BAB 1
Rene menekan tombol bell di dekat daun pintu. Rene melihat jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 18.30 menit. Dari kantor ia langsung ke rumah Dian. Ada sesuatu yang ingin ia ceritakan kepada sahabatnya itu. Ia tahu bahwa Dian pulang jam empat sore, sudah pasti wanita itu ada di rumahnya.
Rene menekan tombol itu lagi, hingga sang pemilik rumah membukakan pintu. Sedetik kemudian pintu terbuka. Rene menatap laki-laki berdiri tepat di hadapannya. Ia tahu bahwa laki-laki itu adalah saudaranya Dian yang bernama Tatang. Karena Dian sering menceritakannya. Ia sering sekali ke rumah Dian, tapi ini merupakan pertama kalinya ia bertemu dengan laki-laki ini.
"Dian nya ada?" Ucap Rene.
"Kamu siapa?" Tanya Tatang, memperhatikan wanita di hadapannya ini. Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya.
"Saya Rene, temannya Dian,"
Tatang memperhatikan penampilan Rene, jujur ia sering mendengar nama Rene sebelumnya dari ke dua orang tua dan adiknya. Nama itu memang tidak asing baginya. Tapi ia baru tahu, ternyata wanita inilah yang bernama Rene. Wanita itu ia yakini belum pulang ke rumah, karena baju kaku itu masih terpasang sempurna di tubuhnya.
"Jadi kamu namanya Rene, masuk aja," Tatang memperlebar daun pintu untuk wanita itu.
Rene lalu masuk ke dalam, ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Ruangan itu terlihat sepi, ia lalu menoleh ke arah laki-laki itu.
"Dian belum pulang, jadi tunggu aja, sebentar lagi juga pulang kok"
"Iya, Om sama tante, kemana?" Tanya Rene lagi.
"Masih di toko, katanya sih masih rame,"
Tatang melirik Rene, "Kamu satu kantor sama Dian, seharusnya ya pulang sama-sama,"
"Aku beda devisi mas sama Dian. Aku accounting, pulangnya jadi beda. Tadi aku samperin ruangan Dian udah gelap. Kirain udah pulang ke rumah, ternyata enggak" ucap Rene, ia lalu duduk di sofa. Ia simpan tasnya di sampingnya.
"Kamu naik apa kesini?" Tanya Tatang penasaran.
"Naik taxi mas,"
"Mungkin sekarang Dian, lagi jalan sama pacarnya," Tatang duduk di samping Rene, agar ia bisa memperhatikan Rene. Wanita itu berwajah oriental.
Rene hanya diam, karena ia tahu bahwa pacarnya Dian udah datang dari New York. Rene lalu membuka tasnya, ia merogoh ponselnya yang mati total itu. Tidak lupa Ia mengambil charger,
"Mas, ada terminal nggak,?"
Tatang melihat ponsel dan charger di tangan Rene. Wanita itu memerlukan isi batrainya, "Ada, itu di dekat Tv banyak yang kosong,"
"Numpang ya mas,"
"Iya,"
Rene lalu berjalan menuju ruang Tv, sementara Tatang memperhatikan wanita itu, dan mengikutinya. Rene nampak tidak asing dengan rumah ini. Ia memperhatikan secara jelas rok span berwarna coklat terang itu, ada sedikit bercak di sana.
"Ren ..."
"Iya, mas," setelah berhasil mencolok charger untuk ponselnya.
"Kamu datang bulan ya,"
Rene mengerutkan dahi, "enggak sih," ucap Rene ragu-ragu.
"Tapi itu ada bercak darah di rok kamu,"
Rene dengan cepat memeriksa roknya. Ia lalu menepuk jidat, dan pantasan aja dari tadi sore perutnya enggak enak.
"Jadi gimana dong mas,"
"Coba kamu ke kamar Dian, mungkin kamu bisa menggantinya,"
Rene mengangguk dan mengikuti langkah Tatang. Jujur ia dari tadi deg-deg kan berdua saja di rumah ini bersama saudaranya Dian itu. Entahlah tatapan Tatang seakan menusuk ke hatinya. Kini ia berada di lantai dua, karena inilah kamar Dian.
"Kamar Dian di kunci, tapi aku punya kunci serep nya," Tatang membuka hendel pintu. Setelah itu ia buka pintu itu untuk Rene.
"Makasih mas," Rene lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Tanpa ia sadari, kaki kiri Rene tersandung, karena ia menginjak salah satu sendal berbulu, yang di letakkan sembarangan oleh sang pemilik kamar. Otomatis tubuhnya oleng.
Tatang melihat tubuh Rene hampir ambruk, ia menarik Rene dari belakang. Dirinya bermaksud untuk menyelamati Rene, tapi dirinya malah jatuh bersamaan.
Rene meringis menahan sakit, karena dirinya tersungkur mencium lantai, ia membenarkan posisinya. Tatang melirik Rene yang berada tepat di sampingnya. Tatang dengan cepat mendekat,
"Hey, kamu enggak apa-apa," ucap Tatang, ia memperhatikan seluruh tubuh Rene, tidak ada satupun terlihat tanda-tanda terluka dari tubuh mulus itu. Tatang menelan ludah, karena rok sepan yang di kenakan Rene tersingkap ke atas, paha mulus itu sungguh membuatnya sulit berpikir jernih.
Rene memandang Tatang, tepat di atas tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tiba-tiba saja terasa hening. Hanya hembusan nafas terdengar. Begitu juga Tatang, ia malah mengurung Rene dengan ke dua tangannya. Ini adalah posisi ini sangat intim. Dirinya memang benar-benar sadar atas apa yang ia lakukan.
"Mas ..."
Tatang mengatur nafasnya, jujur ia masih sulit berpikir, karena ia memang menginginkannya.
"Bolehkah mas cium kamu," ucap Tatang seketika.
Lama terdiam satu sama lain, Rene bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan, atas ucapan laki-laki itu. Tatang menyadarkan dirinya, ia sudah gila, meminta secara terang-terangan mencium teman adiknya sendiri, di awal pertemuannya. Tatang lalu menarik diri dari hadapan Rene, dan mencoba menegakkan tubuhnya.
"Maaf,"
Rene juga menegakkan tubuhnya dan ia lalu berdiri tidak jauh dari Tatang. Ia mendengar Tatang mengatakan maaf. Rene menahan debaran jantungnya. Rene menatap Tatang yanga akan meninggalkannya.
"Mas ..."
Tatang menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Rene. Ia menatap mata sendu dan bibir kecil itu memang sungguh menggodanya dari tadi.
"Ya,"
"Boleh kok," ucap Rene pada akhirnya.
Tatang sempat tidak percaya apa yang di ucapkan wanita di hadapannya ini. Tatang berjalan mendekat, ia bisa memandang secara jelas wajah wanita itu. Ia tahu bahwa Rene menginginkannya juga.
"Kamar mas ada di sebelah,"
"Kenapa,"
"Ya, mas cium kamu di kamar mas aja, jangan di sini," Tatang berusaha tenang.
"Kan Diannya enggak ada,"
Tatang tersenyum, ia meraih jemari Rene, "Tapi mas maunya di kamar mas," ucap Tatang, ia lalu menarik tangan Rene menuju kamarnya.
Ini pertama kalinya Rene masuk ke kamar laki-laki. Kamar itu terlihat rapi berwarna biru gelap. Ia melihat Tatang kini sudah di hadapannya. Ia merasakan tangan Tatang sudah di tengkuknya dan siap untuk menciumnya.
"Mas ..."
"Ya, Ren," Tatang mengelus tengkuk Rene.
Rene tidak tahu sejak kapan Tatang sudah melumat bibir. Tatang menghisap bibir bawahnya seakan tidak ingin berhenti. Rene mengalungkan tangannya ke leher Tatang, ia membalas kecupan itu. Jujur ini bukan pertama kalinya ia ciuman, ia pernah melakukan itu kepada mantan-mantanya terdahulu. Lumatan-lumatan kecil itu kini berganti dengan lumatan rakus. Tatang seakan tidak ingin berhenti mencium bibir tipis itu.
Tatang mengangkat tubuh Rene, dan mendudukan tubuh itu di pangkuannya. Agar ia bisa mencium bibir itu dengan leluasa. Hingga akhirnya ke duanya ke habisan nafas. Tatang melepaskan pangutannya, ia memandang Rene. Rene membalas tatapannya.
Tatang menepis rambut Rene, kebelakang, ia meneruskan aksinya dan memeberi kecupan di leher itu. Ia mengecup leher itu secara perlahan, dan Rene memberi akses lebih agar mengecupnya lebih dalam.
Rene tidak sanggup lagi untuk tidak menahan desahannya. Ia meremas baju Tatang, karena laki-laki terus mengecupnya hingga dalam. Sentuhan-sentuhan itu hingga ia melupakan segalannya. Rasanya begitu nikmat dan seakan tidak akan berhenti. Rene meraih kepala Tatang, agar tidak melanjutkan aksinya. Ia memandang wajah tampan itu.
"Mas, aku datang bulan,"
Tatang sadar apa yang ia lakukan. Ia hampir saja melupakan itu. Tatang mengangguk dan mulai mengerti. Ia lalu tersenyum kepada Rene, ini bahkan baru pertama kalinya ia bertemu dan ia sudah berani melakukan tindak kan sejauh ini.
"Mas hampir lupa," Tatang mengelus punggung Rene. Ia yakin kancing kemeja itu sudah hilang entah kemana, karena ia telah merobeknya tadi.
Tatang melepaskan diri dari tubuh Rene, sementara Rene merapikan kemejanya yang setengah terbuka. Rene mengerutkan dahi menatap Tatang.
"Mas, kemeja aku kancingnya hilang dua,"
Tatang tersenyum, dan ia tahu itu akibat ulahnya. "Yasudah kita beli yang baru. Mas antar pulang yuk, kamu naik taxi kan tadi,"
"Tapi, aku ada perlu sama Dian mas,"
"Besok masih ada, kamu bisa bertemu Dian di kantor," Tatang melangkah menuju lemari, mengambil salah satu jaketnya. Ia mendekati Rene menyampir jaket itu di pundak Rene.
"Iya deh,"
********
"Kamu sudah punya pacar," tanya Tatang, membawa Rene ke bawah.
"Enggak ada mas,"
"Baguslah kalau gitu," ucap Tatang lalu tersenyum.
"Mas ajak jalan, kamu mau enggak," ucap Tatang lagi, ia membuka pintu mobil untuk Rene.
"Kapan mas?" Tanya Rene.
"Ya, kapan-kapan, kalau kamunya mau,"
"Mau kok, mas," Rene masuk ke dalam mobil, dan ia lalu duduk.
"Iya," Tatang menutup pintu itu kembali.
Percakapan berlanjut hingga sepanjang jalan menuju rumah Rene.
*********
"Makasih ya mas udah di antarin Rene pulang," Rene melepas sabuk pengamannya.
"Iya,"
Tatang memandang Rene yang sedang membuka sabuk pengaman. Wanita membuka hendel pintu otimatis lampu dasbor menyala. Tatang menarik tangan Rene dan mendekatkan tubuhnya.
Rene hanya diam, memegang erat tas yang ia pegang. Ia merasakan bibir Tatang melumat bibirnya lagi, kali ini begitu dalam. Ia tidak menolak dan malah membalas lumatan Tatang.
Tatang melepas pangutannya, ia mengelus wajah cantik Rene,
"Terima kasih,"
"Iya mas,"
*********