“Bi … apa nggak sebaiknya dipikirkan lagi tentang pernikahan Nayla sama Ridho itu, Bi?” tanya Zulha saat mereka akan bersiap untuk tidur malam itu.
“Apa lagi yang harus dipikirkan, Mi? Semuanya udah sepakat dan udah setuju. Ridho juga nggak menolak sama sekali saat Abi tanya kesiapannya menikahi Nayla.” Yahya menjawab dengan suara yang berat.
“Mungkin, karena Ridho merasa sungkan dan nggak enak sama Abi kalau dia menolak permintaaan Abi.”
“Abi ini udah nggak muda kayak dulu lagi, Mi. Abi udah sering sakit-sakitan. Kalau Abi pergi nanti, siapa yang akan membimbing Nayla? Kita semua udah menyerah dengan sikap Nayla selama ini. Itu sebabnya Abi pikir Nayla butuh seorang imam yang sholeh untuk membimbingnya menjadi lebih baik lagi,” ungkap Yahya dengan penuh rasa haru.
“Masih ada Ami, Bi. Ali dan Firman beserta dua menantu kita, semuanya sayang pada Nayla. Lagi pula, Ami yakin kalau Abi akan berumur panjang. Jadi, jangan berpikir seperti itu lagi,” sahut Zulha yang jelas tidak suka mendengar suaminya membahas perilah kematian.
“Nayla menjadi manja, pembangkang, dan juga bersikap tidak seperti seharusnya gadis Muslimah bersikap itu karena menerima banyak sekali cinta dan pembelaan sejak ia kecil. Salah Abi juga terlalu memanjakannya karena merasa terlalu senang punya anak perempuan. Abi pikir, Nayla bisa menjadi anak perempuan sholehah seperti yang Abi harapkan.”
“Bi … hidup memang nggak pernah berjalan seperti apa yang kita inginkan. Tapi, Allah akan memberikan kita apa yang kita butuhkan. Dan, nggak semua anak itu sifat serta wataknya akan sama. Abi tentu lebih tau tentang semua itu.”
“Abi tau, Mi. Tapi, sekarang Abi nggak bisa percaya pada pria mana pun selain Ridho untuk mendampingi Nayla.”
Ucapan Yahya sudah tidak lagi bisa dibantah oleh Zulha. Zulha sudah berusah membujuk suaminya untuk kembali mempertimbangkan keputusannya yang memang sangat mendadak itu. Namun, Zulha juga paham bahwa semua sudah tidak bisa lagi dirubah.
Kesepakatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga. Tidak etis rasanya jika kemudian Yahya membatalkan rencana pernikahan Nayla dengan Ridho secara sepihak.
Padahal, sejak awal memang Yahya sendiri yang meminta kesediaan Ridho untuk menikahi Nayla – putrinya yang memang terkenal sangat berbeda dengan anak-anak Yahya yang dua lainnya.
Malam itu, Yahya ternyata tidak bisa tidur sama sekali. Zulha sudah tertidur lelap di sampingnya, dan Yayha masih menatap langit-langit kamar itu. Kemudian, ia memutuskan untuk turun dari ranjang dan mengambil sebuah pulpen beserta kertas putih yang kosong dan panjang.
Perlahan, jari jemari Yahya bergerak indah mengukir tulisan di atas kertas putih itu dengan tinta hitam. Entah apa yang lelaki tua itu sedang tuliskan di sana. Yang jelas, Yahya seperti sedang menuliskan sebuah pesan wasiat yang penting di atas kertas itu.
Semua itu berlangsung hingga Yahya selesai menulisnya dan menerbitkan senyuman cerah seperti puas atas apa yang baru saja ditulisnya di atas kertas itu. Lalu, Yahya merasa tidak sanggup lagi menahan kantuknya dan kemudian tertidur dengan posisi kepala bersandar di atas meja kerja yang biasanya ia pakai itu. Yahya tertidur dengan masih memegang pulpen hitam dan ukiran senyum yang indah di sudut bibirnya yang tampak sudah penuh dengan kerutan.
“Nayla … Nayla … cepat bangun, Nak. Bangun!” teriak Zulha di luar kamar Nayla pada subuh itu.
Nayla yang memang sudah terbangun untuk melakukan shalat shubuh, langsung menuju pintu kamar dan membuka kuncinya. Ia terkejut melihat Zulha berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah sembab dan air mata yang tak berhenti mengalir. Zulha bahkan masih mengenakan mukenanya saat ini.
“Ami! Kenapa? Ada apa?” tanya Nayla yang juga merasa panik melihat keadaan Zulha saat ini.
“Cepat pergi ke rumah abangmu, Ali dan Firman. Suruh mereka datang ke sini sekarang. cepat, Nak!” titah Zulha tanpa menjawab pertanyaan Nayla.
“Iya, Mi. Tapi ada apa ini?” tanya Nayla yang jelas saja masih merasa penasaran.
“Pergilah dulu, Nak. Nanti kita akan tau semuanya,” jawab Zulha dengan berusaha tegar di depan Nayla.
Nayla akhirnya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menuruti semua perintah Zulha padanya. Ia kemudian keluar dari dalam kamar itu dengan tetap mengenakan mukena putih yang bersih itu. Meski pun Nayla memang terkesan tomboy dan sifatnya bisa dikatakan bar-bar. Namun, Nayla tetap berusaha menjalan ibadah shalat lima waktunya. Setidaknya, itu saja lah ibadah yang bisa ia lakukan saat ini.
Karena untuk belajar agama dan mengaji seperti para santri yang ada di pondok pesantren Yahya itu, Nayla masih tidak pernah hadir dan memilih untuk bermain atau berkeliaran ke kampung sebelah. Tidak jarang, Nayla malah sampai ke kota bersama teman-temannya hanya untuk sekedar membeli pakaian dan barang-barang lainnya.
Nayla berjalan menyusuri lapangan pesantren karena rumah Ali dan Firman masih berada di dalam lingkungan pesantren itu juga. Bahkan, rumah kedua abangnya itu bersebelahan sehingga Nayla tidak susah payah memanggil mereka satu persatu.
“Assalamu’alaikum, Bang Ali. Bang Firman!” ucap Nayla dan memanggil nama kedua abangnya itu bergantian.
“Wa’alaikumsalam. Nayla? Tumben ke sini shubuh begini, Dek? Ada apa, Dek?” tanya Syifa istri Ali yang membukakan pintu dan terkejut dengan kehadiran Nayla di depan rumah mereka.
“Ami suruh abang datang ke rumah sekarang.” Nayla menjawab dengan singkat dan melirik ke dalam rumah abangnya itu.
Tampak Ali baru saja datang dari arah kamar mandi karena baru saja usai wudhu. Syifa saja menyambut kedatangan Nayla tak lupa memakai cadarnya. Padahal, mereka sesama wanita.
“Gimana nanti kalau aku nikah sama Ridho itu? Pasti dia akan suruh aku bercadar juga kayak ni mba Syifa. Ogah banget deh rasanya. Panas!” bathin Nayla yang masih memperhatikan penampilan Syifa.
Syifa tentu saja peka dengan sikap Nayla itu karena memang sejak awal Nayla tidak pernah suka dengan kehadirannya dalam hidup Ali. Nayla bahkan pernah berkata kasar kepada Syifa dengan ucapan yang seperti seorang wanita tersakiti. Semua itu hanya karena Nayla merasa Syifa sudah merebut perhatian dan kasih sayang yang biasa Ali curahkan hanya untuk dirinya.
Beruntung Syifa memiliki stok kesabaran yang luas dalam menghadapi dan gadis seperti Nayla. Meski begitu, tetap saja hal itu tidak pernah berubah sampai sekarang. Terdengar dari jawaban Nayla yang ketus kepada Syifa tadi.
“Ada apa, Nay?” tanya Ali menghampiri dan Syifa langsung mundur ke belakang suaminya.
“Bang … Ami suruh Abang dan Bang Firman ke rumah sekarang. Buruan Bang! Ami nangis-nangis.” Nayla jelas mengubah sikapnya menjadi manja kepada Ali. Ia bahkan menggamit lengan Ali dan merengek manja mengatakan semua itu kepada sang abang.
Di balik cadarnya, Syifa hanya tersenyum lucu melihat tingkah Nayla itu. Bagaimanapun, Syifa tidak sedikit pun merasa cemburu pada gadis manja itu. Selain dia adalah adik bungsu Ali, Nayla juga sudah dianggap Syifa sebagai adiknya sendiri sejak dirinya menjadi istri Ali dan menantu dalam keluarga Yahya.
“Baik. Mungkin ini masalah kesehatannya Abi,” sahut Ali dan langsung mengelus punggung Nayla.
Mereka kemudian mengulang memanggil Firman sampai pria itu keluar dari dalam rumahnya dalam keadaan wajah yang juga basah dengan air wudhu. Firman tampak heran dengan kedatangan Nayla ke depan pintu rumahnya. Tentu saja hal itu adalah hal yang langka karena terjadi di subuh hari seperti saat sekarang ini.
“Wah … udah pada rame aja nih. Siap-siap shalat berjamaah di mushalla, ya? Abang baru aja mau pergi adzan ke mushalla,” seru Firman yang memang tidak mendengar dan tahu tentang semua kejadian di luar rumahnya sejak tadi.
“Kita ke rumah Abi dulu, Man. Ami nyuruh Nayla datang buat manggil kita. Nayla bilang, Ami nangis-nangis,” ujar Ali mewakili Nayla menyampaikan hal penting itu lagi.
“Abi? Pasti terjadi sesuatu dengan Abi. Kalau gitu, ayo sekarang kita ke sana, Bang!” Firman berkata dengan panik.
Setelah berpamitan kepada istri mereka masing-masing, Ali dan Firman segera berjalan ke rumah orang tuanya dengan menengahi Nayla yang berjalan susah payah mengikuti langkah kaki kedua abangnya yang besar itu. Nayla mulai merasa tidak nyaman karena kedua abangnya langsung saja berpikir semua ini tentang abi mereka.
Padahal, jelas sekali bahwa abi mereka masih terlihat sehat dan baik-baik saja saat makan malam bersama tadi malam. Bahkan, abi mereka itu masih sempatnya membicarakan tentang perjodohan yang sudah ia lakukan untuk Nayla dengan Ridho.
Langkah kaki mereka semakin terasa kencang saat sudah memasuki pelataran rumah Yahya dan Zulha. Ali dan Firman langsung menuju ke kamar kedua orang tuanya dan melihat di sana Zulha sedang duduk mendampingi Yahya yang masih tampak tidur dengan menyandarkan kepalanya di atas meja kerjanya.
Nayla datang menyusul setelah membuka mukenanya dan meletakkannya sembarangan. Nayla merasa risih berjalan dan memakai kain itu berlama-lama. Memakai jilbab saja, ia selalu mengikatnya ke belakang sehingga bagian dadanya tampak dengan sangat jelas.
Zula memegangi tubuh Yahya seperti sedang menahan atau mungkin memeluk tubuh pria itu. Ketika menyadari bahwa ketiga anaknya sudah berada di dalam kamar itu. Zulha tersenyum sambil menitikkan air matanya.
“Bi … anak-anak udah datang semua.” Zulha berkata dengan lembut meski tidak ada jawaban dari Yahya.
Ali, Firman, dan Nayla datang mendekat ke sisi Zulha dan Yahya. Saat itu juga Zulha berkata. “Innalillahi wainnaillahi roji’un. Abi udah istirahat dengan tenang. Jangan berisik, nanti Abi marah tidurnya terganggu.”
Ali dan Firman langsung serempak mengucapkan kalimat duka itu dengan langsung bersedih. Namun, hal itu tidak berlaku pada Nayla yang sepertinya tidak terima dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Zulha itu.
Ia mengernyitkan keningnya dengan heran. “Ami! Jangan becanda keterlaluan seperti ini!” teriak Nayla tidak terima.
“Nay … sabar, Dek. Abi udah berpulang dan kita akan segera mengurus pemakamannya segera.” Ali berusaha memeluk tubuh Nayla yang tampak bergetar hebat saat ini.
Nayla menepis tangan Ali dan langsung menghampiri tubuh pria tua yang selalu mereka panggil dengan sebutan Abi itu. Nayla mengguncang tubuh Yahya dengan sangat hebatnya hingga Zulha tidak kuasa menahannya lagi. Ali dan Firman akhirnya membantu menahan tubuh Yahya dan bahkan kemudian mereka mengangkat tubuh tak bernyawa itu ke atas ranjang.
“Nggak! Abi nggak boleh pergi ninggalin Nay kayak gini! Abi nggak boleh setega ini sama Nay, Bi. Bangun, Bi. Ini prank doang kan, Bi? Supaya Nay mau terima perjodohan itu kan, Bi?” cecar Nayla yang kini bersimpuh di lantai sambil mengguncang tubuh Yahya yang tidak terlalu tinggi dari simpuhannya.
“Nay. Ikhlaskan Abi, Nak. Abi udah pergi ninggalin kita,” ucap Zulha dan merengkuh tubuh rapuh putrinya itu dengan linangan air mata.
“Nggak, Mi. Abi nggak boleh pergi kayak gini. Mungkin Abi tau kalau Nay akan kabur abis subuh ini, jadi Abi bikin rencana kek gini supaya Nay nggak jadi pergi.”
“Iya kan, Bi? Ayo bangun, Bi. Nay janji nggak akan kabur, Bi. Nay janji nggak akan ninggalin Abi sampai kapan pun. Abi mau Nay nikah sama jodoh pilihan Abi itu kan? Oke, Bi. Nay akan nikah sama dia sesuai keinginan Abi. Tapi, sekarang Abi bangun dulu, Bi. Bangun, Bi …,” rengek Nayla diiringi isak dan tangisnya.
Ali dan Firman tak kuasa menahan air matanya menahan semua ocehan Nayla kepada Yahya yang jelas sudah tidak lagi dapat mendengar semua janji yang diucapkan Nayla untuknya. Semuanya sudah tidak lagi berguna saat ini karena Yahya sudah pergi sebelum ia melihat Nayla menikah dengan pria pilihannya itu.
Bruukk ….
Tubuh Nayla ambruk ke lantai saat Zulha tidak terlalu kuat memegangi tubuh putrinya itu karena sedang megusap air matanya sendiri. Nayla terlalu syok dengan kepergian Yahya, hingga membuat tubuh dan emosinya sangat terguncang hebat.
“Man, pergi lah adzan ke mushalla dan sampaikan kabar duka ini. Aku akan menunggui Ami dan Nayla di sini dulu,” titah Ali kepada adiknya itu.
“Baik, Bang.” Firman menjawab patuh dan segera meninggalkan keluarganya dengan langkah gonti menuju ke mushalla tempat mereka biasa beribadah dan berjamaah bersama dengan para santri dan santriwati.