Satu: Genius Boy

1489 Kata
Hari senin, selalu menjadi momok menakutkan bagi para murid sekolah. Termasuk murid Dream High School. Walaupun terkenal sebagai salah satu sekolah swasta terbaik di Jakarta, tak serta merta membuat murid di dalamnya ikut rajin. Seperti kali ini, bel sudah berbunyi sejak tadi tapi upacara belum juga dimulai. Penyebabnya tentu saja para murid yang masih riuh sana-sini. Pengurus OSIS dan anggota FPSH –Forum Pelajar Sadar Hukum- yang bertugas mengatur barisan dibuat kewalahan sendiri oleh tingkah laku teman-teman mereka. Namun, tak seperti yang lain, kali ini kelas 11 Ips 3 nampak sudah lebih tenang. Beberapa dari mereka hanya saling berbisik, dengan posisi badan sudah tegap. Penyebabnya tentu saja anggota OSIS yang bertugas menjaga barisan mereka hari ini. Alwan Navindra. Cowok paling galak,dingin sekaligus bermulut pedas. Jika kalian beranggapan semua murid teladan pasti ramah, ucapkan selamat tinggal penilaian kalian ketika berhadapan dengan Alwan. Sebab cowok itu takkan segan-segan menegur dengan mulut tajamnya. “Ngapain nengok belakang? Tiang bendera ada di depan. Berisik banget kayak ayam kehilangan induk.” Ucapan Alwan, sukses membuat murid 11 Ips 3 kembali fokus ke depan. Bahkan murid lelaki dari kelas itu cuman bisa mengumpat pelan, karena diejek seperti itu. Dari sekian banyak murid 11 Ips 3 yang merutuki kehadiran pemuda itu, hanya ada satu orang yang mengernyit heran. “Emang siapa sih Rik?” Erik, ketua kelas 11 Ips 3 menoleh singkat ke arah teman sekelasnya itu. Posisi berbaris yang berada tepat di tengah-tengah, sedikit membuat mereka terhalang dari pandangan Alwan. Cowok itu nampak membulatkan matanya, menatap tak percaya. “Lo nggak kenal dia, Ci? Demi apa?” tanya Erik tak habis pikir, menatap Ochi yang kini mengerjap-ngerjap bingung. “Bukannya kalau anak cheers otomatis kenal semua orang di sekolah ya?” “Gue anggota cheerleader bukan petugas sensus.” Ochi berdecak malas. Ia melirik singkat cowok yang ada di belakangnya. “Seriusan deh siapa sih? Nggak suka gue, sikapnya otoriter banget deh. Ketos bukan, ketua FPSH juga bukan.” “Jangan salah, Ci. Dia termasuk yang ditakutin kalau ada razia selain si Altair. Mulutnya pedes, udah itu galak banget anjir. Biasanya juga dia jaga di barisan kelas 12, makanya pada kaget dia jaga disini. Belum la-“ “Upacara tuh tenang, bukan ngegosip.” Mulut Erik seketika bungkam, kembali berdiri tegap di barisannya. Ia melirik ke belakang, mendapati Alwan yang sudah menatapnya dengan tatapan tajam. Erik menarik senyum tipis, sebelum menatap ke depan. “Tuh kan. Jangan sampai berurusan sama dia deh.” Ochi menaikkan sebelas alisnya tak lagi angkat bicara. Dia mencibir pelan, menilai tingkah teman-temannya terlalu alay. Dia melirik ke belakang, mendapati cowok itu sedang mengisi sesuatu di kertas penilaian. Cih, ngapain juga Ochi berurusan sama dia. *** “Buset dah Wan. Berhenti dulu kenapa, makan dulu gitu.” Dua sahabat karib Alwan, sama-sama mengelus d**a capek melihat Alwan yang kini larut membaca sesuatu di kertas yang baru saja diberikan pembinanya tadi. Bahkan mie kuah yang dipesan cowok jenius itu, sudah mengembang dan menyisakan sedikit kuah di sana. “Bentar, dikit lagi.” Nindi dan Bagas saling melirik, lantas menarik senyum tipis. Alwan tuh suka kebiasaan kalau fokus sesuatu, pasti semuanya dilupain termasuk makan. Makanya gak heran Nindi, sebagai satu-satunya cewek di lingkaran persahabatan mereka selalu bertindak seperti emak-emak. Dengan cepat, Nindi menarik kertas tersebut dari tangan Alwan yang langsung dihadiahi tatapan kesal dari sahabatnya. “Ngapain sih Nin? Itu proposal seleksi untuk lomba yang mau diikutin debat woy!” “Udah, mending lo makan dulu. Selow dikit kenapa sih, lo tuh ketua klub doang bukan pegawai yang lagi kejar setoran.” Bagas berkomentar sebal, mendorong mangkuk mie Alwan ke hadapan pemiliknya. “Liat noh mie lo udah ngembang. Secintanya gue sama mie, liat punya lo tetep aja selera makan gue hilang.” Alwan berdecih,kini menarik mangkuknya mendekat. Ia mulai melahap makanannya, dengan raut wajah kesal menerima kembali lembaran kertas miliknya dari tangan Nindi. “Gue banyak kerjaan, jadi gak usah ganggu bisa?” “Kerjaan apa sih lo? Baru beberapa minggu loh serah terima jabatan, keren amat debat udah sesibuk ini.” Kini Nindi balas berkomentar, menatap Alwan tak habis pikir. “Nih inget ya, lo tuh tetep anak SMA. Bersikap kayak gitu dong, jangan kaku kayak kanebo kering. Cari pacar sana.” “Mohon maaf ya, Nin. Lo mau gue bawain kaca?” tanya Bagas melirik Nindi penuh tatapan mengejek. “Kalau lo lupa, disini yang pacaran cuman gue. Lo gak berhak ngeledek Alwan kayak gitu, karena yang berhak cuman gue.” “Pacaran macam apa, tapi yang berjuang cuman satu pihak?” komentar Alwan dengan pedasnya. Dengan cepat ia berkelit, ketika Bagas sudah maju hendak memukulnya. “Jangan marah dong, fakta itu.” “Oh iya,” ucap Nindi seraya menjentikkan jarinya. Sorot matanya berubah menjadi lebih antusias, kalau sudah seperti ini Bagas dan Alwan sudah tau penyebabnya. Nindi mulai memasuki waktu indonesia bagian gibah. Bukan rahasia lagi, kalau sahabatnya itu termasuk biang gosip sekolah. “Denger-denger anak kelas 12 ada yang cekcok rebutan cewek tau, sampe baku hantam.” Nindi bercerita penuh semangat, matanya sedikit melebar antusias menceritakan gosip yang entah darimana ia dapatkan. “Mau tau gak siapa?” “Enggak,”sahut Bagas dan Alwan kompak. Sementara itu Alwan kembali melahap mienya, sesekali mengoreksi kembali proposal yang harus ia serahkan pada Raven, sang ketos sepulang sekolah nanti. “Maaf, boleh minta kecapnya gak?” Mendengar suara yang seolah tertuju padanya, membuat Alwan jadi menoleh. Dia mengerutkan dahi, mendapati seorang perempuan yang sudah menunjuk botol kecap yang ada di mejanya. “Kecap di meja ini habis, boleh minta?” “Hm,” gumam Alwan menyerahkan botol kecap tersebut tanpa ekspresi. Kembali fokus pada kegiatannya. Awalnya dia makan dengan tenang, sampai meja samping yang tadinya sepi karena hanya ada perempuan tadi mendadak riuh karena di datangi segerombolan murid perempuan. Sesaat Alwan tak bisa menahan diri untuk tak memberi tatapan sinis pada keributan yang ada di dekatnya. Merasa terganggu, apalagi ketika ia mengenali murid perempuan disana adalah para anggota cheers sekolah. Bidadari sekolah yang justru menurut Alwan hanyalah perkumpulan para penggosip. “Duh Ci? Kok lo makan berat sih? Kita kan lagi jadwal diet, kemarin kita udah kesusahan yang ngangkat lo pas gerakan.” Perkataan yang diucapkan dengan kencang itu, sukses membuat Alwan, Bagas dan Nindi jadi menoleh. Bukan hanya mereka bertiga, beberapa murid yang berjarak tak jauh dari kursi yang diduduki para anggota cheers ikut menoleh. Sementara itu, perempuan yang dipanggil Ochi itu nampak menghentikan kunyahannya. Sesaat ia hanya terdiam, sebelum kemudian menunjukkan senyum lebar. “Hehehe, gue laper soalnya.” Alwan mendengus mendengarnya, menyesali kenapa dia sempat tertarik akan pembicaraan anak cheers di sampingnya. Ia kembali fokus pada kertas-kertasnya, hingga suatu cibiran pelan terdengar olehnya. Membuatnya jadi menghentikan kunyahan lantas mengernyitkan dahi. “Pantes jadi paling gendut dibanding anak cheers, rakus sih.” Bentar, seseorang tolong kasih tau Alwan sejak kapan cewek kurus kayak gitu disebut gendut? *** “Kelar ya, udah dapat persetujuan.” Alwan terdiam sesaat, menatap antara Raven dan proposalnya secara bergantian. “Secepat itu? Lo gak mau periksa dulu, ada yang kurang atau enggak?” tanya Alwan tak mengira akan mendapat tanda tangan persetujuan dari sang ketos secepat ini. Dia tau Raven memang berbeda dari ketos lain, tapi masa segininya sih? “Enggak, gue percaya kok. Lo kan orangnya perfeksionis gak mungkin ada yang ketinggalan.” Raven tertawa renyah, menepuk pundak ketua klub debat tersebut. “Sekretaris lo, si Dinda sampai curhat ke gue kalau lo sering nyuruh revisi.” “Yaudah, pokoknya seleksi nanti penilaiannya di auditorium. Jadi semua murid harus nonton dan kasih penilaian, habis-“ “Wan.” Raven bersandar pada dinding di belakangnya, terkekeh pelan. “Gue paham kok.” Alwan menarik senyum tipis, mengangguk singkat. “Yaudah, gue balik kalau gitu. Pamit, pak ketos.” Setelahnya Alwan balik badan, sedikit mengangguk singkat ketika berpapasan dengan seorang adik kelas. Melihat Raven menunggu di bangunan yang ada roof topnya, membuat dia yakin ketosnya itu pasti melakukan kegiatan rutinnya. Apalagi kalau bukan menjadi pendengar untuk orang lain. Ckck. BUGH Ketika Alwan melewati toilet, tiba-tiba saja ia bertabrakan dengan seorang perempuan. Sesaat dia berdecak, apalagi ketika pelaku yang menabraknya justru tetap berjalan pergi. Tanpa berniat mengucap maaf. “Heh.” Alwan memanggil dengan cukup kencang, sukses membuat perempuan yang menabraknya menoleh. “Songong banget lo, main kabur aja. Minta maaf setidaknya.” Perempuan yang berjarak beberapa langkah darinya tetap menunduk, namun tangan kanannya yang semula menutup mulut dengan sapu tangan mulai turun. Dengan pelan, ia mendongakkan kepalanya menatap langsung tatapan Alwan tepat di mata. Wajahnya sedikit pucat, padahal Alwan ingat betul sebelumnya ia melihat perempuan dihadapannya baik-baik saja. Dia, anggota cheers yang jadi bahan ledekkan saat istirahat tadi. Namun, bukan itu yang membuatnya bungkam mendadak. Sialnya, tatapan mata secara langsung tadi berhasil membuatnya seolah tertarik ke belakang. Bersamaan dengan penglihatannya yang mulai kabur dan berganti cepat ke pemandangan lain. Dia tertarik ke masa lalu anak cheers ini. Sesaat dia merutuki kemampuannya yang muncul secara mendadak, sampai suatu pemandangan sukses membuat Alwan terdiam. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN