"Kamu sengaja ngehindari saya kan, Aina?" ujar Hena blak-blakan di depan dokter Aina. Aina mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk saja, ia kemudian menggeleng cepat ke arah Hena. "Kamu merasa bersalah?" tanya Hena lagi pada Aina. Aina diam, untuk pertanyaan itu jujur saja ia tak tahu harus membawa apa. "Saya sedang banyak kerjaan, tante," jawab Aina pada Hena. Hena menarik sudut bibirnya ke kiri, ia sudah sangat hapal dengan perilaku Aina. "Kamu memang dokter yang cukup terkenal dan dihandalkan," kata Hena. Mendengar hal itu hati Aina terasa dicabik-cabik. Ia bekerja siang malam bagai kuda, tapi ia tak menemukan kenyamanan sama sekali. Bukan berarti ia tak suka dengan pekerjaannya itu, melainkan karena perbuatannya kepada Marinalah penyebabnya ia bersikap membatasi sosialisasi d