Bagaimana Nayla bisa menghadapi tuntutan dari keluarganya yang terus saja mendesak ia untuk bisa menerima perjodohan dengan Ridho? Tidak. Itu bukan lagi perjodohan, karena rencana pernikahan mereka sudah tampak di ujung mata. Bahkan, itu akan terjadi di malam ketiga kepergian Abi Yahya – sesuai dengan wasiat yang almarhum sampaikan sebelum ia meninggal.
Nayla masih tidak bisa tenang di dalam kamarnya dan terus saja berjalan mondar mandir. Nayla kesal karena tidak bisa ke mana-mana saat ini. Kedua abangnya sudah mengurung dirinya agar tidak bisa ke mana pun sekarang. Mungkin, mereka sudah dapat mencium gelagat tidak beres pada sikap Nayla yang memang sempat merencankan kabur dari rumah.
“Kenapa Abi ninggalin wasiat itu, Bi? Kenapa Abi nggak bilang aja kalau Nay boleh menentukan sendiri jalan hidup Nay, Bi!” bisik Nayla dan menatap nanar pada sebuah potret yang tengah tersenyum lebar di dalam ponsel canggihnya itu.
Tiba-tiba saja ponselnya itu berdering dan di sana menampilkan nama sang kekasih yang sangat dicintainya saat ini – Damar. Memang, mereka tidak resmi berpacaran karena Nayla juga takut kepada abi dan kedua abangnya selama ini. Namun, hubungan Nayla dengan Damar sangat dekat dan beberapa kali mereka sudah mencuri waktu untuk pergi bermain bersama.
“Assalamu’alaikum, Damar.” Nayla menyapa dengan suara lesu.
“Wa’alaikumsalam, Nay. Apa aku mengganggu kamu?” tanya Damar setelah menyahut salam dari Nayla.
“Nggak kok, Mar. kamu lagi ngapain?”
“Aku lagi mikirin kamu, Nay ….”
Setelah mengatakan hal itu, terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Perasaan Nayla langsung berubah tidak karuan karena menduga-duga apa yang sedang ada dalam pikiran Damar saat ini. Nayla bahkan bisa menebak bahwa saat ini Damar sudah tahu tentang rencana pernikahan Nayla dengan Ridho yang akan diselenggarakan lusa itu.
“Apa yang kamu pikirkan tentang aku?” tanya Nayla memberanikan dirinya untuk bertanya pada Damar.
“Aku udah dengar kabar tentang rencana pernikahan kamu sama anak pesantren almarhum abi kamu itu, Nay!” ucap Damar dengan suara sendu menahan kesedihannya.
“A-apa maksudnya kamu mau kita nggak dekat lagi?” tanya Nayla dengan nada gugup dan takut.
“Menurut kamu gimana? Apa mungkin aku tetap akan dekat dengan seorang wanita yang akan menjadi istri orang lain? Aku bahkan udah nggak ada harapan lagi buat bisa menjadikan kamu sebagai istri aku di masa depan,” ungkap Damar yang sontak saja membuat Nayla terkejut.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Damar pun sudah punya pikiran panjang untuk hubungan mereka ke depannya. Nayla merasa terharu sekaligus sedih karena memang sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk bisa bersama. Jangan kan untuk tetap bersama, untuk bertemu saja mungkin sudah tidak bisa lagi.
Mana mungkin Ridho akan membiarkan Nayla bertemu dengan pria lain setelah mereka menikah nanti. Apalagi kalau sampai Ridho membawanya pergi jauh dari rumah dan pesantren tempat di mana ia lahir dan dibesarkan selama ini. Membayangkannya saja Nayla sudah merasa tidak sanggup, apalagi kalau semua itu benar-benar terjadi nantinya.
“Aku … aku minta maaf, Mar. Aku juga nggak tau kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku sama sekali nggak cinta sama dia. tapi, Sepertinya dia ngotot banget jadiin aku istrinya,” kata Nayla dengan sedikit menggerutu karena kesal.
“Jadi, gimana perasaan kamu sama dia sekarang dan sebenarnya?” tanya Damar lagi dengan sedikit menuntut dan membuat Nayla merasa sedikit canggung.
“Aku sama sekali nggak cinta sama dia, Mar. Aku bahkan nggak suka sama dia yang sok alim dan pasti dia juga yang udah ngebujuk abi aku buat jodohin aku sama dia. Aku bisa melihat gelagat nggak baik dari dia sejak lama,” jawab Nayla menjelaskan semua itu kepada Damar.
“Aku juga merasa Ridho itu bukan pria yang baik dan tulus, Nay!” kata Damar lagi.
“Kamu tau itu dari mana, Mar?” tanya Nayla heran dan seperti terpancing dengan ucapan Damar itu.
“Aku nggak sengaja pernah dengar dia telponan waktu itu. Mesra banget lagi, Nay. Aku pikir itu sama kamu dan memang kalian saling mencintai makanya abi kamu menjodohkan kalian. Tapi, barusan kamu bilang kalau kamu nggak ada perasaan sama dia, jadi yang dia telpon dengan kata sayang dan mesra itu pasti pacarnya.”
“Kalau dia memang punya pacar, kenapa dia malah terima aja dijodohkan sama aku? Dia harusnya menolak dan bilang kalau dia udah punya pacar!”
“Itu dia sebabnya aku bilang dia sepertinya bukan pria yang baik, Nay. Mungkin …,” ucapan Damar terputus dan membuat Nayla penasaran.
“Mungkin apa, Mar?” tanya Nayla dengan mendesak karena penasaran.
“Mungkin dia punya maksud lain sama kamu, Nay. Atau mungkin sama keluarga kamu!” seru Damar dengan suara yang semakin pelan seperti orang yang sedang berbisik.
“Apa mungkin … dia mau menguasai pondok pesantren ini, ya? Soalnya, aku liat abi sayang dan percaya banget sama dia. Bang Ali dan bang Firman juga sepertinya nggak sungkan percayai semua keputusan dan kebijakan pesantren ke dia,” sambung Nayla yang merasa mungkin saja semua dugaan Damar itu ada benarnya.
“Nah … itu dia maksud aku! Tapi … aku hanya menduga aja sih. Nggak ada maksud buat nuduh dia juga, Nay!” ujar Damar langsung mencari pembelaan pada dirinya sendiri.
Nayla memang menyadari bahwa selama ini Damar adalah pria yang tidak pernah mengatakan hal buruk padanya dan tidak juga pernah mengajaknya melakukan hal yang salah atau sebuah dosa. Mereka memang murni berteman dekat dan beberapa kali pergi makan atau bermain bersama secara diam-diam. Damar memang pernah beberapa kali menggenggam tangan Nayla dan itu saja sudah mampu membuat jantung Nayla berdetak sangat kencang.
Percakapan Nayla dan Damar tidak jauh-jauh dari masalah pernikahan Nayla dengan Ridho. Di mana pada inti pembicaraan itu, mereka memutuskan untuk tetap saling berkomunikasi di belakang semua orang terutama di belakang Ridho saat nanti Nayla sudah sah menjadi istri lelaki itu.
“Aku akan membongkar semua kedok busuknya dan setelah itu aku akan meminta talak cerai sama dia. Apa setelah itu, kamu akan meminang aku, Mar?” tanya Nayla dengan sangat hati-hati karena baru kali ini mereka bicara serius sampai ke tahap pernikahan seperti ini.
“Semua tergantung sama kamu, Nay. Justru aku menunggu keputsanmu. Kalau kamu mau jadi istriku, maka aku akan melamarmu kepada bang Ali atau bang Firman,” jawab Damar dengan nada pasti dan membuat senyuman manis mengambang di sudut bibir Nayla.
“Aku mau, Mar. Kamu tunggu waktu itu tiba, ya. Aku juga nggak akan membiarkan Ridho menyentuhku seperti seharusnya seorang suami,” ucap Nayla lagi dengan suara yang terdengar malu-malu membahas masalah intim seperti itu kepada Damar.
“Kamu harus tepati janji kamu sama aku, Nay. Karena … aku akan menunggu kamu menepati janjimu itu,” kata Damar dengan suara yang penuh harap.
Percakapan selesai setelah mereka saling mengumbar kata sayang yang bahkan selama ini tidak pernah sama sekali terucap dari bibir keduanya. Namun, entah kenapa saat ini semuanya terluahkan dan terjadi saa di mana Nayla akan menjadi istri seorang pria yang dipilihkan oleh abinya sebelum meninggal dunia.
Nayla meletakkan ponselnya dengan perasaan yang bahagia dan tak berhenti tersenyum cerah. Ia tidak sabar lagi waktu itu datang dan ia bisa menjadi istri sah Damar, karena memang sudah sejak lama Nayla menaruh rasa pada lelaki itu.
Tidak berselang lama, suara ketukan pintu terdengar dan membuat Nayla sedikit terkejut. Nayla yang hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos oblong, langsung saja memakai gamis rumahannya dan memakai jilbab instan berwarna hitam yang menutupi hanya sampai batas dadanya saja.
“Iya, tunggu sebentar!” sorak Nayla dari dalam karena mendengar suara ketukan pintu untuk kedua kalinya.
Nayla berjalan gegas dan membuka kunci pintu kamarnya. Di sana sudah berdiri Syifa dan Marwah yang masing-masing memegang satu nampan dengan isi berbeda. Syifa dan Marwah adalah istri dari kedua abang Nayla dan jujur saja Nayla sebenarnya tidak benci pada kedua wanita bercadar itu. Hanya saja, terkadang Nayla masih suka membangkang kalau Syifa atau Marwah memberitahukan hal yang baik kepadanya dan Nayla menganggap bahwa kakak iparnya itu terlalu cerewet.
Ditambah lagi, sejak menikah memang Ali dan Firman lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri dan anak-anaknya ketimbang bercengkrama atau mendengarkan keluh kesah Nayla yang terkadang memang hanya cerita anak remaja biasa.
“Kenapa Kakak Iparku yang cantik dan sholehah ini datang ke sini?” tanya Nayla dengan nada sinis kepada Syifa dan juga Marwah.
“Assalamu’alaikum, Dek. Kakak bawakan ini untuk kamu.” Syifa menjawab dengan nada penuh kesopanan dan lemah lembut.
“Apa itu, Kak?” tanya Nayla penasaran dan mendongakkan kepalanya sedikit berharap bisa mengintip isi dari nampan yang tertutup dengan kain berumbai itu.
“Ini, seserahan dari keluarga Ridho dan ini tanda cinta dari kami untuk kamu sebagai calon pengantin. Bentuk perhatian kecil dan tulus dari kami, Dek. Mohon diterima dengan senang hati, ya.” Syifa menjawab lagi dengan suara yang sangat lembut dan sopan meski ia berbicara dengan adik iparnya yang bar-bar.
“Oh. Ya udah, tarok aja di sana. Nanti aku liat!” kata Nayla dan menunjuk kasurnya kepada Syifa serta Marwah. Hal ini membuat Syifa dan Marwah saling berpandangan dengan heran dan juga sedikit mengernyitkan kening karena jelas sekali ada nada perintah di dalam ucapan Nayla tadi.