5 . Penawaran

2464 Kata
Luci dan Martin berjalan menelusuri koridor sekolah menuju ruang guru. Beberapa pasang mata memandangnya, ada yang memandang dengan tatapan kesal karena beberapa guru wanita yang juga mengagumi sosok Martin, ada juga yang memandang takjup karna keduanya tampak seperti pasangan yang sangat serasi. Laki-laki tampan dan wanita cantik. David mengikuti langkah mereka dari kejauhan. Tatapannya terus tertuju pada dua guru yang masih asik berbincang entah apa yang mereka bicarakan. David sampai mengabaikan panggilan sahabatnya yang sedari tadi memanggilnya . "Gila Lu ya, gue sampe kehabisan napas manggil Lu, apa telinga Lu udah budek?" Maxi yang menghampiri David dengan napas ngos-ngosan karna berjalan sedikit berlari membuat napasnya sedikit tersegel. "Serius amet, Liatin apaan sih?" Maxi mengikuti arah pandangan David. "Wiiih Gila tu pak Martin, sepagi ini udah main nyosor aja. Bakal jadi gosip panas nih." Sambung Maxi. Sementara David hanya berdecak kesel, entah karena apa. Kesel sama kedua guru yang membuat moodnya buruk sepagi ini atau karena Maxi yang sedari tadi nyerocos tak henti hentinya membuat kepalanya jadi tambah ruet. Martin dan Luci akhirnya memasuki ruang guru dan menuju meja masing-masing, sementara David dan Maxi memilih ke ruang ganti untuk mengganti seragam olahraga. Sepuluh menit berlalu. Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di lapangan dengan barisan sesuai dengan kelas masing-masing. Luci tampak berjalan di kejauhan, dengan langkah pasti sambil menenteng pengeras suara berbentuk speaker portabel yang akan di jadikan audio saat ia memimpin senam. Luci meniup peluit panjang begitu sampai di tengah lapangan memberi isyarat agar semua diam. "Rapikan barisan dan rentangkan tangan, buka barisan, hadap kiri rentangkan tangan."_______" Oke kita pemanasan lima menit," ucap Luci, kemudian bersiap. Lagu sebagai pengiring senam sudah mengalun di antara lapangan itu setelah sesi pemanasan yang Luci pimpin. Luci mengintruksikan beberapa gerakan perenggangan otot dan pelenturan sendi, semua siswa siswi tampak bersemangat mengikuti gerakan gerakan yang di peragakan guru olahraga yang tampak bening dengan butiran keringat menghiasi kening dan pelipisnya kala sinar Surya mulai terasa hangat menyapa penghuni bumi. Luci melirik dari sudut matanya seorang siswa keluar dari barisan dan memilih duduk di kursi panjang yang tersedia di bawah pohon mahoni yang berjajar rapi di samping lapangan. Dua puluh menit berlalu senam pun usai. Luci mematikan audio yang dia nyalakan menjadi pengiring senam tadi. Saat siswa siswi yang lain sedang berselonjoran merileksasikan napasnya, Luci berjalan menuju siswa yang sedari tadi sudah keluar dari barisan. Duduk berdekatan dengannya menarik nafas sambil tersenyum penuh misteri. "David. Apa kamu tidak menyukai pelajaran ibu?" Luci bertanya lembut namun sarat akan tuntutan. Ya siswa yang keluar dari barisan itu adalah David. David hanya diam dengan sikap acuhnya sambil melihat dan fokus pada ponsel di tangannya. Dua menit tak mendapat respon akan pertanyaannya, Luci berdiri dari duduknya dan menghadap David, sedikit merendahkan tubuhnya dan mengangkat dagu David dengan ujung jarinya memandang tajam mata pemuda itu dengan senyum. David membalas tatapan itu tanpa berkedip. "Aku bukan orang yang akan bisa ibu perintah. Aku terbiasa memerintah dan bukan di perintah," ucap David masih dengan wajah datarnya. Luci tersenyum. "Oh ya? Mungkin kamu bisa mengatakan itu pada guru lain, tapi tidak dengan ku," ucap Luci dengan sedikit terkekeh. "Jam ini aku yang memegang kendali suka atau tidak kamu harus tertib mengikuti pelajaran ku, dan kau,,,,,!" "Heeeh terserah!" Potong David. David hanya berdecak dengan kekehan tak ingin mengalah dan menepis ujung jari Luci yang sedari tadi masih menopang dagunya "Jika kamu tidak pernah diperintah, maka ketahuilah, aku selalu mengendalikan apapun yang ingin aku kendalikan, mungkin termasuk dirimu." Luci membalas ucapan David dengan telak dan sarat akan ancaman. "Oke kita buat kesepakatan. Ibu menantang mu bermain basket tunggal. Jika ibu kalah, maka ibu tidak akan menuntut, apalagi memerintahkan apapun padamu, namun sebaliknya, jika ibu menang maka kamu harus menuruti satu permintaan ibu. Satu saja." Tawar Luci. Luci memberi penawaran pada David dan mengulurkan tangan kanannya, dan David hanya tersenyum mengejek. Namun di detik berikutnya "Oke DEAL" David membalas uluran tangan Luci dan kedua tangan itupun berjabat pertanda penawaran di terima. Luci meniup peluit panjang mengarahkan siswa siswi yang lain menepi, untuk memberi akses duel tersebut "Perhatian ,,, perhatian. Hari ini ibu menantang David fabian dalam permainan basket tunggal. Jika ibu kalah maka David boleh tidak mengikuti pelajaran ibu, baik di lapangan ataupun di dalam kelas, tapi jika ibu menang maka David harus mengabulkan satu permintaan ibu, dan ibu ingin kalian menjadi saksinya." Jelas Luci pada siswa siswi yang berada di lapangan itu. Riuh sorak dan tepuk tangan di lapangan basket itu. Ayok semangat, Dave, teriak beberapa murid cewek di pinggir lapangan. ******** Memiliki tubuh yang tinggi dan bidang saja tidak cukup menjamin Anda akan menang dalam sebuah pertandingan bola basket. Anda juga wajib tahu teknik dasar permainan bola basket itu sendiri, mulai dari teknik passing, shooting, dribbling, pivot, hingga rebound. Olahraga bola basket dimainkan secara beregu, yakni oleh 2 tim yang terdiri atas masing-masing 5 orang pemain (secara tradisional) atau 3 orang (3x3). Cara mainnya pun cukup sederhana, yakni Anda harus memasukkan bola ke dalam keranjang lawan. Tim yang paling banyak mencetak angka dalam 4 quarter akan keluar sebagai pemenang. Kendati demikian, ada aturan main yang harus Anda patuhi saat berusaha memasukkan bola ke dalam keranjang. Misalnya, kaki pemain yang tengah menguasai bola harus selalu menapak lantai (pivot), kecuali ketika sedang menembak (shooting), mengoper (passing), atau menggiring bola (dribbling). Permainan ini dapat menambah daya tahan tubuh, dan meningkatkan keterampilan motorik. Jika, dilakukan secara rutin basket juga dapat meningkatkan kesehatan kardiovaskular kalian. Priiiiiiiiiiit Peluit panjang yang di tiup oleh salah satu siswa yang akan berperan sebagai juri di antara kedua pemain itu. David vs Luci. Luci mulai memantulkan bola memulai permainan dan David langsung memegang kendali , mengingat postur tubuh David yang lebih tinggi tegap membuatnya dengan mudah menguasai bola dari Luci. Beberapa putaran dan pengecohan yang David lakukan dan "shooting" David menembak bola dan tap masuk ring. Satu poin untuk David. Passing kembali dilakukan, kali ini Luci mengendalikan bolanya "dribbling" Luci terus menggiring bola sesekali memutari tubuh David 180 drajat dan shooting kembali di lakukan Luci, tap bola juga masuk ke ring. Poin sama di dapatkan Luci dan David Baik David maupun Luci terus melakukan dribbling, shooting, Catching, passing, dan hasilnya masih sama-sama kuat dan poinnya masih sama. 19 untuk David dan 19 untuk Luci. Poin terakhir akan menjadi penentu. Shooting pertama di lakukan oleh David. David berdiri diujung garis free throw dan satu, dua , tap bola masuk ring yang artinya tambahan poin untuk David. Poin kini menjadi 20 : 19. free throw atau lemparan bebas atau foul shot adalah percobaan mencetak poin tanpa rintangan dengan menembak dari belakang garis lemparan bebas (secara informal dikenal sebagai garis pelanggaran (foul line) atau (charity stripe), sebuah garis yang terletak di ujung area terlarang. David dengan bangga menggendong bola kearah Luci, senyum tak pernah surut dari kedua sudut bibirnya. Begitu juga dengan Luci. Luci menerima bola itu dengan senyum yang tak kalah manisnya. Kemudian Luci sedikit berjinjit dan membisikkan sesuatu pada David. " David , kayaknya kamu kurang jeli memilih area untuk melempar bola terakhirmu." Setelah mengatakan itu senyum David mulai memudar dan Luci mengambil area three point field. three-point field goal; kadang disingkat' 3FG;[1] juga dikenal sebagai 3-pointer atau secara informal, trey adalah suatu skor yang dicetak dalam permainan bola basket jika bola yang masuk tersebut dilempar di luar garis 3 angka, yaitu suatu garis lengkungan yang ditandai mengelilingi ring basket. Suatu lemparan yang masuk dengan sukses diberi angka 3 poin, berbeda dengan angka 2 poin diberikan untuk angka yang dicetak di dalam garis 3 poin dan 1 poin untuk setiap lemparan bebas. Luci menatap tajam kearah David, masih dengan senyum termanisnya yang senantiasa menghiasai kedua sudut bibirnya tanpa berkedip, bahkan Luci tidak melihat di kearah ring yang akan menjadi objek bidiknya. Tanpa melepaskan pandangannya pada David Luci men- shooting bola dengan kedua tangannya dan yeees masuk tiga poin untuk Luci. Sehingga finis poin berakhir dengan skor 20 untuk David dan 22 untuk Luci, itu artinya David kalah. Permainan telah selesai. Luci kini berjalan kearah David, masih dengan menatap manik hitam ke abu-abuan yang indah milik David, dan David tak beranjak selangkah pun. "Well ,,, sekarang kamu harus menuruti satu permintaanku sesuai dengan kesepakatan awal kita." Ucap Luci "Oke, katakanlah." Balas David datar "Bersikaplah sebagai murid yang baik dengan mengikuti seluruh pelajaran dengan baik serta hormatilah orang yang menjadi pembimbing atau gurumu, karna sungguh itu demi masa depanmu" Setelah mengatakan itu Luci berbalik, namun baru selangkah kakinya berbalik, Luci terkejut karena tak menyadari bola yang berada di belakang kakinya. Bruuunk Tiba-tiba lengan kokoh melingkari pinggang dan perutnya. Luci terjatuh tapi tidak di lantai lapangan itu, Luci terjatuh tepat di atas tubuh David. Menyadari Luci yang hampir terjatuh David reflek memeluk pinggang Luci. Jadi beginilah sekarang, keduanya jatuh dengan David berada di bawah tubuh Luci dengan wajah yang saling bersinggungan satu sama lain. Diam keduanya terdiam, masih belum menyadari posisi mereka yang terlalu dekat bahkan sangat dekat. Beberapa detik kemudian Luci tersadar dan secepat kilat berkilah dari tubuh David. Baru saja Luci beranjak dari duduknya, "aaau,,," Luci kembali terjatuh ke lantai. Ternyata gerakan spontan tadi mengakibatkan kaki kanannya keseleo. Menyadari itu David kembali spontan melihat Luci dan "apa ibu terluka?" Pertanyaan David hanya di jawab rintihan kecil dari bibir Luci. "Entahlah kayaknya keseleo." Jawab Luci singkat. Maxi, Canon, Hans dan Coco yang sudah berdiri menjulang di antara David dan Luci dengan sigap mengatakan "biar aku membantu ibu," ucap Maxi. Lalu Maxi mengangkat satu lengan Luci dan mengalungkannya ke lehernya. Luci bangun dan berjalan sedikit pincang, sampai pinggir lapangan basket sekolah SMA SATYA yang lebih teduh. "Boleh aku buka sepatunya buk?" tanya Maxi sopan. Dan luci hanya mengangguk rendah seolah mengiyakan pertanyaan Maxi. Lalu tanpa berpikir panjang Maxi membuka sepatu Luci serta kaos kaki putih yang membalut telapak kaki putih dan halus itu. Mengurut dengan arah vertikal dari atas ke bawah, begitu seterusnya berulang ulang, dan kreek,,,,, "Aaauuh," Luci menjerit sambil mencengkram kursi beton yang dia duduki, merasakan kakinya yang terasa sudah terlepas dari tempatnya. Ya Maxi menarik secara spontan telapak kali itu dan kembali mengurutnya seperti pertama. "Gimana buk masih terasa sakit?" Tanya Maxi selanjutnya "Tidak terlalu." Bales Luci. "Ternyata selain tampan kamu juga pandai dalam memijit." Puji Luci sambil tersenyum ke arah Maxi. "Next time ibu bisa mengandalkan mu jika ada masalah seperti ini." Luci tersenyum tulus pada Maxi. Membuat Maxi salah tingkah sehingga mengelus elus tengkuknya yang terbuka. Sedang ke empat cowok ganteng yang sempat ikut tegang karena jeritan Luci yang mereka tak pahami, menatap heran ke arah Maxi. "Apa apaan si Maxi cari muka aja." Sebel Canon. Coco tak kalah sebel, tadi sebenarnya dia yang sudah lebih dulu berjongkok membantu ibu Luci tapi di serobot oleh Maxi. hans masih bersikap biasa-biasa saja. Lalu bagaimana dengan David? David tak berkata apa-apa. Dia bangun dan membersihkan pakaiannya dari pasir yang menempel di beberapa bagian tubuhnya, sedikit melirik Luci dan Maxi dengan ekor matanya dan berjalan menuju ruang ganti. David memilih memasuki kamar mandi sekolah, ia mulai membersihkan diri mengguyur tubuhnya dengan air yang terjatuh dari atas pancuran, beberapa menit kemudian dia selesai dari mandinya. David mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang sengaja dia bawa dari rumah kemudian mulai mengenakkan seluruh seragam sekolahnya seperti sedia kala. Duduk sejenak di kursi panjang yang tersedia di ruangan itu. Otaknya seperti berputar putar. Ucapan terakhir yang Luci ucapkan saat shooting terakhirnya kembali terngiang-ngiang. "David , kayaknya kamu kurang jeli memilih area untuk melempar bola terakhirmu" Hatinya kembali protes, seolah dia tidak terima kekalahannya itu, apalagi yang mengalahkan mu itu seorang wanita. Bagaimana mungkin dia semahir itu dalam bermain basket. Selama ini David belum pernah di kalahkan oleh siapa pun. Tapi kenyataan ini sungguh membuatnya merasa kesal dan ingin marah. Tangannya sesekali memukul kursi yang di duduki nya. David berjalan menelusuri koridor sekolah. Kembali ke kelas menjadi tujuannya kali ini. Sebelum sampai di tangga koridor, tatapannya teralihkan pada Maxi yang sedang memapah ibu Luci dengan satu lengan Luci mengalung di leher Maxi dan satunya lagi menenteng tas dan audio yang di bawanya tadi kelapangan. Sedang satu tangan Maxi menggandeng intens pinggang ramping Luci dan satu lagi masih memegang tangan Luci yang memeluk lehernya. Entah kenapa hati David kembali protes dan memberenggut kesal. "Maxi ngapain lagi sok imut gitu." Batin David sambil berdecit Menyadari Luci yang berjalan di bantu salah seorang murid Martin terkejut dan bangun dari duduknya. "Ada apa ini? Kenapa dengan kaki mu?" Panik Martin dengan wajah khawatir "Ah gak pa pa kok pak! Cuma inciden kecil tadi di lapangan. Tapi tadi Maxi sudah membatu merenggangkannya, dan mungkin cuma butuh di rendam air hangat sebentar juga sudah baikan. Ya kan Maxi?" Tanya Luci pada Maxi dan di jawab anggukan saja oleh Maxi. Martin menarik kursi di samping meja Luci dan Maxi menduduki Luci di kursi tersebut. "Kalo gitu aku sekalian ambil baskom dan air hangat buat ibu, biar ibu bisa langsung merendam kaki ibu untuk menghindari pembengkakan." Ucap Maxi lagi. Luci cukup tertegun dengan ucapan maxi. Maxi cukup mengerti tata cara menangani masalah persendian. Luci hanya mengangguk. "Thanks ya son." Ucap Luci dan Maxi keluar dari ruangan itu menuju kantin, meminjam baskom dan mengambil air panas dari dispenser ruang guru. Di kelas dua belas B , David, Coco, Hans, Canon menunggu Maxi kembali ke dalam kelas. Tap tap tap Maxi masuk dengan santai seolah tidak terjadi sesuatu. Menyadari tatapan ke empat sahabatnya Maxi segera meminta maaf "sorry, sorry, sorry, gue tadi cuma niat bantu ibu Luci gak lebih. Lagian Lu pade cuma nonton, gak ada inisiatif buat bantu sih."~ Maxi Keempat sahabatnya itu kembali menggerutu , 'Maxi ,,,,,' "Ya ya sorry, gue kan udah minta maaf dari tadi. Udah ah jangan pade BAPER gitu napa? Serem tau," Maxi terkekeh. ********************** Sepulang sekolah. David tidak langsung pulang dia sengaja menunggu di are parkir sekolah SMA SATYA. Hari ini rencananya dia akan mencari tau tempat tinggal ibu Luci, dan apa saja yang akan dilakukannya. Luci tampak berjalan keluar koridor meski dengan sedikit pincang tapi masih bisa berjalan sendiri. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas punggung yang dia sampir di sebelah bahunya. Luci menghampiri motornya yang masih terparkir di area parkiran khusus guru. Luci mulai mengenakan helmnya dan menghidupkan motor sport gede yang biasa dia kendarai. Brem brem... Luci mulai melaju, keluar area sekolah dan di ikut David di belakangnya. Sepanjang jalan Luci tak menyadari dari jarak yang tak begitu jauh seseorang mengikutinya. Luci masuk pekarangan rumahnya. David masih stay di luar pagar rumah itu. Tapi selang sepuluh menit Luci kembali keluar masih dengan setelan pakaian yang sama, Luci melajukan motornya. Kembali David mengikutinya. Tujuh menit memacu motor gedenya, Luci memasuki sebuah bengkel besar yang sialnya bengkel itu adalah bengkel langganannya selama ini. Luci menghentikan laju motornya. Seseorang mengambil alih motornya dan beberapa orang juga membungkukkan tubuhnya seolah memberi salam hormat pada Luci. David semakin menajamkan pandangannya. "What,,,,,? Bagaimana bisa? Dan dia?" Heran David saat dia melihat apa yang menjadi beban pikirannya selama ini juga ada di depannya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN