Altar menutup pintu kamarnya meletakkan tas ditempatnya setelah itu berganti pakaian dan pergi menuju dapur mengeluarkan sebotol air dingin lalu menuangkan kedalam gelas dan diminumnya.
Altar meringis ketika tangannya menyentuh bagian kepalanya yang terantuk oleh lantai gara-gara cewek yang menabraknya tadi disekolah untungnya tidak membengkak hanya terasa nyeri saja. Altar menyimpan botol kedalam kulkas kembali setelah itu mengeluarkan es batu untuk mengompres bagian yang sakit.
“Kamu sudah makan sayang” ucap Hanna, Altar menoleh lalu tersenyum melihat mamanya.
“Hari ini mama masak apa?” tanya Altar mengikuti mamanya.
“Mama masak makanan kesukaan kamu dong, ini tumis brokoli dan sambal manis telur puyuh rebus” jawab Hanna.
Perempuan 42 tahun itu menoleh melihat tangan Altar memegang Es batu “Kamu bawain es untuk apa?” tanya nya kemudian. Altar menggeleng “Gak kok gak papa aku kira tadi ini botol air dingin” Dalih Altar sembari buru-buru menyimpan es yang dia pegang ke kedalam baskom. Altar tidak ingin berbohong tapi juga tak mau mamanya khawatir hanya karena sebuah lebam sedikit dikepalanya.
Tangan perempuan itu mengusap kepala Altar, Altar menahan ringisannya karena tangan mamanya menyentuh bagian yang sakit “Kamu pasti lapar kan ayo makan, mama sudah memasak makanan kesukaanmu” katanya. Altar mengangguk.
Sekitar pukul delapan malam Altar memangku bukunya diteras lantai dua rumahnya, bukunya terbuka tapi tidak membacanya. Kepala cowok 18 tahun itu mendongak melihat langit gelap yang dipenuhi awan.
Tinggal beberapa bulan lagi sampai akhirnya ia lulus dari pendidikan sma lalu apakah ia akan terus seperti ini? Tangannya menyentuh telingnya dan melepaskan alat yang selalu terpasang untuk meminimalisir suara yang dapat membuatnya tersiksa.
Selama 18 tahun dan selama itu pula keberadaannya seakan tidak terlihat, menjauhi kerumunan, hidup menyendiri adalah waktu yang sering kali dirasakan oleh Altar hingga rasanya kesendirian telah menjadi sebagian dari hidupnya.
Siapa sih yang tidak ingin memiliki teman? Altar juga ingin melakukan apa yang teman-temannya lakukan, memiliki banyak teman, bermain basket, bermain apapun layaknya anak normal sebayanya.
Tapi yang Altar lakukan selama 18 tahun hidup didunia ini sebagian besar waktunya ia habiskan dengan ratusan atau bahkan jutaan buku yang berbeda. Bosan? Tentu saja tapi Altar tidak memiliki cara lain demi kesehatannya sendiri.
Cukup lama Altar menatap langit yang berawan sampai awan pun perlahan menyingkir membiarkan cahaya bulan turun kebumi meski tanpa satupun bintang menemaninya. Altar tersenyum.
“Sepertinya aku masih memilikii teman” gumamnya sembari melihat bulan yang bersinar sendirian diatas langit. Sendirian tanpa teman seperti dirinya, meski sendiri tapi bulan bersinar paling terang diantara yang lainnya.
“Betapa menyenangkannya menjadi bulan” batin Altar.
____
Keesokan paginya Altar sudah tiba disekolah lebih pagi dari yang lainnya itu Altar lakukan lagi-lagi dengan alasan bising kendaraan ketika lebih siang sedikit akan jauh lebih ramai.
Altar langsung menuju kelas duduk dengan santai tanpa melakukan apapun selain menunggu kelas perlahan kedatangan penghuninya. Altar akan memberikan senyum ketika ada yang menyapanya.
Kevin duduk dikursi bangku depan yang Altar tempati “Besok lusa ada tugas kelompok kamu satu kelompok sama aku ya” ucap Kevin.
“Wah gak adil tuh” Sahut windy teman kelas mereka, Kevin dan Altar menoleh “Gak adil gimana?” tanya Kevin.
Windy berkacak pinggang menatap ketua kelasnya yang tak lain adalah Kevin sendiri “Altar kan peringkat pertama terus kamu peringkat kedua, ya kali sama-sama pinter satu kelompok terus kita-kita yang kurang pinter siapa yang ngajarin” protes cewek berambut keriting itu.
Kevin tertawa “Lah itu kenapa aku yang salah, kita kan sama-sama belajar bukan belajar sama-sama buat bisa nyontek” Kevin tertawa sedikit dengan nada menyindir, itulah kenapa dia suka belajar dengan Altar dari pada yang lainnya.
Windy memalingkan wajah sambil mendengus “Kita liat aja nanti kalian bisa satu kelompok apa enggak” katanya. Altar tertawa pelan sedangkan Kevin menggelengkan kepalanya dengan salah satu teman kelasnya itu.
Kevin kembali menatap Altar “Jadi gimana?” tanya Kevin sekali lagi untuk konfirmasi.
“Aku tidak masalah satu kelompok sama siapa aja” jawab Altar netral tanpa memihak siapapun.
“Baiklah kalau itu jawabannya” Kata Kevin sedikit kecewa lalu tanpa sengaja melihat kearah Windy yang seakan mengatakan ‘Rasain lu’ lewat gerakan bibirnya.
Kelas pun dimulai saat seorang guru datang, kelas yang hening hanya terdengar suara decitan meja dan juga sepatu diatas lantai. Kadang juga terdengar suara bisik-bisik lalu ditegur oleh guru dan kelas kembali hening.
#Sekitar dua jam belajar berturut-turut akhirnya bell istiahat berbunyi “Ayo kekantin aku yang traktir” ajak Kevin.
“Terima kasih tapi aku tidak bisa” jawab Altar lalu berjalan membawa buku dan pulpen keluar dari kelas. Kevin mendesah “Ini anak kapan mau diajak makan dikantin sih” batin Kevin.
Altar berjalan menuju tempat tongkrongannya sampai tiba-tiba dia merasa tangannya ditarik oleh seseorang, Altar berhenti melangkah untuk menoleh.
“Akhirnya cepet ketemu” ucap seorang cowok dengan nafas cengap-cengap seperti ikan kehilangan air, jika tidak salah mengingat cowok ini adalah cowok yang sama teman si cewek yang menabraknya kemarin.
“Ada apa ya?” tanya Altar. Tangan cowok itu terangkat “Bentar aku mau nafas dulu” jawab Dion, Altar pun menunggu sampai cowok yang tidak ia ketahui namanya itu bicara.
Dion berdiri tegap “Nama kamu siapa minta nomer hp dong” ucap Dion tanpa basa-basi sontak saja beberapa anak yang mendengar kalimat Dion langsung menghentikan langkahnya untuk menoleh.
Kemungkinan besar anak-anak itu curiga jika Dion memiliki kelainan karena tiba-tiba datang pada cowok yang tidak ia kenal untuk meminta nomer hp.
Dion menepuk keningnya “Etdah kalian bubar sana aku itu masih normal! Ya kali suka cowok sama cowok” Seru Dion mengusir para siswa yang menatapnya heran.
“Kamu temannya cewek kemarin kan?” tanya Altar.
Dion mengangguk “Namaku Dion, cewek yang kemarin itu namanya Karin. Gara-gara kamu pergi gitu aja dia nyuruh aku buat nyariin kamu buat balas budi”
“Aku salah apa?” Tiba-tiba siswa yang bernama Budi kebetulan lewat ikut menyahut ketika merasa namanya disebut.
Sekali lagi Dion menepuk keningnya “Bukan Budi elu k*****t!” maki Dion sambil menendang udara kosong didepannya. Siswa bernama Budi pun pergi dengan keadaan bingung. Dion balas menatap Altar lagi.
“Jadi bantuin aku ya, please!” mohon Dion setelahnya dengan kedua telapak tangan yang disatukan didepan wajahnya.
Alis Altar terangkat sebelah “Lah bukannya yang ditabrak kemarin itu aku, kenapa kamu yang malah minta bantuan? Bilangin aja sama temanmu aku sudah maafin kok” jawab Altar sambil menepuk nepuk bahu Dion.
“Nah masalahnya Karin anaknya gak gitu” Dion menggaruk kepalanya dia bingung mau mulai bicara dari mana, Dion mengeluarkan hp nya “Kamu tulis aja deh nomermu disini biar si Karin yang ngomong langsung” katanya.
Altar menerima hp Dion dan memberikan ponsel itu kembali pada pemiliknya “Nama kamu siapa biar aku save sekalian” tanya Dion.
“Altar” jawab Altar.
“Oke Altar, aku berterima kasih banget karena kamu udah berbaik hati kayak gini jadi nanti kalau ada nomor baru menghubungi nomermu kamu angkat ya biar aku bisa hidup dengan umur yang lebih panjang” Kata Dion lalu berpamitan.
Altar menggeleng pelan lalu melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
____
Bersambung...
Tinggalkan pesan loh ya xixi