kita sembunyi-sembunyi terus, kamu yakin nggak mau putusin Mayang?" tanya Sekar.
Mayang menajamkan telinganya. Tidak, ia yang akan memutuskan Bayu!
"Ntar deh. Gue kasihan sama dia. Lagi kesusahan kayaknya gara-gara Damar kecelakaan," jawab Bayu.
Mayang mengepalkan tangannya erat. Ia tak akan memaafkan Bayu dan Sekar. Ia hampir membuka paksa pintu tersebut, tetapi ia masih mendengar obrolan mereka.
"Tapi, lo udah nggak cinta sama Mayang, 'kan?" tanya Sekar.
"Gue nggak pernah cinta sama dia, Beb. Gue cuma ... yah, lo tahu dia lumayan cantik. Tapi lo jelas lebih cantik daripada dia. Lagian, gue nggak mungkin direstui sama ortu gue kalau lanjut sama Mayang. Lo tahu sendiri Mayang itu yatim-piatu. Asal-usulnya nggak jelas," kata Bayu.
"Iya, Beb. Lo juga harus tanggung jawab sama gue. Jangan lupa, gue udah kasih semuanya ke elo," ujar Sekar.
"Tenang aja, Beb. Itu yang bikin gue makin cinta sama lo. Lo rela ngasih semuanya ke gue nggak kayak Mayang, kaku banget jadi cewek. Ciuman aja nggak bisa."
Kedua mata Mayang melebar seketika. Ia merasa terhina mendengar ucapan Bayu. Bahkan tanpa sadar, air matanya menetes.
"Udah, lo nggak usah ngomongin Mayang terus. Bete gue!" Sekar terdengar kesal.
"Sorry, Beb. Kan tadi lo yang bahas duluan." Suara Bayu terdengar lebih lirih lalu hening di dalam.
Mayang semakin berdebar ketika yang ia dengar kini bukan lagi obrolan melakukan rintihan lirih Sekar. Darah Mayang seketika berdesir karena ia sudah membayangkan adegan yang ada di dalam sana.
Mayang pun memutar gagang pintu kuat-kuat. "Buka pintunya! Berengsek lo!"
Ternyata, pintu rumah itu tak terkunci dan dengan mudah akhirnya Mayang masuk ke sana. Begitu masuk, ia mendapati Bayu sedang bangun dari atas tubuh Sekar yang terbuka di bagian d**a. Napas Mayang langsung naik-turun begitu menyaksikan adegan menjijikkan itu.
"May-Mayang!" Bayu terbata memanggil sosok yang begitu marah menatap ke arahnya.
"Kalian! Kalian ternyata ... menjijikkan!" seru Mayang. "Lo tuh pacar gue! Dan dia sahabat gue sendiri!"
"Gue bisa jelasin, May," kata Bayu seraya berdiri lebih tegak. Di sofa, Sekar berusaha bangun dan menutupi tubuhnya.
"Lo nggak perlu jelasin apa-apa, gue udah tahu." Mayang dengan kasar mengambil ponsel Sekar dari dalam tasnya. Ia mengulurkan benda pipih itu, padahal ia sangat ingin membantingnya. Namun, jika ia harus mengganti benda semahal itu, ia tak akan sanggup.
"May, itu ... sorry, tapi gue sayang banget sama Bayu," kata Sekar seraya meraih ponselnya dari tangan Mayang. "Dan Bayu lebih sayang sama gue daripada sama lo."
"Sialan lo!" Mayang merangsek maju hendak menjambak rambut Sekar, tetapi tiba-tiba tubuhnya tertarik ke belakang karena ada sepasang lengan besar memeluk pinggangnya.
"Kita pulang!"
Mayang menoleh sengit pada Ivan yang tanpa diundang muncul di sana. Padahal, ia sedang melampiaskan amarahnya. Ia menatap dua makhluk di depannya yang jelas penasaran dengan kemunculan Ivan.
"Nggak, Om! Lepas! Aku harus bikin mereka berdua nyesel," kata Mayang sambil menangis.
"Kita pulang, aku butuh kamu di rumah," bisik Ivan di telinga Mayang.
Bayu dan Sekar bertatapan. Keduanya tampak bingung karena tiba-tiba saja Mayang ada yang memeluk dan menarik. Lalu dalam sekejap Mayang sudah ditarik keluar oleh pria asing itu.
Bayu terduduk di kursi. Ia tak pernah ingin menyakiti Mayang hingga seperti ini. Tentu saja ia menyukai gadis cantik itu, yah, Mayang sangat cantik dan seksi. Hanya saja, Mayang tak pernah mau membuka dirinya lebih banyak. Padahal ia memiliki hasrat yang besar.
"Bay, lo tahu siapa pria tadi?" tanya Sekar seraya merangkul bahu Bayu.
"Mana gue tahu. Omnya Mayang kali," jawab Bayu ketus. Ia mengusap wajahnya dengan gusar. "Kenapa ponsel lo bisa sama Mayang dan kita harus ketahuan begini?" Bayu menatap sengit Sekar.
"Tadi jatuh, gue 'kan udah bilang kalau ponsel gue ilang, Beb. Lo kenapa jadi gini sih? Padahal tadi baru asyik. Ketahuan Mayang ya udah, itu artinya hubungan lo sama dia udah kelar," kata Sekar seraya menarik tangannya dari tubuh Bayu.
"Masalahnya ... gue mau putus baik-baik sama dia!" sergah Bayu. "Gue belum dapetin tubuh Mayang. Dia lebih seksi dibandingkan elo, Kar."
"Udah terlanjur, Beb. Kalau kayak gini, gue jadi curiga lo masih punya rasa ke Mayang," tebak Sekar yang semakin kesal saja.
"Beb, jangan gitu dong. Gue cuma ... kaget aja kita ketahuan. Pintunya juga nggak kekunci. Bentar ya," kata Bayu seraya berdiri. Ia mengintip ke luar, tetapi Mayang sudah tak terlihat lagi.
"Sorry, Beb. Gue nggak bermaksud bikin lo ragu sama perasaan gue," kata Bayu seraya memeluk Sekar lagi. Ia meraba dan mencium leher jenjang Sekar. Dalam sekejap, keduanya kembali terbakar gairah. "Kita lanjutkan yang tadi, Beb."
***
Sementara itu, Mayang masih menangis di mobil Ivan. Ia bahkan tak mau menoleh pada Ivan karena kesal. Seharusnya ia menjambak rambut Sekar lalu menampar pipi Bayu. Sayang sekali, ia harus dibawa pergi oleh Ivan seperti ini!
"Lap air mata kamu. Aku nggak mau kamu pulang dalam keadaan kayak gini," kata Ivan seraya meletakkan satu kotak tisu ke pangkuan Mayang.
Mayang menatap tajam Ivan. "Semua gara-gara Om! Harusnya aku udah ngamuk sama pasangan m***m itu!"
"Itu pacar kamu?" tanya Ivan dengan nada penasaran. Ia juga kaget mendengar secuil obrolan Mayang dengan dua orang tadi.
"Ya. Dan cewek itu sahabat aku sendiri, Om! Aku udah temenan sama Sekar sejak SMA!" seru Mayang sambil mengusap-usap pipinya. "Mereka udah tidur bareng, Om! Aku sakit hati! Aku mau kasih mereka pelajaran, tapi ... Om keburu datang!"
Ivan tertawa kecil. "Harusnya kamu malu dengan diri kamu sendiri. Kenapa kamu marah sama pacar kamu gara-gara dia tidur dengan cewek lain?"
Mayang menatap Ivan dengan ekspresi bingung. "Kenapa? Kenapa aku nggak boleh marah?"
"Bukannya kamu setiap malam Minggu juga ngelakuin itu. Tidur dengan pria lain yang melelang tubuh kamu dengan harga termahal?" Ivan melayangkan tatapan mengejek pada Mayang.
"Aku nggak ... ih! Nggak ada gunanya jelasin sama Om yang nggak paham-paham!" gerutu Mayang jengkel. Ia tak akan menjelaskan semuanya pada Ivan. "Kenapa Om tiba-tiba muncul kayak tadi? Ini mau ke mana?"
"Mau pulang. Di rumah ada orang tua aku. Kamu harus bisa berakting dengan baik sebagai istri aku. Paham?"