9. Pengagum rahasia

1877 Kata
Cinta itu ibarat angin Tidak berwujud namun mampu di rasakan Ia tak pernah memilih pada siapa ia menyapa Cinta itu bahagia yang tidak bisa di definisikan namun semua insan yang bernyawa selalu memuja hadirnya ********** Gelap sudah menyelimuti sebagian bumi. Bulan sudah mulai menggantung di langit angkasa menampakkan pesona keanggunan yang hakiki. Taburan bintang turut menghiasi keanggunan sang candrama. Keindahan angkasa bertabur cahaya seolah sedang melukiskan suasana hati seorang pemuda yang sedang menelusuri padatnya jalan dan hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Namun itu bukan kendala baginya untuk menemui sang pemilik hatinya sekarang. Lantunan lagu yang mengiringi perjalanannya menambah kesahduan hati yang kian merekah. Senyum tak pernah pudar membingkai wajah tampannya laksana kembang menunggu siraman hujan di musim kering, gayung bersambut cinta terbalas. Langkah kakinya mantap. Hatinya tak lagi hampa. Bunga bermekaran di setiap sudut jiwanya yang pernah gersang. "Selamat malam" Suaranya menyapa ruangan yang yang beberapa hari ini menjadi tempat favoritnya. Jam menunjukkan angka 7;13 pm. Martin melangkah memasuki rumah yang bergaya klasik. Nampak sang pujaan hati menyambut kedatangan pangerannya. Senyum tulus terbit dari kedua sudut bibir bergelombang miliknya. Di tatapnya sang pujaan hati yang beberapa hari yang lalu membalas ungkapan prasaanya. Martin tampak gagah dengan setelan jas berwarna navy dengan kemeja biru muda dengan dua kancing yang sengaja di lepas menambah kesan maco Luci tampil anggun dengan balutan dress panjang, hitam berlengan sebelah sampai siku dan sebelah lengannya lagi terbuka yang ujungnya terbelah hingga setengah pahanya, terpadu sempurna dengan high heels silver yang kontras dengan kulit putihnya. Martin terpaku dengan pemandangan yang tercipta sempurna di hadapannya, tangannya terulur yang di sambut lembut dengan senyum dan jari lentik sang kekasih. "Are you ready baby," lirih Martin. Luci hanya tersenyum mengangguk Keduanya mulai memasuki mobil sedan hitam, melaju ke tempat acara pesta yang di adakan. Acara penghujung pelepasan wisudawan. Ya Martin yang dua hari yang lalu menyatakan cinta pada Luci, laksana gayung bersambut cintanya pun terbalas. Luci yang memang sudah lama mengagumi sosok martin, menyambut ungkapan cinta Martin dengan tangan dan hati yang terbuka. Flashback "Eneng Luci pacarnya kasep tenan eeey. Cocok sama Eneng Luci yang cantik dan pinter." Luci mengaminkan doa yang bang somad Sik penjual mie ayam langganannya. Namun Luci tak menyangka doanya bang somad malah di ijabah langsung. Martin dan Luci yang sedang berada di dalam mobil yang tadinya berniat pulang malah memutuskan ke tempat wisata terdekat. Pantai dimalam hari terlihat indah dengan bulan yang menerangi lautan menjadi perpaduan yang sempurna bagi ombak yang bergulung di hamparan bibir pantai. Kedua insan itu terbius oleh hembusan bayu saga yang membelai lembut tubuh mereka. Suara ombak yang bersahutan dengan deburan karang yang terhempas seakan menjadi sair akan rasa yang tak terucap lisan. "Luc" Martin mulai membuka suara. "Eeemh" Luci hanya berdeham dengan mata terpejam menikmati cumbuan dersik menerpa wajahnya Martin menggenggam sebelah tangan Luci yang sedang bertumpu di pasir pantai. "Apa yang kau rasakan ketika berada di dekatku," lembut tutur yang terucap dari bibir Martin membuat Luci tersenyum, menatap Martin sejenak kemudian beralih memandangi samudra di hadapannya "damai," ucap Luci tak kalah lembutnya. Martin mulai merubah posisi duduknya menghadap Luci, menatap sejenak netra coklat yang beberapa minggu ini mengusik ketenangan ruang hati yang lama tak berpenghuni. Masih dengan menggenggam sebelah tangan Luci tapi kini dengan kedua telapak tangan yang membungkus tangan kecil dan lembut Luci. "Maukah engkau menempati ruang hatiku yang hampa tak bertuan ini?" ucap Martin mantap tapi masih dengan suara lembut sambil meletakkan tangan Luci yang dari tadi digenggam di bilik d**a kirinya. Seketika rona pipi Luci berubah memerah. "Apa maksud mas?" Ucap Luci seolah tak mengerti apa yang di inginkan martin, padahal dalam hatinya sudah ingin melompat berteriak karena bahagia. "Maukah engkau mempercayakan hatimu untukku," Martin semakin mempertegas pernyataannya. Luci tersenyum menatap manik Martin yang mulai tak nampak karena kegelapan. Luci menarik napasnya pelan lalu membuangnya. "Apa mas yakin?" tanya Luci lirih. "Ya aku yakin, maka jadikanlah aku kekasihmu," lantang ucapan Martin namun syarat akan kesungguhan. Luci tersenyum menatap wajah Martin sambil berucap "aku hanya tak tau cara menempatkan hatimu padaku, namun aku tau cara menempatkan hatiku untukmu." Martin akhirnya bisa bernapas lega manakala cintanya terbalas. Di ciumnya punggung tangan Luci yang sedari tadi digenggamnya. Dua jam berlalu keduanya memutuskan pulang sambil bergenggaman tangan memberi kehangatan meski hanya lewat jemari yang bertautan. Flash off Kini kedua kekasih itu sedang menghadiri pesta tahunan di universitas merah putih tempat Martin menjadi dosen, dan sekaligus universitas tempat Luci pernah menimba ilmu. Keduanya memasuki aula hotel yang akan menjadi tempat berlangsungnya acara tahunan itu, Martin dan Luci berjalan bersisian dengan sebelah tangan Martin yang menggandeng mesra pinggang Luci dan satu tangan ia masukkan ke saku celana mahalnya. Senyum keduanya tak pernah mengendor sedari detik kedatangannya. Martin menghampiri rekan sesama dosen dan beberapa tamu penting undangan itu, Martin memperkenalkan Luci pada rekannya. "Luci" seseorang menepuk bahunya Luci langsung menoleh, "Zee" hey keduanya berjabat tangan sambil berpelukan sesaat, pelukan yang biasa mereka lakukan, pelukan sahabat. Martin yang melihat kedekatan Zeedan yang juga sahabatnya itu langsung menarik Luci, dan menempatkan Luci di sebelahnya. "Apa sih Lo, maeh Pepet cewek orang," geram Martin. Zeedan seketika terbelalak sambil menatap Luci meminta penjelasan. Namun Luci hanya mengangguk membenarkan pendengaran dan ucapan Martin. Zeedan kembali memeluk Martin "sorry bro, gue gak tau kalo elo sekarang pacarnya Luci sik cewek setengah laki ini," Zee berucap sambil terkekeh dengan canda. "Apaan, Lo ngatain cewek gue cewek setengah laki," gerutu Martin, sementara Luci hanya memutar bola matanya asal. Hahaha Zeedan tertawa, "sorry bro, tapi gue seneng akhirnya Lo bisa move on dari Mila dan gue tambah seneng dengan pilihan Lo, Luci cewek yang galak dan tangguh, tapi dia juga sangat cantik bukan?" Goda Zeedan pada Martin sahabatnya. "Elo kenal sama cewek gue?" Ha-ha-ha Zeedan tertawa sumbang, sedangkan Martin nampak bingung dengan pikirannya sendiri. "Ya kenal lah, Dia kan alumni universitas merah putih ini juga," kekeh Zeedan namun Martin masih tak mengerti. "Ya ilah, masak elo lupa sama mantan mahasiswi elo yang cukup populer ini, meski dulu dia gak secantik ini," cibir Zeedan dan malah mendapat cubitan keras dari Luci. "Aaah sakit Luk, masih aja garang padahal udah secantik ini, heran." sambung Zeedan sambil memegang bagian pinggangnya yang di cubit, karena beneran sakit. "Oke, emang sih elo dosen di universitas ini meski beda fakultas jadi sebenarnya wajar kalo elo gak tahu siapa Luci Mervino. Tapikan Luci cukup populer dulu meski dengan nama lain LUKKY. Tapi masak ia elo lupa sama satu satunya mahasiswi jurusan bisnis dan tehnik otomotif dengan nilai terbaik tahun lalu," Martin menoleh memandang Luci, meminta penjelasan namun Luci hanya mengangguk sambil mencibirkan bibir seolah-olah membenarkan ucapan Zee. "Pak dosen kita dulu kan terlalu sibuk Zee, selain sibuk sebagai dosen ternyata dia juga mengajar di sekolah menengah atas, terus jadi guru idola yang tampan alhasil selain sibuk ngajar pak dosen kita ini juga sibuk dengan deretan pengagumnya." Beber Luci sambil tersenyum jail. "Ya ya ya, Well jadi sejak kapan kalian jadian?" "Dua hari yang lalu," jawab Luci sambil nyengir "Whaaat,,,Jadi bertahun tahun elo meng---_-" belum sempat Zeedan menyelesaikan ucapannya namun Luci sudah menyumpal mulut Zee dengan tangan mungilnya. Sementara Martin masih tak mengerti akan tingkah konyol kekasih dan juga sahabatnya. Ya Zeedan adalah temen seangkatan Luci ketika di bangku kuliah meski usia keduanya cukup jauh karna Zeedan sebelumnya pernah off beberapa tahun. Zeedan tau segala tentang Luci termasuk rasa yang Luci pendam pada dosennya dulu. Zeedan juga adalah sahabat Martin sahabat yang ia dapat lewat Kamila, manta kekasih Martin. "Pless jangan ngomong apa-apa," bisik Luci sangat lirih namun cukup mampu di dengar jelas oleh telinga Zeedan. "Udah udah hayoo, acaranya sudah akan dimulai." Ucap Martin, kemudian menggandeng mesra pinggang Luci, sementara Zeedan cuma senyum sedikit mencibir. - - - - - - - Di perjalanan pulang seusai pesta jam sudah menunjukkan waktu 11;35 pm. Malam sudah sangat larut cuaca semakin dingin. Kedua pasangan kekasih itu masih asik dengan candanya. "Aku tak tau kalo kamu juga alumni universitas merah putih, karena sumpah aku tak pernah melihatmu sayang," ucap Martin. Luci hanya tersenyum. "Sebenarnya kita dulu sering bertemu hanya saja mas terlalu menutup penglihatan dan mungkin juga hati mas," jawab Luci sekenanya. "Lagi pula wajar seorang guru tak bisa mengingat begitu banyak murid-muridnya tapi jika murid sampe tak mengingat gurunya itu baru namanya kurang ajar." Martin hanya mengangguk membenarkan ucapan Luci. Semakin malam kemacetan masih saja menjadi rutinitas jalanan. Di tengah ocehannya Martin tak menyadari keterdiaman Luci yang sudah terenggut dunia mimpi. "Sayang besok mas jemput ya biar berangkat ke sekolah barengan," ucap Martin yang masih fokus dengan jalanan. Merasa tak mendapatkan jawaban Martin menoleh ke wanita di sebelahnya "saya---- " belum selesai kalimatnya ia malah tersenyum menatap wajah teduh wanitanya yang ternyata sudah tertidur. Sesampai di rumah Luci, Martin tidak langsung membangunkan Luci. Ia menatapnya sejenak mengagumi wajah teduh wanitanya yang kini terlelap, membelai lembut Surai yang berjatuhan di pipi mulusnya dan menyelipkannya ke belakang telinga. Menyapu lembut bibir tipis berbalut lipstik merah muda. Martin tak mampu untuk tidak menyentuhnya lalu "cup" Martin menciumnya lembut hanya ciuman ringan. Menit berikutnya Martin mulai merogoh saku celananya mengambil benda pipih berbetuk persegi panjang, menghidupkannya dan mulai menghubungi seseorang. Telpon pun tersambung. "Hallo" suara di sebrang telpon "Hallo om maaf mengganggu istirahat om" "Ya kenapa?" "Kami di luar om, Luci ketiduran bisa om keluar sebentar, saya gak enak banguninnya," "Ooh ya tunggu, om keluar" Tak sampe menunggu lama Teo pun nampak membuka pintu utama rumahnya dan Martin langsung menyalami tangan Teo. "Bisa bantu om bawa Luci kedalam" Martin tidak menjawab namun langsung menggendong Luci dengan di tuntun Teo menuju kamar atas, kamar Luci. Martin mulai membaringkan tubuh Luci di kasur yang sudah terbalut spray warna hijau bermotip safari, kemudian menyelimutinya, menatapnya sejenak lalu keluar dari kamar itu. "Terima kasih ya nak Martin sudah mengantar putri om dengan selamat," ucap Teo sambil menepuk pundak Martin. "Tak masalah om lagi pula sekarang Luci sudah menerima saya ja,,,,,," Martin menggantung kalimatnya merasa sungkan dan salah tingkah, Sedang Teo hanya tersenyum "Om saya langsung balik sudah terlalu malam" pamit Martin. Dan Teo kembali hanya menganggukan kepala "Hati-hati ya" ucap Teo Martin berlalu meninggalkan pekarangan rumah itu dan menghilang di kejauhan, sedang Teo kembali masuk dan menutup pintu. David Di kelas yang sedang berlangsung David berlari menelusuri koridor sekolah menuju kelas dua belas B. Jam sudah menunjukkan angka 8:00am. Artinya David sudah telat satu jam. Ceklek pintu kelas itu terbuka tampak sang guru sedang menerangkan materi pelajaran. Tatapan keduanya beradu. "Apa jam tangan kamu mati David," tanya sang guru. "Gak buk tadi aku bangun kesiangan," jawab David jujur. "Emang semalem kamu keluyuran kemana sampe bisa bangun kesiangan," cerca sang guru lagi. "Anu buk,,,,,," David gelagapan mencari alasan yang pas, gak mungkin dia mengatakan semaleman habis ngikutin seseorang pergi ke pesta. "Sudah sudah. kamu berdiri di depan sampe jam pelajaran ibu selesai." perintah sang guru, "tapi buk,,,," "Gak ada tapi tapian," potong sang guru yang tak lain adalah Luci. Akhirnya David pasrah dan mulai mengambil tempat dan berdiri sambil mengangkat sebelah kakinya dan memegang kedua telinganya dengan lengan menyilang di depan dadanya Dalam hati Luci bersorak, akan kemenangannya bisa menghukum David tanpa perlawanan. Bukan Luci tidak tau semalem David mengikutinya ketika jalan bersama Martin tapi yang Luci tidak habis pikir ngapain tu bocah ngikutin dia dan pak Martin, tapi Luci bersikap masa bodo. Dia akan tetep mencari alasan untuk menghukum bocah tidak tau sopan santun ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN