Aku adalah sebuah kegagalan. Ketika orang-orang mengatakan bahwa hidup tidak adil. Hidup itu keras. Aku sadar bahwa dalam kasusku, akulah satu-satunya kesalahan yang ada. Hidup itu tidak adil untuk semua orang—dan hal itu sendiri yang justru membawa kehadiran—seragam. Hidup itu keras, menguji sampai mana kau dapat tahan. Menertawakan diri sendiri kalau yang terjadi hanya keluhan-keluhan sementara orang-orang berhasil melampaui hal yang selalu mereka rutuki. Aku sadar bahwa akulah semua dalang dari kemeranaan yang terjadi pada diri sendiri.
Orang lain dapat melaluinya. Kenapa aku tidak?
Lemah, persis seperti yang Jinmin katakan sebelumnya. Bahkan sebelum dia mengatakan hal itu, aku sudah tahu. Tak ada hal hebat yang ku miliki untuk dibanggakan. Untuk membuat diriku lepas dari semua ini. Pergi jauh dari kegilaan Ayahku. Bahkan secuil keberanian saja harus dicari sampai ke lubang terkecil. Tak menemukan. Nihil.
Orang lain bebas dengan pencapaian mereka. Sementara aku terkekang –tekurung dalam dunia kelamku. Tak ada yang dapat dibanggakan selain kebodohan bahwa satu-satunya kelebihanku adalah kelemahanku yang hanya bisa diam. Membuat aku membenci setengah mati diri sendiri. Mencemooh diri sendiri.
Aku membenci segalanya. Tapi yang paling aku benci adalah diriku sendiri.
Rasanya begitu sakit namun memuaskan. Seperti sebuah pelarian atau justru eksekusi ketika ujung cutter mulai bermain dengan gerakan satu arah pada kulitku. Menyakiti hal yang paling aku benci. Diriku sendiri yang begitu menyedihkan tak dapat melakukan apapun. Duduk terjembab di lantai kamar mandi yang mengering. Udara masih begitu dingin dengan angin semilir yang masuk melalui ventilasi ruang kecil.
Lagi dan lagi mendamba pilu dan perih yang menyiksa. Menyayat terus menerus dengan kalap sampai deretan air kental berwarna merah jatuh bak lelehan membasahi lantai. Kulitku seperti kanvas dengan goretan abstrak berwarna merah. Rasanya seakan tercekik. Pandangan mengosong dan hanya perlu fokus pada satu hal –rasa sakit. Selain itu tak ada. Seperti bebas. Mungkin ini yang dikatakan candu ketika satu atau dua rasa sakit yang kau dapat menjadi kebiasaan tersendiri. Pukulan yang biasa ku terima membuat hal seperti ini bukan sesuatu yang besar. Justru aku merasa puas dan bebas tak terdeskribsikan.
Kebencian terbesar. Ketakutan terbesar. Semua yang paling membahayakan. Jawabannya mungkin hanya satu ; diriku sendiri.
BRAK!!
Pintu kamarmandi dibanting. Dengan sisa-sisa tenaga, mataku menangkap visualisasi Pangeran Eric dalam dongeng putri duyung. Kemeja putih, wajah tampan dan rambut hitam kegam dengan bisep di lengannya. Terlihat panik dan juga khawatir. Merengkuhku –menggendong seperti aku hanyalah sebuah gulungan kapas yang begitu ringan. Berlari kecil membawaku entah kemana tak tahu karna hal yang berikut terjadi adalah aku memejamkan mata tak sadarkan diri.
.
.
.
.
.
.
.
Tik tok tik tok. Telingaku menangkap gelombang suara detak jarum jam dengan begitu jelas. Ada yang bilang saat kita merasa sakit atau sekarat akan ada indera tertentu yang begitu peka. Aku asumsikan pendengaranku lah yang mendapat tugas itu. Aku sekarat. Ingin membuat perayaan karna itu. Akhirnya terbebaskan dari diriku sendiri. Namun kenyataannya hal berikut yang terjadi adalah mataku terbuka. Berpendar menatap ruangan sekitar. Mengatur napas perlahan dan melirik ke pergelangan tanganku yang sudah terperban sempurna.
Tak ada perayaan. Tak ada kebebasan. Kembali pada diriku yang menyedihkan.
Suara pintu dibuka, pangeran yang tadi aku lihat masuk ke dalam kamar di mana aku berbaring saat ini. Rupanya aku salah telak , dia bukan pangeran melainkan malaikat. Senyum tipis lega bukan main hanya karna melihat sosoknya terukir di bibirku walaupun dengan sorot sau.
"Jinmin..." Panggilku lirih.
"Kau b******k, Isla!" alih-alih mendapat senyuman balik, yang aku lihat di matanya adalah kemarahan. Tak ada netra amber mengkilat yang terbentuk melengkung sepeti bulan sabit yang biasanya siap menerangi sisi tergelap dalam hidupku. Kali ini tatapannya tajam, mengintimidasi. Kelam dan penuh amarah. Mematikan, menakutkan namun masih tetap menjerat. Sensasi berbeda dari ketakutan yang biasa aku rasakan.
Jinmin naik ke atas kasur, mengacak-acak rambutnya frustasi. Menyisir belahan rambut hitam legamnya itu dengan jemari. "Berhenti melakukan itu. Sudah aku bilang kalau aku akan membuatmu bahagia. Persetan dengan ucapanmu meminta aku bantu. Ku selamatkan. Nyatanya kau malah ingin menghancurkan dirimu sendiri!" geramnya.
Aku bungkam. Kata-katanya seperti tamparan keras untukku. Selain keadaanku yang lemah menyedihkan membuat sulit berucap, kalimat yang Jinmin lontarkan membuatku sadar. Betapa tololnya aku dari semua ketololan yang pernah aku lakukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Dan yang bisa aku lakukan saat ini hanya membiarkan air mata membasahi pipiku.
"Lemah..." kata itu lagi keluar dari bibir Jinmin.
Rautnya melembut. Terlihat seperti kesakitan dan lalu berbaring di sampingku. Memelukku erat. Mendekat tubuh kecilku yang ringkih. Kontak fisik lagi. Debaran lagi. Sensasi yang begitu membuatku menggila. Seluruh tubuhku pilu. Harum tubuhnya membuatku pening—berpikiran jauh ingin mengecap tubuh itu.
"Dengar Jung Isla... Kalau kau memang ingin, aku dapat melakukan keduanya." ujar Jinmin lembut sekali menggelitik di telingaku.
Mataku menatapnya. Bertanya-tanya maksudnya. Berapa kali aku harus mengatakan betapa menyedihkannya diriku. Untuk hal seperti ini salah aku butuh waktu untuk mencerna kalimatnya. Kepalaku terlalu penuh oleh hal-hal menyakitkan.
"Membuatmu bahagia, menikmati hidup, menyelamatkanmu dengan cara menghancurkanmu. Kau—tidak perlu menyakiti dirimu sendiri. Aku yang akan menyakitimu. Menghancurkanmu."
"Maksudmu?"
Jinmin tersenyum lembut dan lalu mengecup keningku. Turun ke pelipis, pipi, bibir dan berkali-kali mengecupi leherku. Bulu kudukku kembari berdiri. Persis seperti kemarin malam. Bibirnya menyusuri kulit tubuhku. Memberi sensasi aneh menggelitik namun membuatku nyaman. Dan tubuhnya beranjak naik ke atas tubuhku. Mengunci kedua tanganku. Menggenggamnya erat.
Matanya menyusuri tubuhku dari atas sampai bawah. Kelaparan. Menggigit bibir bawahnya dan menatapku dengan tatapan gelap. Telunjuknya menyetuh kulit dadaku. "Bolehkan aku mencicipinya? Tubuhmu?"
Aku menelan saliva mendengar itu. "Apakah sakit?" tanyaku ragu.
Jinmin mengangguk. "Sangat. Lebih dari ketika kau melukai tanganmu itu. Tapi kepuasannya—juga lebih dari itu. Tak tertandingi."
Dan aku mengangguk. Jinmin tersenyum. Menenggelamkan wajahnya ke leherku. Menciumi dengan napasnya yang begitu hangat di sana. "Buka. Buka pakaianmu untukku."
Geli sekali rasanya ketika napasnya menyapu kulitku setiap dia berbicara. Hanya dengan mendengar suaranya aku rasa bisa mendapatkan o*****e hebat. Lucu, bahkan aku tidak pernah tahu seperti apa rasanya o*****e.
Perlahan dengan wajah memerah malu sekali. Seperti murahan, jalang yang siap melayani –aku membuka kancing bajuku satu-persatu. Membiarkan mata Jinmin mengawasi seakan menunggu hidangan. Rasanya ingin menangis saking malunya.
"Terus. Kau menggoda seperti itu. Wajah malu-malu tapi kelakuanmu yang liar itu. Membuka bajumu sendiri untukku. Gadis manis."
Terbuka semua. Tanpa mengenakan apapun lagi. Tubuh bagian atasku terekspos bebas karna memang aku tak membawa dalaman atau pakaian ganti ketika datang ke apartement ini. Semua yang aku kenakan adalah pakaian Jinmin dengan harumnya yang setiap saat membuatku merasa dipeluk olehnya. Atau bahkan lebih—contohnya seperti saat ini ;
Tangannya menakup penuh dadaku sebelum meremasnya. Perih dan ngilu. Memberikan reaksi malu-malu yang rasanya tak ingin dilihat. Tapi Park Jinmin malah terlihat menikmati seraya senyuman samar terlihat di wajahnya sebelum tenggelam di antara dua dadaku. Menjilati, memilin dan mengulum. Menghisap dalam. Bermain di sana seperti bayi kehausan.
Tangannya perlahan turun memutar di peruku. Menggelitik dan persis seperti yang aku duga, bermain di pahaku. Meremas sampai menggelitik di paha dalam. "Jari dulu, Ok? Butuh penyesuaian tapi kau—kupastikan mendapat o*****e yang tak terlupakan."
Tangannya itu berada di pinggangku, menuruni pakaian dalamku dan melemparnya asal entah ke bagian mana sisi kasur. Tercampak begitu saja dengan sedikit noda basah akibat permainan lidah dan bibirnya pada dadaku. Empat jarinya mengusap bagian luar kewanitaanku. Bermain pada libia. Basah. Begitu basah sampai ke pangkal pahaku sengaja dia beberkan.
Malu sekali. Aku sampai menutup wajahku yang pasti memerah seperti tomat. Namun siaga, satu tangan Jinmin membukanya. Membuat mata kami bertemu.
"Jangan ditutupi seperti itu. Sumpah kau cantik sekali saat seperti ini, Isla."
"M–malu." Ujarku terbata-bata. Tertahan karna terengah ketika jarinya mulai memainkan klitorisku.
"Manis. Justru itu manis sekali. Jangan ditutupi. " Jinmin mengecupi wajahku menahan agar tak menutupinya lagi.
Memang malu sekali tapi ada rasa dalam diriku yang mendoktrin ingin menuruti Park Jinmin. Memuaskannya. Membiarkan dia melakukan apapun sebebas-bebasnya pada diriku. Sampai satu atau dua jarinya—entah aku tak menghitung—tak dapat pula melihat memastikan—masuk ke dalam liangku.
Segala hal yang pertama kali memang begitu asing. Mengejutkan. Belum terbiasa. Rasa ini sendiri menimbulkan perih bukan main. Jari saja membuatku melenguh hebat. Punggung melengkung dan mencengkram lengan Jinmin erat. Aku sadar dia mungkin merasakan sakit karna itu.
Perih sekali sampai mengisak. Ingin menangis tapi anehnya aku tak ingin menyudahi. Terus dan terus ingin jari itu bermain menekan semakin dalam. Memutar dan mengoyak begitu mudah karna dinding basah lembab di sana. Membuat gerakan menggunting, membuat liang menganga dan lalu mengoyaknya lagi. Mengeruk terus menerus membuat bokongku bergetar. Rengekan dan desahan tak dapat berhenti begitu saja.
Dan Park Jinmin walaupun dalam kehenigan jelas menikmati itu. Setiap reaksi yang aku berikan, desahan yang aku loloskan membuatnya bersemangat mengeruk. Mengambil dan mencari entah apa selain untuk kepuasanku.
"Jim—inhhh-h."
"Pernah o*****e sebelumnya?"
Aku menggeleng.
"Pernah m********i sebelumnya?"
Aku menggeleng lagi.
"Aku pertama, begitu? Jari ini memerawanimu pertama kali?"
Malu namun jelas kebenarannya. Satu anggukan aku layangkan. Dan betapa puasnya Jinmin –entah aku tak mengerti apa yang membuatnya puas sementara akulah di sini satu-satunya yang pada akhirnya mendapat pelepasan. Tepat setelah beberapa detik dia memaksa menjejalkan jari ketika. Membuatku menjerit sakit atau nikmat entah menjadi satu.
"Keluarkan semuanya. Yang banyak, Isla."
Dan Jinmin mendapatkan apa yang dia inginkan. Begitu juga diriku mendapatkan apa yang aku semogakan. Kebahagiaan. Menikmati hidup sekaligus dihancurkan.
Park Jinmin dapat melakukannya dengan bersamaan.
"Kau—dalam kendaliku, sekarang." Bisiknya seraya memelukku.
Lagi.. Aku semakin tenggelam padanya. Menyerahkan diri sepenuhnya. Kalau bukan Park Jinmin, entah bagaimana lagi aku dapat menjalani hidup ini. Dan aku mulai mengerti dunia seperti apa yang akan aku masuki.
Jadi pertanyaannya,
Who's the devil? Me or Him?
[]