"Sintia, siapa ini? Eh Harum?" Harum tahu saat masuk semua tidak akan mudah, meski dia sering mendapat hinaan dari orang- orang kaya seperti orang tua Sintia dan Firman, tapi, harus Harum akui, Harum selalu sakit hati. Apalagi saat ini, saat terlihat dengan kentara perbedaan di antara mereka. "Kenapa gak bilang kalau mau datang, tahu begitu bisa aku pinjamkan gaun, malu- maluin banget datang pake seragam pabrik." Harum menunduk, lalu melihat sekitanya. Hingga tatapannya jatuh pada Firman yang berdiri di antara para tamu pria yang memakai jas formal sama seperti dirinya. Dan begitu nampak perbedaan antara Firman dan Harum.
"Gak papa loh bi, mungkin Harum gak sempet pulang dan abis kerja langsung kesini."
Harum menoleh, bukan! Bukan itu yang di katakan Sintia tadi. Harum sungguh tak tahu pestanya akan semeriah ini.
Sintia masih tersenyum tak peduli Harum yang tertegun "Aku gak keberatan."
"Tapi, bukannya gak sopan ya, datang ke pesta dengan penampilan seperti ini." kalian pasti tak menyangka jika yang sejak tadi bicara adalah Mama Firman, dan sekarang Firman justru hanya diam dan menatapnya seolah dia adalah pertunjukan. Dan jangan lupakan tatapan sekitarnya juga membuat Harum merasa rendah.
"Maaf Bi, tapi Sintia bilang kalau ini cuma acara sederhana, jadi aku pikir-" ucapan Harum terhenti saat Sintia menyela.
"Kamu kok ngomong gitu sih Rum, jelas aku bilang aku bikin pesta, kenapa kamu menyalahkan aku, aku gak keberatan kok, kalau kamu sibuk dan gak sempet untuk ganti baju."
"Kamu gak bilang kayak gitu sama aku tadi-"
"Harum, mungkin kamu salah paham sama ucapan Sintia. Jelas acara sederhana kami gak bisa di samakan dengan acara sederhana versi orang miskin." lagi ucapan Harum di potong, kali ini pelakunya Bi Mirna Mama Sintia.
Harum menelan ludahnya kasar "Jelas sederhana versi orang miskin tuh cuma potong kue, terus selesai. Itu pun kalau kue nya ada." perkataan itu diiringi tawa dari semua orang.
"Jeng Mirna bener, kita ini punya relasi yang kalau mengadakan pesta tuh gak bisa begitu doang. Harum gak tahu sih soalnya kita ada di kasta berbeda." mama Firman menimpali.
"Ma, Bi, aku gak papa kok, lagian aku udah seneng Harum datang, gak masalah."
Harum mengepalkan tangannya "Jelas bukan itu yang kamu katakan sama aku Sin!"
"Apa sih maksud kamu Rum?"
"Kamu sengaja melakukan ini sama aku kan, kamu membuat aku menjadi cemoohan orang- orang?"
"Rum, waktu aku telepon kamu, jelas aku bilang kalau aku mau adakan pesta, aku bahkan berniat mau pinjamin kamu gaun, tapi kamu nolak."
"Sintia kamu?" Harum benar- benar tak percaya dengan apa yang Sintia katakan, bagaimana bisa Sintia mengatakan itu, sedangkan Harum sungguh tak mendengarnya.
"Nah, kan jelas- jelas kamu memang berniat gak sopan, datang ke pesta orang dengan pakaian kaya gitu. Gak menghargai banget sih."
"Jelas- jelas Sintia yang-"
"Cukup!" ucapan Harum terhenti saat terdengar suara Firman. Pria itu berjalan ke arahnya.
"Kamu kenapa sih Rum, bikin malu aja," desis Firman.
"Gak gitu Man, Sintia beneran gak bilang kalau pestanya kayak gini."
"Bohong! Jelas Sintia bilang itu, aku sendiri yang denger!"
Harum tertegun "Kamu yang nolak, waktu Sintia mau pinjamin gaun!"
"Apa?"
"Sintia, nelpon kamu depan aku."
Harum mengerjapkan matanya, lalu tatapannya jatuh pada Sintia yang menyeringai. Apa maksudnya?
Sintia mengangkat alisnya, dia memang menghubungi Harum di depan Firman. Tapi, pria itu tak tahu perkataan Sintia sebelumnya, dan saat Firman datang sebenarnya Sintia sudah mengakhiri panggilannya, dan hanya pura- pura bicara untuk membuat alibinya meyakinkan.
Dengan kata lain Sintia sudah merencanakan ini.
"Aku gak bohong Man, Sintia-" lagi ucapan Harum terhenti saat Firman menarik kasar tangannya keluar dari rumah Sintia.
"Lepas Firman ini sakit." Harum mencoba melepaskan tangannya yang di genggam erat, hingga Firman menghempaskan tangan Harum.
"Kamu mending pulang deh Rum. Jangan bikin tambah malu."
Harum mengusap pergelangan tangannya "Aku memang berniat untuk pulang tadi, tapi Sintia yang minta aku masuk, dan aku gak tahu kalau dia justru sengaja melakukan ini, dan membaut aku malu lalu di tertawakan."
"Harum, bukan! Bukan kamu, tapi aku ... Aku yang malu."
"Apa?!"
"Kamu tahu, orang sini semua tahu kalau kamu itu pacarku, dan kamu sengaja datang dengan penampilan kayak gini."
"Kamu malu?"
Harum mengepalkan tangannya, susah payah dia mengendalikan dirinya, tapi berikutnya hati Harum di buat hancur berkeping- keping saat mendengar ucapan Firman selanjutnya.
"Aku cape Rum, sama tingkah kamu,mending kita putus aja."
Setetes air mata jatuh di pipi Harum, memang apa yang dia harapkan dari janji Firman, yang katanya akan memperjuangkannya. Bahkan pria itu sama sekali tak membelanya saat mamanya dengan tega menghinanya. Dan sekarang Firman mengatakan dia lelah lalu memutuskannya.
Firman tersenyum dalam hati saat melihat Harum menangis. Firman yakin setelah ini Harum akan merubah sikapnya agar tidak terlalu menekannya atau setidaknya sedikit memperhatikan penampilannya kelak. Rencana untuk menggertak Harum sepertinya akan berhasil.
Harum mengusap air matanya "Putus?"
"Ya." Firman masih mempertahankan raut wajahnya, menunjukkan kalau dia benar- benar marah. Namun perkataan Harum selanjutnya membuatnya terkejut.
"Oke, kita putus." Harum mengusap kasar air matanya. "Dan maaf, kalau selama ini aku bikin kamu malu." setelah itu Harum pergi dengan perasaan hancur.
"Harum, tunggu." Firman berusaha meraih Harum, namun Sintia menahannya.
"Firman."
"Sintia, gimana ini. Kok Harum setuju putus," katanya dengan panik. Ini tidak ada dalam rencananya. Harusnya Harum langsung memohon dan Firman akan memaafkan, lalu meminta Harum untuk tak terlalu mengekangnya lagi.
"Gak sekarang Man, biarin dia merenung duku, aku yakin setelah Harum tenang dia akan datang dan minta maaf."
Firman mengangguk "Kamu benar, lagian hari ini dia udah keterlaluan, dia harus bisa menghargai orang lain." Firman hanya takut, sungguh- sungguh takut akan benar- benat kehilangan Harum.
Sintia menyeringai menatap kepergian Harum. "Yuk Man, pestanya mau dimulai."
Harum menyusuri jalanan yang mulai gelap dengan air mata yang terus mengalir, tak menyangka hubungan yang susah payah di jalaninya selama ini akan kandas, hanya karena rasa malu.
Bolehkah ia simpulkan kalau pengorbanannya sia- sia? Nyatanya Firman tidak sebaik yang dia kenal selama ini. Dan Sintia? apa tujuannya sebenarnya?
Langkah Harum terhenti saat menyadari apa yang baru saja terjadi, mengingat kembali bagaimana hubungan dan Firman, lalu keberadaan Sintia diantara mereka.
Harum tertawa getir "Benar harusnya aku sadar kalau sejak awal dia gak tulus." Harum berjongkok dan menutup wajahnya, hingga sebuah suara terdengar membuatnya mendongak.
"Udah sadar kan? Kamu, sama Firman gak akan pernah bisa bersatu. Sadari tempat kamu! Setidaknya orang miskin seperti kamu harus tahu diri. Rendahan, beraninya bermimpi bersanding dengan Firman, kamu itu cuma anak buruh tani, sana nikah sama buruh tani juga!"