“Nay! Nggak baik bicara seperti itu sama kami seperti itu. Gimana pun, kami ini kakak ipar kamu lho!” tegur Syifa kepada Nayla dengan lembut dan senyum tersembunyi di balik cadarnya.
“Ya udah. Aku minta maaf sama Kak Syifa. Tapi, Marwah kan seumuran sama aku. Kenapa harus panggil kakak juga sih?” tanya Nayla dengan ketus dan memandang sinis pada Marwah.
“Walaupun begitu, Marwah adalah istri dari abang kamu. Jadi, Marwah adalah kakak ipar kamu juga Nayla sayang. jadi, untuk menjaga kesopanan dan menghargai abang kamu – Firman, tentu kamu juga memanggil kakak pada Marwah,” terang Syifa dengan penuh kesabaran kepada Nayla.
“Halah! Aku nggak suka orang yang munafik seperti itu, Kak!” bantah Nayla masih dengan nada tidak senang.
Marwah tidak berani berkata apa-apa karena memang dia sudah sangat mengerti dengan sikap Nayla. Bahkan, dibandingkan dengan yang lainnya mungkin Marwah adalah orang yang paling bisa mengerti dan memahami sikap serta sifat Nayla yang seperti itu.
Bukan berarti Marwah takut kepada Nayla. Hanya saja dia tidak suka membuat masalah atau keributan yang sebenarnya tidak perlu diperbesar seperti yang terjadi saat ini. Marwah juga selalu berhati luas untuk memberikan toleransi dan kata maaf kepada Nayla meski di dalam hatinya saja. Karena Marwah tahu, Nayla paling enggan berbicara kepadanya.
“Kalau Kak Syifa udah selesai, tolong keluar dari kamar aku. Soalnya, aku juga butuh sendiri sekarang. Otak dan perasaan aku masih harus mencerna dengan serius semua yang terjadi sekarang,” ungkap Nayla dengan suara dingin dan kemudian mengambil kedua nampan yang ada di tangan Syifa dan Marwah itu.
“Ya udah kalau gitu, Kakak sama Marwah balik lagi ke aula. Di sana bang Firman sama Ali masih bicara dengan keluarga Ridho. Kamu jangan ke mana-mana, Nay!” kata Syifa dengan tegas memberikan peringatan kepada Nayla, setelah ia berpamitan untuk pergi setelah diusir secara halus oleh Nayla.
“Ya udah sana! Aku nggak peduli tentang keluarga mereka!” sahut Nayla marah dan sedikit mendorong tubuh Syifa agar lebih cepat keluar dari dalam kamarnya.
Meskipun Syifa dan Marwah tidak terlalu jauh masuk, tetap saja Nayla harus mendorong tubuh Syifa agar bisa keluar dari dalam kamar pribadinya itu. Sementara Marwah yang sejak tadi hanya diam saja, tentu mengikuti langkah Syifa yang didorong oleh Nayla dengan gelagat tidak sopannya itu.
“Astaghfirullah, Nay! Kamu tega banget sama kak Syifa!” ucap Marwah yang tiba-tiba tidak bisa lagi membendung rasa kesalnya saat melihat Syifa terjatuh ke lantai.
Nayla juga tidak menyangka bahwa Syifa akan terjatuh di lantai keramik tetap di depan pintu kamarnya itu. Ia berpikir hanya mendorong dengan pelan dan tidak akan sampai membuat Syifa terjatuh seperti itu. Meski cukup terkejut, akan tetapi Nayla sama sekali tidak membantu Syifa untuk berdiri atau pun meminta maaf pada wanita lembut dan sholehah itu.
“Ups, sorry! Aku nggak sengaja banget. Makanya, kalau pakai gamis jangan sampai nyapu lantai gitu. Keinjek jadi jatuh sendiri kan!” sindir Nayla dan langsung menutup pintu kamarnya dengan senyuman sinis yang tentu saja tidak tulus.
Sementara itu, di luar kamarnya Syifa sedang berusaha berdiri dengan bantuan tangan dari Marwah. Beruntung tidak ada yang melihat kejadian saat ini dan Syifa bisa menarik napasnya dengan lega. Bukan karena ia takut akan malu, akan tetapi dia takut justru Nayla yang akan mendapatkan masalah.
“Kakak nggak apa-apa kan?” tanya Marwah dengan lembut.
“Nggak apa-apa, Dek. Kakak memang nggak sengaja keinjek ujung gamis tadi pas keluar,” jawab Syifa mencoba menutupi yang sebenarnya terjadi.
“Iya, Kak. Sekarang kita balik lagi ke aula atau Kakak mau aku antar ke kamar dan liat apa ada kaki yang luka dulu?” tanya Marwah sambil memapah Syifa dengan sekuat tenaganya dan berjalan meninggalkan area depan kamar Nayla itu.
“Kakak masih bisa jalan sendiri, Dek. Nanti malah ditanyai sama orang-orang kalau ke sananya dipapah sama kamu,” jawab Syifa.
“Jadi kita tetap lanjut ke aula lagi, Kak?”
“Iya. Kan pembahasannya belum selesai dan nggak sopan kalau kita pergi begitu aja di tengah pembicaraan tanpa konfirmasi. Bisa malu nanti suami kita, Dek.”
“Benar juga yang Kakak bilang. Kalau gitu, Kakak pelan-pelan aja jalannya. Nggak usah terlalu dipaksain, ya.” Marwah masih mencoba untuk membantu Syifa meski sudah tidak lagi memapahnya.
Hal itu karena Syifa sendiri yang melepaskan diri dari rangkulan Marwah dan tidak ingin menjadi pusat perhatian nantinya. Meski sekarang sudah tidak ada lagi abi Yahya, akan tetapi Ali dan Firman tentu saja akan tetap bertindak tegas jika Nayla melakukan satu kesalahan fatal. Selama ini memang mereka selalu memanjakan adik bungsu kesayangan mereka itu.
Namun, setelah semua yang terjadi saat ini sepertinya Ali dan Firman tidak lagi berpikir untuk tetap dan terus memanjakan Nayla. Syifa dan Marwah tentu lebih tahu bagaimana suami mereka akan bertindak karena mereka sudah mendapatkan informasi tentang hal itu terlebih dahulu semalam. Fimran terutamanya, akan mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang akan Nayla lakukan sebelum pernikahannya dengan Ridho disahkan.
Sementara Ali sebagai abang tertua juga akan mengatur jalannya semua rencana itu agar tetap lancar dan tanpa hambatan. Membuat Nayla dan Ridho resmi menjadi sepasang suami istri yang sah di mata agama. Hal itu karena untuk mengurus semuanya ke pengadilan agama agar bisa menjadi sah juga di mata hukum, masih membutuhkan beberapa waktu lagi.
Sehingga, jalan terakhir yang harus mereka lakukan adalah menikah siri untuk sementara waktu sampai semua persayaratan dan juga segala prosedur pernikahan di pengadilan agama bisa selesai dengan baik dan lancar.
“Jadi, sebenarnya hanya itu yang ingin kami sampaikan, Nak Ali dan Nak Firman. Apabila ada yang kurang dan tidak berkenan, tolong diberitahu saja. Biar sama-sama kita perbaiki dan lengkapi apa yang masih kurang sekiranya,” terang Rendra – ayah kandung Ridho.
“Alhamdulillah. Semua udah sesuai dengan syariat islam, Pak. Kami juga nggak ingin memberatkan pihak Ridho karena memang hal itu tidak diperkenankan dalam agama. Apa yang akan Bapak dan keluarga berikan aja itu udah jauh lebih dari cukup untuk kamu,” sahut Ali dengan suara tegas dan penuh kesopanan.
“Kami hanya takut, nanti disangka mengambil anak gadis bungsu dan kesayangan almarhum Abi Yahya dengan mahar yang terlalu rendah. Sementara semua orang tau bagaimana dan sebesar apa cinta yang selalu tercurah kepada Nayla selama ini.”
“Semua itu nggka akan bisa menjadi tolak ukur untuk kebahagiaan Nayla di masa yang akan datang, Pak. Kami juga akan segera memindahkan tanggung jawab kami dalam mengurus dan mendidik Nayla kepada Ridho setelah ini. Jadi, itu pasti juga bukan lah tugas yang ringan untuk Ridho jalani nanti. Kami berharap, semoga Ridho berkenan membimbing dan menuntun Nayla ke jalan yang Allah ridhoi dengan penuh kesabaran dan juga keikhlasan hatinya.”
Suasana menjadi hening setelah Ali mengatakan semua itu kepada Rendra dan didengar langsung oleh Ridho yang duduk di sampingnya. Ridho hanya mengangguk pasrah dan tidak pernah menyela pembicaraan dua orang itu. Begitu pula dengan Ali yang juga duduk di samping Firman dan mendengarkan semua percakapan penting itu.
Sementara Syifa dan Marwah duduk di kursi yang agak berjarak dari mereka berempat dan menemani ibu serta adik perempuan Ridho yang juga turut datang ke pertemuan itu.
“Bagaimana Ridho?” tanya Rendra kepada putranya dengan lembut.
“Aku Insya Allah siap, Pa. Semoga Allah meringankan segalanya untukku,” jawab Ridho langsung dan membuat semua orang serempak mengucapkan Alhamdulillah.
“Kalau begitu, besok adalah malam pernikahan kalian karena akan bertepatan dengan malam ketiga meninggalnya abi dan seperti yang abi wasiatkan juga. Semoga kamu udah siap lahir dan batin,” ucap Ali lagi dan melempar senyum kepada Ridho dengan tulus.
“Tapi, kami juga ingin mengadakan pesta di kediaman kami, Nak. Apa nggak masalah? Karena sanak saudara dan tetangga juga ingin melihat dan menyaksikan Ridho bersanding. Apalagi, Ridho adalah anak pertama kami dan juga cucu laki-laki satu-satunya dalam keturunan ayahnya,” sela Leni yang tak lain adalah ibu kandung Ridho itu.
Namun, mendadak pertanyaan atau mungkin lebih tepatnya sebuah permintaan dari pihak keluarga Ridho itu membuat Ali dan Firman menegang dan kemudian saling berpandangan. Begitu pula dengan Syifa dan Marwah di meja lainnya.
“Maaf menyela … kalau soal itu akan lebih baik ditanyakan langsung kepada kedua calon pengantin dan bagaimana mereka berdua menanggapi, Pak!” sambar Firman yang jelas tidak mau asal memberikan jawaban karena dia tahu pasti gadis seperti apa sang adik tercinta itu jika sudah tidak suka atau menolak sesuatu untuknya.