Martin masih berada di rumah Luci.
Jika sebelumnya Martin di temani pak Teo ayahnya Luci, kini Luci dan Martin sedang duduk berdua di sofa ruang tengah sambil menonton televisi.
"Jadi gimana keadaan kaki kamu?"~ Martin
"Udah lebih baik. Kamu bisa liat sendiri kan." ~ Luci
"Oh ya sebaiknya besok kamu pake mobil aja ke sekolah atau biar aku jemput aja?" saran Martin.
"Gak usah, entar saya ngerepotin lagi. Lagi pula kaki saya udah gak kenapa kenapa, jadi ya besok saya bawah mobil ke sekolah." Sebenarnya Luci sangat ingin di anter jemput oleh mantan dosennya itu tapi dia tidak mau bersikap terlalu berharap atau agresif. Luci tidak mau Martin menganggapnya terlalu mudah untuk di taklukkan, padalah sejatinya jauh dari kata itu Luci sudah lebih dulu takluk dengan mantan dosennya.
"Kamu udah makan?" Tanya Luci karena mengingat martin yang dari sekolah langsung kerumahnya pasti belum makan dan sekarang jam sudah hampir menunjukkan 7;30 pm.
"Kenapa? Apa kamu lapar?" Martin malah balik bertanya.
"Sebenarnya sih ya. Tadi saya belum sempat makan, karena suasana hati saya tiba-tiba berubah kurang enak," Jelas Luci.
"Jadi sekarang suasana hati kamu udah enak gitu?" Martin terkekeh. Sementara Luci hanya nyengir kuda. " Pake aku saja, kalo saya terdengar terlalu formal" sambung Martin. Dan Luci hanya tersenyum garing.
" Oke. Kita makan yuk. Tapi di luar. Soalnya aku lagi kepengen makan mie ayam bakso." Tawar Luci.
"Jadi nge-det nih ceritanya?"
"Apaan sih. Tidak. Cuma makan mie ayam doang." Sambung Luci sambil terkekeh
"Oke " jawab Martin singkat.
"Pa. papa, Luci mau keluar sama Martin bentar ya. Papa mau nitip sesuatu gak?"
Teo yang sedang berada di kamarnya hanya menjawab, "ya sayang. Papa cuma mau nitip sama Martin suruh jagain putri papa yang cantik itu ya."
Martin yang mendengar ucapan Teo seketika bersemu sumringah tersenyum manis kearah luci.
"Tu, papa kamu aja kayaknya mempercayakan putrinya sama aku. kamu, kira-kira kapan mau mempercayakan hatimu padaku."
Luci tersenyum malu-malu, "apaan sih mas."
"Mas. Ya kayaknya panggilan itu jauh lebih sopan dan terdengar manis." Ucap martin sambil tersenyum.
"Oke mulai sekarang aku panggil kamu dengan panggilan mas Martin, mau?" Tanya Luci sambil mengedipkan sebelah matanya. "Tapi apa gak ada yang akan keberatan jika aku panggil begitu?" Sambung Luci lagi.
"Ya gak lah. Just for you know Luci. I am still free." Setelah mengucap itu, Martin kembali fokus dengan kemudinya. Keduanya menikmati obrolan santai mereka, dan Luci merasa nyaman dengan keberadaan martin.
"Stop mas, kita makan di sana."
Luci menunjuk stan mie ayam bakso seberang jalan yang sudah menjadi langganannya.
"Oke"
Martin memutar kemudinya mengambil arah berlawanan karna stan yang Luci tunjuk berada di seberang jalan.
Martin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, sedikit ragu dengan tempat makan pilihan Luci.
"Kok masih bengong? Ayok," Luci menarik lengan Martin untuk masuk stand mie ayam bakso itu.
"Tenang mas aku jamin di sini bersih percaya deh sama aku." Luci mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin masih bersarang di otak Martin.
"Eeh neng Luci tumben mampir!"
sapa abang penjual mie ayam yang sudah sangat mengenal luci karna sudah menjadi langganan tetap nya selama lebih dari sepuluh tahun.
"Ya bang beberapa hari ini aku sibuk."
Jawab Luci singkat.
"Di bengkel neng?"
"Gak, sekarang aku juga ngajar bang."
"Oh ya, pantes sekarang jarang mampir ke dagangan abang."
"La ini kan aku mampir bang, prasaan baru satu bulan doang aku gak kesini, gimana kalo satu atau dua tahun, bisa bisa Abang beneran buka stand depan rumah aku."
"Hahaha, Eneng bisa aja. Tapi ya, mungkin aja sih neng. Kalo bapak ngijinin, abang mau buka stand depan gerbang rumah eneng, biar eneng gak ada alasan enggak mampir."
Hahahah ,,,kini Luci yang tertawa, "ya tar aku bilangin dah sama papa," ucap Luci santai. "Seperti biasa ya bang," sambung Luci lagi.
"Siap neng geulis."
Hanya tujuh menit, Pesanan mereka sudah siap di hadapan mereka. Dua mangkok mie ayam bakso lengkap dengan pangsit di atasnya. Dua botol teh botol Sosro sebagai pelengkap hidangan itu. Mengingat slogan yang berbunyi apa pun makannya minumnya teh botol Sosro, akhirnya membuat Luci memilih minuman itu.
Luci lebih dulu menikmati makanannya hingga menyisakan setengahnya, sementara Martin masih belum mulai memakan makanan itu.
"Ayok dong mas, kok masih di liatin doang?" Tanya Luci sambil menatap Martin sedikit heran.
"Ya ini juga baru mau makan." Bales Martin ragu.
Akhirnya Martin mulai mencicipi hidangan yang di pesan Luci. Beberapa detik masih belum bersuara. Luci melirik Martin melalui ekor matanya sambil tersenyum.
Luci sudah menyelesaikan makannya tapi masih memandang heran pada Martin yang terlihat sangat menikmati makannya sampai tak menyadari keringat yang berembun di keningnya karena makanan yang di makanya berkuah panas dan pedas.
Luci mengambil beberapa lembar tisu yang di sediakan penjual di atas meja tempat makannya. Lalu mengusap lembut embun yang menghiasi kening hingga pelipis martin.
"Tadi aja ragu makannya, giliran udah tau rasanya lupa sama yang di sebelahnya," ucap Luci terkekeh. Sedang Martin membatu menyadari apa yang Luci lakukan. Batinnya seolah sedang bersorak karna senang, lalu membalas pula dengan kekehan.
Di jarak yang tidak terlalu jauh Somad sang penjual hanya tersenyum melihat interaksi keduanya.
"Cocok. Yang ceweknya cantik dan yang cowoknya ganteng," lirihnya
Luci dan Martin menyelesaikan makannya dengan sedikit menarik otot perut mereka karena cukup membuat perutnya benar-benar puas dan kenyang. Baik Luci ataupun Martin sama-sama menepuk nepuk perutnya bertanda makanan yang udah masuk ke perutnya aman. Dan kembali keduanya tertawa bersama menyadari apa yang mereka lakukan secara bersamaan.
Luci menyelesaikan pembayarannya meski sebelumnya terjadi perdebatan di antara keduanya karna sama-sama ingin membayar, tapi Martin memilih mengalah, setelah sebelumnya di ancam Luci tidak akan makan dengannya lagi kalo dia sampe melarangnya untuk membayar kali ini.
"Eneng Luci pacarnya kasep tenan eeey. Cocok sama Eneng Luci yang cantik dan pinter." Ucap Soman sedikit memainkan kedua alisnya
"Apaan sih bang, dia bukan pacar Luci bang, kami cuma rekan sesama guru di sekolah tempat Luci mengajar." Bales Luci. "Tapi setiap kata kan doa. Aku Aminin aja deh , kali aja beneran aku bisa jadi kekasih Martin." Luci membatin, sambil tersenyum malu sendiri.
Ya sudah lama Luci mengagumi sosok martin. Sejak saat dia masih menjadi mahasiswi dan Martin adalah dosen di universitas merah putih. Meskipun bukan dosen fakultas tehnik otomotif.
Luci sering diam-diam mengamati dari jauh dosen yang terkenal ramah dan tampan itu, namun sampai Luci wisuda Luci tidak pernah punya keberanian untuk sekedar bertegur sapa ataupun sekedar bertukar cerita.
Flashback
Luci sedang mengendarai motornya dengan kecepatan sedang , melaju mengejar waktu. Hari ini dia ada janji dengan sahabat-sahabatnya dan dia sudah telat satu jam.
Luci terus memacu kuda besinya, membelah jalanan yang begitu padat dan panas, matahari seolah menyorot seluruh insan di hamparan bumi.
Lampu lalu lintas yang kebetulan menyala merah seketika menghentikan laju kendaraan Luci.
Dengan jaket jeans kebesaran dan celana motip sobek sobek yang juga sedikit kebesaran, Luci stay di atas motor sportnya. Masih dengan helm yang melekat di kepalanya Luci menangkap sosok yang sangat ia kenal sedang berbicara dengan seseorang. Bukan berbicara tapi terlihat sedang berdebat.
Sesekali sang laki-laki itu menggapai tangan sang gadis tapi sang gadis berkali-kali menepisnya. Sampe lampu lalu lintas berganti warna hijau Luci masih tak beranjak melajukan motornya meski beberapa pengendara lain menegurnya dengan suara klakson yang bersahutan. Luci hanya merapatkan kedua telapak tangannya keatas sebagai isyarat maaf. Luci mulai menggeser motornya dengan menuntun ke tepi jalan seolah-olah motornya mati. Luci memilih menepi tidak jauh dari tempat itu, agar lebih dekat kearah dua orang yang terlihat sedang berdebat.
Terdengar jelas suara laki-laki itu memohon pada sang gadis, namun gadis itu tak jua mengindahkan permohonan laki-laki itu meski dia sudah berlutut di hadapan gadis yang Luci yakini adalah kekasih laki-laki itu.
Ia laki-laki itu adalah Martin sosok dosen yang sudah beberapa tahun ini dia kagumi sedang memohon pada seorang gadis untuk tetap berada di sampingnya, namun sang gadis sepertinya punya pilihan lain.
Laki-laki itu masih bersimpuh dengan kedua lututnya sebagai tumpuan di tanah.
Luci berjalan menghampirinya lalu menepuk bahunya "sabar pak ini tempat umum coba tengok beberapa orang menatap bapak," ucap Luci sambil berjalan kembali ke arah motor yang dia standar dipinggir jalan, masih dengan helm yang menutup kepalanya. Martin menengok punggung orang yang menepuk pundaknya menjauh dan menaiki motornya, lalu melaju menjauh berbaur di kepadatan jalanan.
Itu adalah kali pertama Luci bersuara pada Martin sang dosen pujaan hatinya kala itu.
******
Luci
Luci merebahkan tubuhnya di ranjang empuknya setelah sebelumnya dia membersihkan tubuhnya dengan air hangat. Piyama warna merah maron menjadi pilihannya untuk memulai aktivitasnya di dunia mimpi.
Sudah satu jam lebih Luci merebahkan tubuhnya di ranjang tempat tidurnya. Membolak balikkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan mata terpejam tapi tetap tidak bisa terlelap. Sekelebat bayangan tadi sore ketika di caffe terus mengganggu pikiran Luci. Bayangan yang siswanya lakukan padanya, seolah mengotori otak dan pikirannya.
Perkataan David sungguh menggangu tidurnya.
"Bukankah kau yang memulai ini ahh? apa kau akan mengaku kalah dari seorang bocah"
Lucu juga ingat, jika dia yang lebih dulu melakukannya pada David. Hanya saja dia tidak menyangka kalau David akan membalasnya dengan yang jauh lebih kasar dan dalam, dan sialnya bukanya menolak dia malah membalasnya.
Luci menggosok bibirnya berkali-kali, sebelum kesadarannya terenggut ke dunia mimpi.
Di sekolah
Luci baru saja memasuki ruang guru. Matanya memicing dan senyumnya merekah menyadari ada setangkai mawar merah di atas mejanya. Sementara ruangan itu sudah sepi karena mungkin para pemilik meja sudah mulai menjalankan tugas mereka masing-masing ( mengajar).
Dalam hati Luci berpikir mungkin bunga ini dari Martin. Senyumnya langsung merekah, seketika hatinya menghangat. Lalu Luci membersihkan daun dan duri yang masih menempel di batang pohon bunga mawar itu. Luci menggulung tinggi rambutnya dan menyematkan tangkai mawar itu sebagai Supit untuk menjepit rambutnya, jadilah sekarang mawar itu menghiasi gulungan rambut Luci di sebelah kanan yang menyerupai konde.
Luci berjalan menelusuri sepanjang koridor sekolah menuju lantai dua sekolah itu, sambil menenteng satu buku materi pelajaran di tangannya.
Ceklek
Pintu ruang kelas dua belas B.
"Selamat pagi," sapa nya lembut pada seluruh anak murid di kelas itu.
"Selamat pagi" jawab serentak para murid.
Mengabsen satu persatu murid di kelas itu.
"Oke jadi semuanya sudah siap, ibu berharap otak kalian masih fresh jika ibu memberi tugas untuk membuat cerita pendek ( cerpen ) dan harus di kumpulkan hari ini juga," Ucap Luci setelahnya
Kelas mulai riuh, namun kembali tenang setelah semuanya mulai sibuk dengan kertas dan pikirannya masing-masing.
Luci mengangkat wajahnya, pandangan matanya kini bertemu dengan sepasang netra indah keabuan yang sedikit sayu milik David. Tatapannya beradu tak ingin mengalah satu sama lainnya. Seolah keduanya sedang menyampaikan kata lewat tatapan keduanya.
Senyum tampak terbit di ujung bibir David, tapi tidak dengan Luci. Dia merasa ingin sekali memukul kepala bocah yang sudah dengan senonoh bersikap tidak sopan padanya.
Jam pelajaran berakhir.
Luci berjalan mengambil satu persatu tugas cerpen yang tadi ia berikan.
Luci sudah sampai meja David , tapi David masih enggan menyerahkan tugas yang entah dia sudah mengerjakannya atau tidak.
"David" panggil Luci sambil mengulurkan tangannya meminta tugas David. David tersenyum jahil.
"Buk, sesuai kesepakatan kita di lapangan basket kemarin , gue,,, eeh aku ingin menjadi murid yang baik dengan mengikuti seluruh pelajaran di sekolah ini," ucap David dengan senyum yang begitu manis menghiasi bibir David.
"Bagus." ucap Luci tulus
"Tapi buk, bisakah ibu membantuku untuk itu?" ~ David
Luci kembali menatap David dengan kening berkerut pertanda ketidak mengertiannya.
"Ap___ apa yang bisa ibu bantu David?" Tanya Luci sedikit ragu. Pasalnya dia belum seutuhnya melupakan inciden antara dirinya dan David kemarin, terlebih lagi David belum juga meminta maaf padanya.
"Aku mau ibu menjadi mentor belajarku di luar sekolah." Jawab David mantap.
"Whaaaat,,,"
Semua siswa siswi di kelas itu syok dengan pernyataan David yang meminta ibu Luci menjadi mentor belajarnya di luar jam sekolah.
"Kalo ibu mau tambahan honor aku bisa pastikan aku bisa memberikannya pada ibu asalkan ibu bersedia. Pleeesss." sambung David. Kini senyum David berubah mejadi senyuman memelas dan memohon sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadanya.
Luci gugup.
Di satu sisi ia tidak ingin murid yang lain merasa kecewa jika dia menolak keinginan David yang ingin belajar lebih baik mengingat beberapa pernyataan guru lain kalau David, anak itu kesulitan menerima beberapa mata pelajaran. Tapi di satu sisi, Luci juga takut jika ini hanya akal akalan David untuk mengerjainya atau mungkin ada rencana terselubung di balik niatnya itu.
"David kamu mungkin membutuhkan seorang teman sebaya mu yang lebih memahami tingkat kesulitan belajarmu untuk sharing, dan menerima masukan dari teman sebaya akan lebih mudah untukmu." Saran Luci
"Tidak." David dengan tegas menjawab tidak. "Aku ingin ibu yang akan mengajari aku dan membantuku belajar. Aku janji aku tidak akan mengecewakan ibu." Mohon David pada gurunya itu
Luci menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya pelan namun tidak juga menjawab pertanyaan David. Luci memilih berjalan meninggalkan kelas itu tapi David buru-buru mengikuti langkah gurunya itu.
Di sepanjang koridor sekolah David terus merengek seperti anak yang tidak di berikan uang jajan oleh ibunya.
"Ayolah buk! Untuk kejadian kemarin aku sungguh sungguh minta maaf, aku salah sudah berbuat kurang ajar sama ibu, jadi aku minta maaf."
"Maaf,,,Maaf,,,,,,Maaf"
David masih saja merengek sambil menjewer telinganya sendiri dan menghalangi langkah Luci. Entah apa yang David rencanakan di otaknya. Belum pernah David bersikap kekanak-kanakan seperti yang sedang dia lakukan saat ini. David seolah-olah sedang tidak menjadi dirinya sendiri saat ini.
"David stop. Ibu akan mencarikan mu mentor yang terbaik dan tepat untukmu tapi bukan ibu pastinya." Kesal Luci
"Aku tidak mau. Aku cuma mau ibu yang akan menjadi mentor aku belajar, dan mulai nanti sore aku akan dateng ke rumah ibu untuk belajar lebih baik, jadi siap-siap saja ya buk." Setelah mengatakan itu David berlalu dengan santai, David tersenyum sumringah dan berbalik melambaikan tangan ke arah Luci dan kembali ke kelasnya sambil berteriak rendah, "Dahhh ibu Luci,,, sampai jumpa nanti sore."
"David. David, ibu belum bilang ya." Teriak Luci
"Aku gak mau tau pokoknya harus."
Teriak David lagi.
Siiith
Luci berdesit "dasar bocah gak punya sopan santun," kesal Luci , "Dia kan bisa menyuruh papanya mencarikannya guru private yang bagus dan berpengalaman, kenapa mesti aku. Aaah kesialan apalagi ini." Batin Luci
David
Semalaman penuh David menyusun strategi untuk mendekati Luci. Cara apa yang akan dia gunakan agar gurunya itu tidak menolaknya.
Di kalahkan dua kali oleh gurunya itu membuatnya merasa tertantang untuk menaklukkan gurunya itu. Lalu terbesit ingatan akan perjanjian antara dia dan gurunya itu saat bermain basket tunggal kemarin pagi.
Dan "yes"
Itu akan menjadi senjata yang mau tidak mau akan menyerang balik gurunya dan sekaligus akan menjadi tameng untuknya, dengan begitu dia lebih leluasa bertemu dan berdekatan dengan gurunya itu.
Maxi, Canon, Hans , dan Coco menatap David dengan tatapan menyelidik nya. Maxi yang berdiri di ambang pintu sambil bersidekap d**a dan canon yang bertolak pinggang sementara Hans dan Coco juga tak kalah heran. Mereka tidak habis pikir apa yang terjadi pada sahabatnya itu. "Apa kemarin dia kejedot pintu atau terjatuh di kamar mandi dan mengakibatkan otaknya terbentur sehingga dia hilang ingatan dan sekarang bersikap seolah dia siswa alay," batin Hans tanpa berani dia ucapkan,
"Stop liatin gue kayak gitu.
Gue ngeri liat muka Lu pada yang menyeramkan macam tu." Ucap David terkekeh melewati keempat sahabatnya yang berdiri di ambang pintu kelas.
"Lu lagi gak sakitkan Dave?
Apa Lu lagi kesambet jin penunggu parkiran sampe Lu berubah jadi alay?" Tanya Hans namun David hanya memberinya senyum yang bahkan menurut mereka sangat-sangat langka bagi seorang David fabian.
"David come on bro. Jika Lu mau gue bisa ngajarin Lu dua puluh empat jam sampe Lu benar benar memahami pelajaran apa yang sulit Lu pahami" sambung Hans. Ya di antara ke lima sahabat itu hans memang satu satunya yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata.
Hans masuk dalam deretan siswa berprestasi dan cerdas dalam segala mata pelajaran di sekolah.
"Udah ,, udah Lu pada brisik tau. Kali ini gue mohon jangan ikut campur rencana gue." Ucap David talak dan tak mau ada pertanyaan yang akan menyudutkannya dengan jawaban. "Pokoknya kali ini gue harus menaklukkan guru itu bagaimana pun caranya, entah itu cara halus ataupun cara licik dan memaksa." Batin David dan tentu saja ia hanya mengucapnya dalam hati dan cuma dia yang mendengarnya. selalu saja seperti itu.