Abi berlari di koridor rumah sakit menyusuri setiap kamar, langkahnya terhenti saat pintu ruang inap Lintang terbuka.
"Lintang." panggil nya mencoba tersenyum meski nafasnya tersengal karena berlari.
"Minum dulu gih." suruh Dona menggeleng melihat keadaan Abi. Gadis itu ikut menggeleng tangan dikibas dalam artian menolak.
"Gimana? Udah mau masuk sekarang?" tanya Abi menyimpan tas kecilnya di meja lalu duduk di kursi.
Dona mengangguk kecil. "Iya."
"Huuff… " Lintang menghembuskan napas panjang sesekali menghirupnya kembali. Ia menoleh ke samping saat Abi memegang tangannya lalu mengecupnya pelan.
"Kakak akan selalu disampingmu, kalau sakit jangan di tahan teriak aja yang keras." kata Abi di balas anggukan kecil dari Lintang. Gadis itu tiba-tiba saja menunduk. "Kenapa?" tanya Abi.
"Lintang takut."
"Sstt… " Abi beranjak memeluk Lintang yang juga memeluk pinggangnya. Tepukan-tepukan kecil berharap memberikan dampak positif untuk sang adik.
"Mau digendong gak?"
Lintang berdongak, "Emang kuat?" tanya Lintang kembali menyembunyikan wajahnya di perut rata Abi.
"Idih, gini-gini aku kuat ya." Abi menengok saat Dona melempar isyarat untuk segera keluar. Ia mengangguk melepas pelukan adiknya lalu berjongkok. "Ayo naik." katanya menepuk pundaknya.
"Yakin?"
"Udah ayo sini." Abi menarik Kedua tangan Lintang untuk bisa naik ke punggungnya. Lintang tertawa kecil memeluk leher sang kakak.
"Hiyap!!" Abi berusaha berdiri sampai mengeluarkan suara erangan kuat menekan lututnya.
"Hahaha lagian sok kuat sih." ujar Dona membantu Abi berdiri membawa Lintang keluar ruangan. Gadis itu tak sedikit merasa terbebani oleh adiknya jadi mana mungkin dia tak kuat.
"Kak,"
"He'um?"
"Inget gak waktu kita berantem," keduanya terkekeh meski Lintang belum mengatakan semuanya. "Berantem gara-gara kamu hilangin kunci mobil papa, ujungnya dapat hukuman bareng-bareng. Yang salah siapa, yang kena hukuman siapa." lanjut Lintang masih dengan suara tawanya.
"Wkwkwk, ya bagus dong papa gak pilih kasih jadi anak kena semua."
"Iya sih tapi kan ngeselin aja pas inget itu, wong bukannya minta maaf malah ngasih kentut."
"Hahahaha, mantap kan."
"Jijik iya." Lintang menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Abi. "Jangan capek jagain Lintang." bisiknya tepat di telinga Abi, dan itu memberinya kekuatan untuk terus menjadi kakak untuk adiknya.
"Mungkin kemarin-kemarin Lintang nakal buat jalanin pengobatan tapi sekarang Litnang janji, Lintang bakal sembuh agar semua usaha kakak gak sia-sia. Terimakasih buat semuanya kak, Lintang sayang sama kak Abi." suara Lintang bergetar, Abi kini menjadi pendengar yang baik menahan air matanya untuk tidak lepas dari tampungan.
"Lintang tau kok kakak lelah, bukan cuma fisik tapi hati yang harus menelan semua cemoohan orang. Lintang bangga jadi adik kakak, Lintang berharap di kehidupan selanjutnya Lintang yang jadi kakak supaya Lintang dapat giliran menjaga kakak. Kakak terbaik. Oyah, nanti setelah keluar dari sini Lintang mau potong rambut, gapapa kan?" lanjut Lintang dan kaki Abi berhenti melangkah lalu menurunkan Lintang dari gendongannya.
Abi menyisir rambut Lintang dengan jari, merapikan ikatan rambut sang adik. "Nanti ditemani, sekarang masuk gih kakak tunggu di sini." ucapnya mengusap pipi Lintang. Gadis itu mengangguk, dan Dona pun membawa Lintang masuk untuk menjalani kemoterapi.
"Ma.. papa, Abi mohon jaga Lintang buat Abi." bisik Abi menatap kepergian Lintang sendu. Ia duduk di kursi tunggu dengan perasaan cemas.
Kembali berpijak dan menerima semua yang dokter lakukan pada tubuhnya, Lintang hanya pasrah tetapi juga berusaha untuk tidak mengecewakan wanita kesayangannya yang menunggu di luar sana.
Dia sudah berjanji akan bertahan maka ia harus melakukannya. Sakit sih tapi tak apa selama kakaknya tidak kecewa. Perasaan cemas dan juga ketakutannya perlahan-lahan mulai menghilang saat senyum lebar sang kakak nampak begitu jelas, entah itu ilusi ia merasakan kehadiran Abi di sana.
Begitu juga Abi hanya diam berdoa, matanya tak lepas dari pintu berwarna putih itu di mana sang adik menjalani kemoterapi.
*
*
*
Di sisi lain Sintia tengah berbaring menelungkup terisak-isak. Hatinya terasa remuk mengingat semua penghinaan Elvano terhadapnya.
"Apa pekerjaan anda, anda yakin seorang guru? Apa anda pantas disebut guru sementara menjaga anak sekecil Ayumi saja tidak mampu. Pantas saja putri saya tidak suka padamu karena anda memang tidak layak disebut guru."
Dasar manusia bermulut pedas tidak punya hati! Bagaimana bisa dia mendikte kualitas nya sebagai guru? Apa hak dia sampai tega melakukan itu padanya. Sintia akui lalai dalam menjaga amanah tetapi apa pantas mengatakan hal menyakitkan seperti itu padanya?
"Dasar jahat hiks… " Sintia mencoba meredakan tangisnya namun ucapan Elvano kembali terlintas di benaknya.
"Kenapa tidak terima? Cih, saya yakin putri saya lepas dari pandangan bukan karena menjaga yang lain tetapi sibuk dengan diri sendiri. Saya benar bukan, dasar tidak… "
"Dasar tidak apa, hah!? Hiks… jahat banget, iya tau aku terlalu bahagia sama permintaan ibu kamu tapi kan hiks… perasaan aku gak bohong, perkataan kamu beneran nyakitin tau hiks… " isakannya semakin memenuhi kamar bernuansa netral itu. Hatinya benar-benar sakit sekarang, belum lagi kenyataan bahwa Arumi tidak menyukainya. Lalu bagaimana dengan permintaan Amira, apa semua itu masih berlaku setelah kejadian hari ini? Padahal dia sudah menaruh harapan pada wanita itu.
"Bisakah orang asing keluar dari sini, saya risih."
"Orang asing ya? Huaaa… bundaaa… hiks… dia risih sama orang asing kayak Tia bunda hiks… " dalam hal ini, ia benar-benar membutuhkan pelukan sang bunda. Untuk pertama kalinya dia tertarik dengan lawan jenis, kenyataan malah menghampirinya. Apa ini yang dikatakan mencintai seseorang tidak akan pernah bisa berjalan sesuai harapan.
Jadi sekarang dia patah hati lagi? Ternyata masih sakit.
Iya. Sintia akui, sejak awal semua perhatian yang ia berikan pada Elvano kini membuat perasaannya menumbuhkan perasaan yang namanya, cinta.
Sekarang Sintia pun tidak tahu harus melakukan apa untuk menanggapi perasaannya, sebab ini bukan pertama kalinya ia merasakannya. Dia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa apalagi hatinya dan tidak tau kenapa ia tidak bisa melepaskan Elvano.
Sepertinya ia benar-benar terjerat dalam pesona duda beranak satu itu. Mengingat bahwa dia tidak disukai Arumi, hatinya kembali berdenyut sakit dan air matanya lagi-lagi luruh dengan derasnya.
"Se-semoga a-abang be-belum pu-pulang.", ucapnya terbata-bata sesenggukan berharap Faizal belum kembali dari kantor karena tak ingin lelaki itu bertanya apa yang telah terjadi, karena ia yakin abangnya itu tidak akan diam saja mendengar penghinaan Elvano padanya. Jadi sekarang lebih baik dia tidur sana semoga bisa melupakan kesedihannya.
*
*
*
Waktu terus berlalu Abi beranjak dari duduknya berjalan menghampiri Lintang yang tengah berbaring di tempat tidur rumah sakit. Lintang keluar dari ruang kemoterapi dalam keadaan berbaring, matanya terpejam indah.
"Dokter bagaimana keadaan Lintang?" tanya Abi memegang tangan Lintang sambil menatap dokter yang merawat adiknya.
"Bisa ikut saya ke ruangan, saya akan jelaskan di sana." kata dokter ber tag Dendi itu.
Abi mengangguk, "Mbak Dona, titip Lintang bentar ya." pintanya pada Dona dan wanita itu mengangguk kecil membawa Lintang kembali ke ruang inapnya.
Dengan perasaan was-was Abi mengikuti dokter Dendi. Hal yang paling Abi sesali adalah, pria matang di depannya salah satu p*langgan nya dulu. Meski hanya dua kali bersama, tetap saja dia risih jika kembali bertemu mantan p*langgan nya belum lagi Lintang berada dalam pengawasan dokter tersebut. Pertemuan mereka memang tidak direncanakan karena Abi hanya menerima panggilan dari bossnya untuk menemui p*langgan nya di apartemen si penyewa.
Awalnya terkejut sampai ingin kabur merasa malu melihat keberadaan lelaki yang hampir 7 tahun selalu bertemu di rumah sakit, mungkin dokter Dendi juga merasakan hal itu tidak menyangka gadis yang dia sewa adalah kakak dari pasiennya tetapi mengingat kembali posisi Lintang yang membutuhkan pengobatan, tak ada alasan untuk tidak melakukan apa yang harus mereka lakukan sebagai penyewa dan p*langgan.
"Duduk." pinta dokter Dendi, dan ia hanya bisa mengangguk kecil duduk di hadapan dokter Dendi.
"Jadi bagaimana dokter?" tanya Abi.
Dokter Dendi memperlihatkan hasil pemeriksaan medis Lintang. Sebelum menjelaskan, helaan nafas berat darinya membuat perasaan Abi semakin tak karuan.
"Kamu bilang uangnya sudah terkumpul tapi kenapa di tunda lagi, kemoterapi tidak menjamin semuanya Abi. Lintang benar-benar membutuhkan operasi ini, leukemia itu sudah komplikasi."
Deg!!
"Kamu pasti tau kan, buah yang busuk sebelah aja bisa menyebar gimana dengan penyakit ganas ynag bersarang dalam diri Lintang. Sel-sel tubuh yang masih normal bakal dirusak dan itu sangat berbahaya. Jadi katakan kapan… "
"Uangnya diambil sama mereka dokter." sela Abi lirih menjelaskan bahwa setengah biaya untuk pengobatan Lintang di rebut. Tatapan matanya dalam melihat dokter Dendi, lelaki itu kembali menghela nafas panjang sangat tau apa yang Abi maksud.
Percayalah dia lelaki dan gadis di hadapannya pernah menghabiskan waktu mereka dengan suara yang begitu membangkitkan gairahnya, seperti sekarang. Lirihan itu begitu —Sial— ia mencoba mengesampingkan masalah pribadi dan pekerjaan walau itu sangat sulit.
Abi pernah menjelaskan bagaimana keadaannya sampai harus menjadi wanita malam, itu juga karena paksaan darinya dan sekarang setelah semua yang dilaluinya, orang tak bertanggung jawab seperti paman dan bibinya kembali merebut semuanya.
Siapapun yang ada di posisi Abi pasti akan menyerah saja tapi gadis itu masih berusaha untuk adiknya, dia benar-benar bangga.
"Ya udah gini aja, berapa kekurangannya biar saya… "
"Dokter, saya sudah keluar dari pekerjaan itu jadi jangan di ungkit lagi." sela Abi, dia sangat tau kemana arah pertanyaan dokter Dendi.
"Tapi adik kamu… "
"Berikan saya waktu, saya janji dalam waktu dekat uangnya pasti akan terkumpul saya janji dokter."
"Baik saya kasih waktu 2 bulan, set jl mmelah itu Lintang benar-benar harus diobati kalau tidak kami tidak bisa menjamin semuanya akan baik-baik saja."
"Ba-baik dokter. Permisi." Abi beranjak dari kursi hendak keluar dari ruangan dokter Dendi, namun pernyataan lelaki itu menghentikannya.
"Apa kamu yakin bisa mengumpulkan semuanya, Abi!?" dokter Dendi berdiri mendekati Abi yang terdiam memegang gagang pintu. Bukan bermaksud kurang ajar, dia hanya bermaksud membantu dan tentunya itu tidak gratis. "Saya bisa membayar semua kekurangan asal kamu mau… " terhenti kala Abi membuka pintu dan meninggalkan ruangannya tanpa berniat mendengarkan semua omongannya.
Dokter Dendi mengerang kesal. Dasar sok suci! Pikirnya kembali ke tempat duduknya dengan perasaan jengkel karena niat baiknya malah di abaikan, belum lagi miliknya bangun berharap gadis itu bisa menjerit keras karena hentakan miliknya.
Hhh… jadi pusingkan sekarang. "Sial."
Dengan kepalan tangan mengepal kuat Abi berjalan ke ruangan Lintang. Entah kenapa dia merasa terhina atas pernyataan dokter Dendi, meski kenyataan bahwa dirinya tak pantas merasakan hal tersebut sebab harga dirinya sudah tidak ia miliki sejak menjadi wanita malam.
Hhh… tangannya bertumpu pada dinding tembok rumah sakit, kakinya berhenti sejenak begitu dadanya terasa sesak. Ia buru-buru mendongak agar air matanya tetap pada tempatnya.
Dia tidak boleh lemah, harusnya sudah tau resiko seorang gadis malam sepertinya jika bertemu orang yang pernah ia layani, tapi kenapa hatinya sesakit ini.
"Huff..." tidak jangan sekarang. Abi menyeka air matanya buru-buru pergi dari sana tak ingin Lintang mencarinya. "Terimakasih mbak," ucapnya setelah melihat Dona keluar dari ruangan Lintang.
"Dia lagi tidur, mungkin kali ini muntahan nya sedikit keras dari sebelumnya jadi tetap awasi dia ya."
"Iya mbak. Makasih."
Dona mengangguk menepuk bahu Abi sebelum melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Melihat kepergian Dona, sebelum masuk Abi duduk sebentar untuk menenangkan pikirannya.
"Hahh… " menghela nafas panjang, meremas kepalanya. "Kamu gak boleh lemah Abi, Lintang membutuhkanmu biar dia juga kuat. Semangat." ucapnya mengepalkan tangan mencoba tersenyum lebar kemudian berdiri masuk ke ruangan Lintang.