YANG DINAMAKAN KARMA

1047 Kata
Melina membanting tas yang dibawanya. Ia keliatan kesal. Dasep pun tak jauh berbeda. Wajahnya ditekuk dan sama sekali tidak enak untuk dlihat. Iyem yang melihat situasi seperti itu,buru- buru masuk ke kamar si kembar. Khawatir jika kedua anak itu kaget atau menangis. "Kurang ajar si Halimah itu. Rupanya dia sengaja mengundang kita untuk pamer. Mau bilang kalau sekarang dia punya suami kaya raya, punya pengaruh besar. Pasti begitu pikirannya," gerutu Dasep. "Ya, kamu juga sih mas. Kamu nggak becus, coba kalau kamu becus kerja, punya relasi banyak. Coba toko kamu itu join juga sama pejabat- pejabat! Kamu harus lebih bisa memajukan usaha, dong!" kata Melina. Sontak saja Dasep melotot geram, "Eh, kamu kalau ngomong yang bener! Kemaren siapa yang ngabis- ngabisin uang sampe ratusan juta cuma untuk barang-barang nggak guna?! Kamu harusnya yang sedikit mikir, katanya sarjana ekonomi, tapi ngatur keuangan aja nggak becus! Jangankan atur keuangan, akhlak kamu aja begitu!" "Aku mau kerja dulu kan bapak ibu kamu nggak kasi izin. Kamu sendiri dulu bilang waktu kita masih pacaran, kalau aku cukup di rumah, urusin kamu dan si Siska itu. Untung aja, sekarang udah dibawa sama ibunya. Kalau nggak, males banget aku ngurus anak yang bukan darah dagingku," umpat Melina. "Oh, jadi dulu itu kamu kepaksa urus anakku?!" hardik Dasep kesal. "Kalau iya, kamu mau apa? Aku tu dulu mikir kalau nikah sama kamu hidup aku bakalan senang, nggak taunya zonk. Malah susah, tau gitu aku dulu mendingan cari pengusaha yang lebih kaya atau dokter kaya si Halimah!" "Berani ya kamu?!" Dasep meradang, dalam sekali sentak ia mencengkram leher baju Melina dan menariknya dengan kasar. "Aduh, sakit Mas, sekarang kamu KDRT terus ya sama aku?! Aku laporin kamu sama kakak aku!" "Silakan kamu laporkan,tapi jangan harap kamu bisa hidup tenang, aku akan bikin hidup kamu makin susah. Dan kalau kamu minta cerai, aku nggak akan kasi harta gono gini sedikit pun, apalagi hak asuh anak. Mau kamu?!" Dasep melepas cengkraman tangannya dengan kasar, hingga Melina kehilangan keseimbangan dan jatuh di lantai. "Asal kamu tau ya, si Halimah meski dia cuma tamatan SMP tapi punya sopan santun yang lebih baik dari kamu. Dihina bagaimana pun juga sama almarhum ibu dia tetap sopan, nggak pernah jawab kaya kamu. Apa lagi sama aku, dia nggak pernah berani ngelawan. Apa yang aku bilang, dia nurut. Ngga banyak nuntut begini begitu. Mungkin akan lain cerita kalau aku dulu nggak selingkuh sama kamu. Kamu itu pembawa sial! Dulu perusahaanku selalu menang tender banyak. Tapi, sejak kamu yang jadi istriku, semua kacau! Sial kamu ini siaaaaaall!!!!" Suara Dasep terdengar menggelegar. Melina hanya mampu diam, tak berdaya. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia tau, jika ia bicara sedikit saja, Dasep pasti akan menampar atau menMariam nya seperti tempo hari. Ah, malang betul nasibku sekarang, keluh Melina dalam hati. Melina terisak-isak, ia tak mampu lagi menahan rasa sakit yang mendera dihatinya. Sial katanya, wanita pembawa sial. Rasanya begitu perih di katakan seperti itu oleh suami sendiri. "Kamu berubah, Mas. Jauh sekali berubah," keluh Melina lirih. Dasep berjongkok di hadapan Melina, dengan kasar ia menarik dagu Melina sehingga wajah Melina mau tak mau menatapnya. Sambil menyeringai, cuiih , Dasep meludahi wajah Melina, membuat wanita itu bertambah perih. "Asal kau tau, aku akan segera menikah lagi, dan madumu itu akan aku bawa untuk tinggal disini. Pilihanmu hanya dua cerai dan angkat kaki dari sini tanpa sepeser pun, dan tanpa anak-anak. Atau menerima pernikahanku dengan Yulita." Bagaikan mendengar petir di siang hari bolong, Melina terperanjat kaget. Benar ternyata dugaannya selama ini bahwa Dasep memiliki wanita idaman lain. Yulita ... namanya Yulita. Pasti wanita itu cantik seperti namanya hingga Dasep tergila-gila, pikir Melina dalam hati. "Y-Yulita?" "Iya, namanya Yulita. Dia janda dengan anak satu. Tapi, dia itu aku rasa bisa jauh lebih baik dari kamu! Apa lagi dalam urusan ranjang, dia jauh diatas kamu!" Lagi- lagi Melina merasa hatinya tersayat- sayat. Lukanya tidak berdarah, tapi perihnya begitu terasa. Setelah puas memaki istrinya itu, Dasep pun beranjak pergi. Kemana lagi kalau bukan menemui Yulita. Sementara Melina meraung meratapi nasibnya yang begitu pedih. Ia menyeka bekas ludah Dasep di wajahnya dengan punggung tangannya. Melina merasa begitu terhina. Sejak kecil, kedua orang tuanya selalu memanjakannya. Bahkan, tidak pernah sekali pun ia dipukul, atau dibentak dengan kasar. Apalagi sampai diludahi seperti ini. Rasanya seperti seorang pengemis yang begitu kotor. Melina menempelkan telapak tangannya di dadanya. Menekannya, terasa begitu sakit, perih. Ia pun hanya bisa menangis pilu. Ditumpahkannya air matanya. Iyem yang mendengar tangisan Melina dari dalam kamar anak mereka pun ikut merasa pilu. Melina memang bukan majikan yang baik, bagi Iyem. Tapi, Iyem ingat almarhum Mariam pernah menitipkan menantunya itu kepadanya. Iyem pun jadi merasa tidak tega. Iyem pun perlahan keluar kamar, dengan hati- hati ia menutup pintu supaya si kembar tidak terbangun. Melihat keadaan Melina yang terduduk di lantai Iyem bertambah tidak tega. Pakaian Melina kusut, bahkan ada yang sobek, mungkin karena cengkraman tangan Dasep yang begitu kuat. Rambutnya kusut masai, air matanya berderai- derai. Ia nampak begitu putus asa. Perlahan Iyem pun beranjak ke kamar Melina. Diisinya bathtub di kamar mandi Melina dengan air hangat. Lantas ia pun ke dapur dan membuatkan segelas teh hangat dan air putih dingin. Lalu membawanya kepada Melina. Iyem meletakkan minuman di atas meja, lalu ia menyentuh tubuh majikannya itu perlahan. "Bu, ibu minum dulu ya, Bu." Melina yang melihat Iyem langsung menghambur ke dalam pelukan Iyem. "Sa-saya apa sehina itu, Bik? Apa saya benar pembawa sial, Bik? Apa ini karma buat saya, karena dulu saya sudah merebut Dasep dari Halimah?" Ujar Melina terbata- bata di sela isak tangisnya. Iyem mengusap- usap punggung majikannya itu. "Sudahlah,Ibu harus kuat bu. Lebih baik, sekarang ibu menenangkan diri dulu. Ayo, diminum dulu airnya bu, lalu Ibu mandi. Iyem sudah isi bath tub Ibu dengan air hangat , sekarang pasti sudah penuh. Ibu bisa mandi,supaya segar dan ibu bisa berpikir dengan jernih. Ingat si kembar, Bu,"ujar Iyem. Melina menghela napas panjang, ia meneguk sedikit teh hangatnya. Lalu ia pun bangkit berdiri di bantu Iyem menuju ke kamarnya. Setelah berendam dan mandi, Melina merasa sedikit tenang. "Bik, saya mau tidur sebentar saja, tolong jaga dulu si kembar ya. Tidak usah memasak. Ini, nanti bibik pesan makanan lewat aplikasi online saja," ujar Melina sambil memberikan beberapa lembar uang ke tangan Iyem. "Iya, Ibu Istirahat saja dulu. Biar saya jaga Aditya."

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN