“Abi beneran mau jodohin Nayla sama Ridho? Dia kan religious banget, Bi! Kami sama sekali nggak cocok,” ucap Nayla kepada seorang pria tua berjenggot putih di seberang meja makan.
“Ehem ….”
Hanya suara itu yang terdengar dari pria yang Nayla panggil dengan sebutan Abi itu. Seketika, raut ketakutan tampak di wajah gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Siapa yang berani mendebat seorang pria dengan panggilan Abi yang sebenarnya bernama Yahya itu?
“Nayla! Kan udah sering Ami peringatkan, kalau di meja makan jangan banyak bicara dan jangan mengundang perdebatan,” tegur wanita bernama Zulha itu dengan lembut memberikan peringatan kepada anak bungsunya.
“Iya, Mi. Nayla minta maaf.” Nayla berkata dengan kepala tertunduk.
Sementara kedua abangnya juga tidak bisa berkutik saat ini untuk membantu adik bungsu kesayangan mereka. Baik Ali maupun Firman, keduanya hanya diam dan menikmati makan malam mereka saat ini. Tidak ada yang berani membantah ucapan Yahya tadi dan tidak ada yang berani membela atau menyelamatkan Nayla dari perjodohan yang sudah disepakati itu.
Usai makan malam, semuanya masih tampak duduk dan diam di meja makan. Sementara Zulha sudah mulai mengemasi perkakas yang tadi digunakan untuk makan malam. Sehingga, dalam hitungan menit saja meja makan itu sudah kembali dalam keadaan bersih tanpa ada yang tersisa, kecuali segelas air teh yang memang selalu tersedia untuk Yahya.
“Apa ada yang ingin kalian katakan atau tanyakan tentang yang tadi Abi sampaikan?” tanya Yahya dan memindai satu persatu wajah ketiga putra dan putrinya.
Awalnya semua hanya diam. Ali sebagai anak tertua dan sudah menikah, tentu saja dapat mengerti bagaimana kerasnya Yahya. Begitu juga dengan Firman yang juga sudah menikah atas perjodohan yang sudah Yahya lakukan padanya satu tahun lalu. Kedua istri mereka memang tidak datang saat ini karena memang sedang mempunyai bayi.
“Nay menolak perjodohan itu, Bi!” ucap Nayla dengan nada tegas dan berani.
Ali dan Firman menatap adiknya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Memang, Nayla berbeda dengan kedua abangnya itu dan juga berbeda dari orang tuanya. Keluarga mereka adalah keluarga yang terpandang dan disegani di kampung ini. Yahya adalah seorang kyai yang mendirikan pesantren di kampung itu meski tidak sebesar pesantren lainnya di kota besar.
“Nay! Jangan menolak apa yang udah Abi tetapkan,” tegur Ali dengan suara yang sedikit ditekankan.
“Kenapa Abang nggak ada yang mau bantuin Nay? Biasanya Bang Ali dan Bang Firman selalu bela dan bantuin Nay kalau Abi marah atau Nay dapat masalah. Sekarang kenapa nggak ada yang mau bantuin Nay?” tanya Nayla dengan suara tinggi.
“Nayla! Jaga nada bicara kamu di depan Abi!” bentak Firman pula memberikan peringatan kepada adiknya yang memang sedikit bar-bar itu.
“Ini hidup Nay dan lagi pula Nayla masih umur dua puluh satu tahun, Bang. Masa udah mikirin nikah! Nay mau menikmati masa muda dulu. nanti kalau udah nikah bakalan ngurus suami dan anak kayak kak Syifa dan kak Marwah tuh.”
“Jadi, kamu menolak perintah Abi?” tanya Yahya kembali membuka suaranya dan langsung membuat keadaan menjadi hening seketika. Tidak ada yang pernah berani membantah dan melawan Yahya selama ini.
Hanya Nayla satu-satunya yang berani melakukan semua itu. Nayla ada seorang kyai dan ustadzah. Adik dari dua orang laki-laki yang berilmu agama tinggi di kampung ini. Bahkan, keluarga mereka semua adalah orang yang selalu mementingkan menjaga aurat. Namun, berbeda dengan Nayla yang sejak kecil memang sudah tomboy.
Ia selalu bermain dengan anak laki-laki meski pun Yahya dan Zulha sudah sering memperingati dan memberikan pengertian kepadanya. Bahkan, saat diberikan hukuman kurung di dalam kamar tanpa makan dan minum pun, entah bagaimana caranya Nayla tetap bisa kabur dari dalam kamarnya tanpa sepengetahuan Yahya dan Zulha yang selalu memantaunya tiap saat.
“Nay, setuju aja. Demi kebaikan kamu juga. Usia di atas delapan belas tahun udah bisa nikah kok. Sah di agama dan hukum,” saran Ali kepada sang adik dengan penuh kesabaran.
“Iya, Nay. Lagi pula, Ridho itu anak yang baik dan taat agama. Dia pasti bisa membimbing kamu dengan baik,” ucap Firman pula membenarkan kalimat Ali tadi.
“Nggak! Nay nggak mau!” tolak Nayla lagi lalu memandang kepada Yahya dengan tatapan memohon belas kasih.
“Bi, Nay nggak mau nikah. Nay masih mau melajang dan bebas sampai Nay siap untuk nikah!” rengek Nayla kepada Yahya dengan menahan air matanya.
“Abi udah capek banget ngajarin dan bimbing kamu soal agama, sikap, dan perilaku, Nay. Tapi, selama ini kamu nggak pernah mau nurut sama Abi dan Ami. Apalagi sama kedua abangmu ini yang memang selalu memanjakan kamu! Itu sebabnya Abi memutuskan untuk menikahkan kamu aja sama Ridho. Mungkin, setelah menjadi seorang istri bisa membuat kamu perlahan berubah dan mengerti semua yang udah Abi, Ami, dan kedua abangmu ini ajarkan selama ini,” ungkap Yayha panjang lebar kepada Nayla.
“Nay janji akan berubah, Bi. Nay janji akan mengikuti semua yang Abi dan Ami ucapkan. Nay akan pakai niqob seperti Ami, kak Syifa, dan kak Marwah. Nayla janji, Bi!” rengek Nayla lagi yang sudah menangis di depan Yahya dan kedua abangnya itu.
Saat itu juga hati Zulha merasa sedih karena memang sepertinya Nayla masih terlalu dini untuk dinikahkan. Namun, semua sudah melalui pertimbangan yang panjang dan juga pemikiran yang luas. Mereka hanya bisa melakukan itu untuk menjaga Nayla agar tidak semakin menjadi anak yang terlalu bebas dalam bergaul.
Temannya yang lebih banyak pria di luar kampung membuat Yahya dan Zulha terus dilanda ketakutan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada anak perempuan mereka satu-satunya itu. Jadi, mereka berpikir bahwa pernikahan adalah jalan yang tepat untuk menyelamatkan Nayla dari pergaulan bebasnya dan juga menyelamatkan nama baik keluarga besar mereka saat ini.
“Abi udah sering dengar janji kamu yang seperti itu, Nay! Tapi, nyatanya kamu selalu membuat Abi dan Ami kecewa. Kamu nggak bisa menepati janjimu, dan kamu berkhianat dengan hal yang kami percayakan padamu,” jelas Yahya dengan suara yang datar, akan tetapi terdengar sangat menakutkan.
“Sekali ini aja lagi, Bi. Nay janji benar-benar akan berubah dan nggak akan keluyuran lagi sama teman-teman Nay itu. Asal Abi nggak jadi nikahin Nay sama si Ridho itu. Nay sama sekali nggak cinta sama dia, Bi!”
“Cinta bisa datang dengan sendirinya nanti setelah kalian membina rumah tangga. Cinta yang dimulai setelah pernikahan, itu akan lebih erat dan bertahan lama. Contohnya Abi dan Ami.”
“Udah beda zaman, Abi … jangan Abi samakan, dong. Terus kalau dulunya nabi ke mana mana naik unta, apa sekarang Abi juga mau naik unta ke mana-mana? Zaman itu terus maju dan berubah, Bi. Jangan disamakan,” celoteh Nayla lagi yang tidak sadar hal itu sudah membuat Yahya semakin murka.
Ali dan Firman sudah benar-benar merasa pasrah atas apa yang akan terjadi pada Nayla setelah ini. Nayla memang sudah sangat keterlaluan dan tidak sopan sama sekali bicara kepada Yahya. Mereka tidak tahu sebesar apa kemarahan yang akan Yahya keluarkan kepada anak perempuanya itu.
Sementara itu, Zulha sudah memijit keningnya dengan frustasi karena memang seperti itu lah selalu Nayla jika sedang berdebat dan tidak setuju dengan pendapat siapapun di rumah ini, termasuk orang tuanya sendiri. Ia bahkan pernah melawan Yahya dengan berteriak histeris karena Yahya menghancurkan ponselnya yang banyak berisi game online.
“Zaman memang boleh berubah, Nak! Tapi, budi pekerti, iman, taqwa, dan juga ketaatan kita pada Allah jangan sampai ikut berubah. Bahkan, harus lebih kuat dari orang-orang terdahulu hendaknya,” jelas Yahya memberikan ceramah singkat pada Nayla.
“Abi kok malah ceramah di saat yang nggak tepat sih? Sekarang kita bahas tentang pernikahannya aja, oke?”
“Oke. Abi udah menentukan tanggalnya dengan kedua orang tua Ridho. Mereka udah sepakat itu akan dilakukan tiga hari menjelang masuk puasa Ramadhan. Yang mana itu artinya, waktu yang tersisa hanya tinggal satu minggu lagi,” ungkap Yahya kepada Nayla dengan suara datar dan tidak terdengar emosi sedikit pun.
“Abi! Bukan itu maksud Nay, Bi. Kita harus membahas tentang pembatalan pernikahannya,” teriak Nayla dengan penuh frustasi.
Mungkin, suaranya juga bisa didengar oleh orang-orang yang ada di luar rumah mereka saat ini. Maklum saja, rumah mereka memang terletak di dalam lingkungan pesantren yang didirikan oleh Yahya dua puluh tahun lalu. Di sini semua orang yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agamanya diterima dengan tangan terbuka.
Calon suami Nayla yang bernama RIdho itu adalah salah satu murid terbaik pilihan Yahya dan ia merasa Ridho bisa sangat sabar dan cocok dalam membimbing Nayla kelak. Ditambah lagi, saat Yahya mempertanyakan hal itu pada Ridho pun, pria itu tidak menolaknya sama sekali. Hingga sudah diatur dan terjadi lah pertemuan kedua belah pihak sehari yang lalu tanpa sepengetahuan Nayla tentu saja.
Yang mana saat itu, Zulha dan Yahya juga tidak tahu Nayla sedang berkeliaran ke mana karena Ali dan Firman tidak dapat menemukannya di sekitar pesantren dan lingkungan kampung. Jadi, mereka berpikir bahwa Nayla pasti sedang pergi ke kampung sebelah untuk bermain lagi dengan teman-temannya itu.
“Keputusan udah dibuat dan itu udah mutlak. Jangan menolak karena Abi nggak minta ditolak. Hanya ikuti dan turuti aja semuanya. Kalau kamu masih sayang pada Abi dan Ami mu yang udah tua dan mungkin umur kami nggak akan lama lagi ini,” terang Yahya dan beranjak dari tempat duduknya setelah meminum setengguk lagi teh yang sejak tadi menunggunya untuk dinikmati.
Melihat suaminya berdiri, Zulha pun ikut berdiri dan memapah Yahya kembali ke dalam kamar. Memang seperti itu lah keadaan Yahya saat ini. Usianya sudah sangat tua dan ia sudah mulai sakit-sakitan. Itu sebabnya, sebelum ia meninggal ingin sekali rasanya ia menyaksikan anak perempuan satu-satunya itu menikah dengan orang yang menurutnya sangat tepat menjadi imam Nayla.
“Nay, terima aja. Nggak ada salahnya kalau kamu nerima pernikahan itu. Toh, Ridho dari keluarga baik-baik. Dia tampan, keluarganya kaya, dan agamanya baik. Itu termasuk beberapa syarat dalam memilih jodoh,” jelas Ali lagi berusaha membujuk Nayla.
“Nay nggak bisa, Bang. Nay akan menolak terus sampai pernikahan itu dibatalkan.”
“Jangan membuat Abi dan Ami malu, Nay. Pikirkan nama baik Abi dan pesantren yang udah dibangun dan dibesarkan Abi selama ini.”
“Tapi … Nay benar-benar nggak bisa, Bang! Nay akan membuat mereka menolak Nay tanpa harus membuat keluarga kita malu,” ujar Nayla seperti sedang memikirkan rencana besar untuk semua hal itu.