"Taraaaa...." Amira muncul dari arah dapur. Dengan celemek abu-abu gelap yang masih belum dilepas, ia pun datang membawa sepiring hasil masakannya di atas nampan.
Menghampiri Raga yang sedang duduk anteng di sofa ruangan tengah, Amira tersenyum berseri-seri setelah berhasil membuat kreasi makanan khas Jerman.
"Ga, cicipin masakan gue dong!" Seru Amira masih berdiri di hadapan sang pacar. Senyumnya terukir lebar sembari menunggu cowok berambut cokelat itu merespon.
"Bentar ya, Mi...." gumam Raga yang masih setia memfokuskan pandangan ke layar ponsel. Entah sedang apa dia, sampai-sampai Amira yang sudah tak sabar akan hasil masakannya yang wajib dicicipi si pacar pun malah diabaikannya begitu saja.
"Aga! Lo lagi apa sih?" Tegur Amira mulai kesal.
"Ini, cacingnya udah gede ... sayang kalo aku matiin, mana udah mencapai 3 juta lagi bobotnya," ujar Raga tanpa menoleh.
Mendengar pacarnya lebih mementingkan game si cacing sialan dibanding dirinya, rasanya Amira ingin sekali berkata kasar. Hanya saja, mood Amira tak seburuk itu. Jadi, dia berusaha untuk membujuk Raga baik-baik ketimbang menghardik cowok itu agar segera menyudahi kegiatan bermain gamenya.
"Ga, gue capek-capek masak buat lo tau. Masa lo malah lebih perhatian sama cacing daripada gue, harga diri gue jatuh Gaaaa di depan cacing bodoh itu!!" Seloroh Amira merengek, sengaja agar Raga meninggalkan gamenya dan segera memerhatikan dirinya.
Bersamaan dengan itu, cacing besar dengan bentuk bergerigi itu pun mati karena beradu dengan cacing mini yang baru lahir. Alhasil, Raga pun menaruh ponselnya dan mengangkat wajah guna menatap Amira.
"Kenapa sih, Amira sayaang?"
"Lo cicipin dulu masakan gue atau gue gak akan kasih jatah ena ena buat lo selama sebulan?" lontar Amira mengandung ancaman.
Sontak, Raga pun memelotot horor. Bagaimana bisa Amira melayangkan ancaman semengerikan itu? Kalau gak dikasih jatah selama sebulan, alamat Raga belajar solo karir deh sama Theo.
"Mana sini! Wah, kayaknya enak tuh...." ujar Raga langsung semangat. Tentu saja hal itu menerbitkan senyuman penuh kemenangan di bibir Amira.
Gulaschsuppe.
Masakan khas Jerman yang Amira buat siang ini. Dia memang sengaja memasak itu. Biar Raga makin kesengsem, pikirnya. Secara, cowoknya itu kan ada sedikit titisan darah Jerman. Jadi, gak salah dong kalau Amira membuatkan menu tersebut spesial untuk sang pacar?
"Wah, ini sih kesukaan aku. Kamu buat sendiri?" Tanya Raga setelah piring yang Amira bawa beralih ke tangannya.
"Ya iyalah gue buat sendiri, masa gue buat rame-rame sama warga sini. Kan ngeri," sahut Amira memutar bola mata.
Raga hanya terkekeh. Kemudian, ia pun mulai mencicipi masakan spesial yang pacarnya buat khusus untuk dirinya.
"Gimana?" Tanya Amira menanti jawaban.
Raga tidak langsung menjawab, dia memejamkan mata untuk sesaat. Sejurus kemudian, ia pun tersenyum semringah seraya kembali menyantap makanan tersebut.
Amira turut tersenyum, meski tidak menyahut tapi dia bisa mendapat jawaban dari cara Raga memakan masakannya selahap sekarang. Artinya, Amira berhasil lagi membuai lidah sang pacar dengan menu kreasinya. Sehingga, Amira tidak akan khawatir kalau-kalau Raga bermain hati hanya karena ia tak pandai memasak.
***
"Oh, Shitt!" Raga mengumpat tiba-tiba saja. Merasakan kekesalan setelah melihat tim sepak bola kesayangannya kemasukan gawang oleh tim lawan.
Sementara itu, di sebelahnya justru Amira sedang melihat-lihat majalah resep masakan terbaru yang baru saja diluncurkan oleh pihak penerbit pada beberapa hari lalu. Setelah Raga menghabiskan seporsi Gulaschsuppe yang Amira buatkan khusus, seperti biasa, mereka akan menikmati waktu santai bersama-sama meski keduanya tidak menekuni kegiatan yang serupa.
"Gak bener nih kipernya! Masa bisa kebobolan gitu sih," gerutu Raga heboh sendiri. Seolah-olah dia lupa bahwa di sebelahnya ada Amira yang sedang fokus menekuni resep baru yang dilihatnya dalam majalah.
Mendengar kehebohan suara sang pacar, Amira pun berdecak kesal. Melirik ke arah cowok itu, ia lantas langsung mengomelinya. "Aduh, Aga! Bisa gak sih lo gak usah seheboh itu juga? Berisik tau! Gue jadi gagal fokus nih gara-gara keberisikan sama suara lo barusan." Amira mendecak lagi dan membuat Raga sigap menyengir.
"Ya maaf, Sayang. Kan aku refleks barusan. Abisnya kesel, masa tim bola kesayanganku bisa kebobolan gitu sih. Kipernya lagi sakit nih kayaknya, kurang prima dia. Makanya jadi gak fokus gitu dia pas jaga gawang," ungkap Raga sibuk berceloteh. Namun reaksi Amira, dia hanya perlu memutar bola matanya saja sembari sesekali ikut mencibir tanpa menimbulkan suara.
"Oh ya, Mi, aku lupa nanya nih. Biasanya sebelum masak, kamu suka cuci tangan dulu gak sih?" Entah kenapa, tiba-tiba saja cowok itu melontarkan pertanyaan aneh semacam ini. Menyebabkan Amira menatapnya heran seiring dengan dahinya yang mengernyit.
"Apaan sih? Ya cuci tangan lah, emangnya kenapa? Kok, tau-tau nanya soal gituan sih lo sama gue. Aneh...." desis Amira mendelik. Namun kemudian Raga pun menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa yang didudukinya sejak tadi.
"Ya kali aja gak cuci tangan, kan gak kebayang tuh, kalo kamu abis cebok, terus gak cuci tangan... Langsung aja kamu bikin makanan apa gitu, aku jadi mikir, ini masakan bisa aku makan tanpa tercampur rasa aneh-aneh gak ya. Bisa aja kan bekas cebokmu itu nempel di makanan yang kamu bikin!" tukas Raga konyol. Lalu ia pun sigap tertawa di sela Amira yang mulai terbelalak horor sembari sontak memukuli bahu cowok itu sepuas hatinya.
"Apaan sih, Aga! Kenapa omongan lo gak jelas banget. Awas aja ya lo! Entar-entar gak gue masakin lagi lo. Atau, kalo gue mau masak buat gue suguhin ke elo, sekalian aja tuh tangan gue tempelin dulu ke lubang pantatt terus gue langsung garap bahan-bahan makanan yang mau gue olah. Biar sekalian lo makan tuh sama bekas lubang pantatt yang gak gue cuci dulu. Puas lo?" raung Amira saking kesalnya. Tapi hal itu justru malah bikin Raga jadi terhibur sampai-sampai ia terbahak sempurna meski kini sebelah bahunya menjadi sasaran telak dari pukulan-pukulan yang ceweknya itu layangkan.
Lagipula Amira gak habis pikir deh, sejak kapan sih pacarnya itu punya pemikiran sekonyol ini? Padahal, Amira kan selalu menjaga kebersihan pada makanan yang selalu dibuatnya sendiri. Tidak ada terpikirkan sedikit pun untuk berbuat jorokk. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja Raga melontarkan pertanyaan seiseng itu. Menyebalkan! Awas saja, Amira akan membuat Raga merasakan akibat dari apa yang sudah cowok itu tuduhkan mengenai kualitas masakannya selama ini.
***
Setelah Amira menukar seragamnya dengan pakaian kasual yang kini melekat di tubuhnya, ia pun langsung bergegas menuju dapur. Amira hampir lupa kalau dia harus mengantarkan sushi pesanan Viana yang dimintanya di chat grup saat masih di sekolah tadi. Beruntung Amira belum pikun-pikun amat, jadi dia pun akan meminta Raga untuk mengantarnya ke rumah Viana yang jaraknya hanya terbatas oleh 1 rumah saja.
"Aga!"
"Apa?"
"Anterin gue ke rumah Vivi, yuk!" ajak Amira yang baru kembali dari dapur. Sebuah paper bag berisi kotak makan berukuran sedang pun sudah ia tenteng dengan tangan kanannya.
"Mau ngapain ke rumah Vivi?" tanya Raga mengernyit, dari yang sedang fokus melihat layar ponsel, cowok itu pun kini menatap pacarnya.
"Ini, gue udah janji mau anterin sushi ke rumahnya, kasian ... dia lagi sakit kayaknya," ujar Amira mengangkat paper bag tersebut sedikit ke atas lalu melangkah mendekati Raga.
"Ooh, dia emang lagi sakit. Kakinya cidera setelah latihan cherleader bareng si Tuti katanya...."
"Hah? Yang bener? Lo tau dari siapa?" pekik Amira membelalak, dia memang baru tahu mengenai hal ini.
"Tadi si Theo cerita lewat grup. Itu anak bahkan ngelabrak si Tuti langsung di depan anggota chers lainnya," terang Raga bercerita.
Amira mengepalkan sebelah tangan bersiap murka. Si Tuti itu memang makhluk Tuhan paling gagal, sudah jelek, tukang bikin onar, menyebalkan, sok cantik, merasa dirinya paling wah, mentang-mentang anak donatur, hidupppp pula. Gimana Amira gak geram coba sama manusia satu itu?
***
Amira sudah menekan bel, tapi pintu cokelat di hadapannya belum juga ada yang membuka. Awalnya Amira mau telepon Viana, tapi sebelum itu terjadi pintu jati di hadapannya pun sudah terbuka hingga menampakkan Theo yang muncul dari baliknya.
"Eh, Ami?" Seru Theo.
"Vivinya ada, The? Gue mau lihat keadaan dia, katanya kakinya cidera ya gara-gara si Tutut?" Tanya Amira memastikan. Anyway, Tutut itu julukan spesial yang Amira ciptakan hanya Tuti seorang.
"Iya, tapi Vivi lagi tidur. Kalo mau nengok langsung masuk kamarnya aja gih!" ujar Theo mengusulkan.
"Yaah, kalo lagi tidur masa iya gue ganggu. Gak apa-apa deh, nanti gue ke sini lagi aja. Gue titip ini deh ke elo, dia minta dibikinin sushi tadi...." tukas Amira sembari menyerahkan paper bag yang dibawanya pada Theo.
Menerima, Theo pun berkata, "Oh, oke deh. Entar gue sampein ke cewek gue ya. Btw, thanks ya Mi kirimannya...."
Tanpa berkata, Ami hanya mengacungkan jempolnya seraya melenggang pergi meninggalkan teras rumah Vivi.
"Udah?" tanya Raga sekembalinya Amira yang kini sudah duduk lagi di kursi samping kursi kemudinya. Rumah Amira dan Viana memang hanya terhalang oleh satu rumah, tapi berhubung mereka mau sekalian pergi jadilah sekalian lewat menggunakan mobil Raga.
"Udah, tapi kata Theo Vivi lagi tidur. Jadi gue cuma titipin itu doang deh ke dia. Kasian kan kalo gue ganggu orang yang lagi tidur," jawab Amira setengah mencebik.
Pasalnya, dia sedikit kecewa saat tahu Viana tidur. Andai kata temannya itu sedang santai, mungkin Amira akan melontarkan sejumlah pertanyaan tentang si Tuti yang terlampau berani membuat Viana cidera.
"Tadi kamu bilang si Theo? Maksudnya, dia lagi ada di rumah Vivi?" Seru Raga mencoba memastikan pendengarannya tadi.
"Iya, Aga. Emang kenapa sih?" tatap Amira heran.
"Si bangke, pantesan gue chat gak nyaut-nyaut. Lagi sama bininya ternyata dia," decak Raga mendengkus.
"Lah, emang mau ngapain chat si Theo?" tanya Amira melirik.
"Mau ajakin billiard tadinya, cuma gak jadi. Soalnya kamu keburu ajakin aku ke rumah buat cicip ini itu," tukas Raga cengengesan. Sedangkan Amira hanya memutar bola mata saja tanpa membalas lagi ocehan si pacar.