MANTAN MERTUA

1012 Kata
Sepulang dari Yogya, Halimah dengan semangat menjalani kejar paket A- nya. Minimal dia bisa . Halimah ingin mendapatkan nilai yang baik supaya ia tidak kesulitan juga saat meneruskan kuliah di London nanti. Seminggu 2 kali Halimah selalu membawa Siska berkunjung ke rumah Komar dan Mariam untuk menjenguk kakek dan neneknya itu. Terkadang, Yoga ikut mengantar jika tidak sedang bertugas di rumah sakit. Halimah juga baru tau jika ternyata Yoga adalah pengusaha muda. Ia menjadi dokter karena ingin mengabdikan diri. Yoga memiliki beberapa pabrik baju rajutan juga sebuah restoran sunda di daerah Leuwi Panjang. Dia juga memiliki toko oleh-oleh di stasiun Bandung. Itulah sebabnya Yoga tidak pernah memasang tarif tinggi untuk pasien yang berobat ke rumahnya. Tak jarang jika pasien tersebut kurang mampu Yoga tidak mau dibayar sama sekali, Halimah masih tetap bekerja pada ceu Kokom. Sejak dulu Halimah memang tipe pekerja keras. Sekali pun nanti ia sudah menikah, Halimah akan meminta izin pada Yoga untuk tetap bisa bekerja, apa saja. Yang penting tidak melalaikan tugasnya sebagai istri. Dan, hari itu, Halimah mengunjungi Komar dan Mariam seperti biasanya. Namun, saat Halimah datang ada seorang lelaki dengan pakaian rapi sedang berbincang serius dengan Komar dan Mariam. Sedikit ragu, Halimah mengucapkan salam. "Assalamualaikum, Pak, Bu." Komar dan Mariam langsung tersenyum menyambut, sementara lelaki itu langsung bangkit dan mohon pamit. "Ada masalah, Bu?" "Tidak, hanya masalah jual beli tanah saja. Tapi, Ibu dan Bapak tidak ingin Dasep nanti tau. Masuk Halimah, sini Siska sama eyang." Siska langsung menghambur ke dalam pelukan Mariam. “Duh, amih kangen sama Siska. Udah lama nggak tengok Amih sama Eyang nih,” kata Mariam sambil mencium Siska. "Halimah, dua minggu lagi kami akan berangkat untuk menunaikan ibadah Haji." Komar berkata dengan tenang. Halimah menatap Komar dan Mariam bergantian. "Mendadak sekali, Pak?" ujar Halimah. "Kami sudah mendaftar dari dua tahun lalu sebenarnya, Halimah. Hanya saja baru tahun ini mendapatkan kuota." "Ibu dan Bapak sudah tua, Halimah. Anak sudah bisa mandiri. Cucu sudah ada. Sudah waktunya memikirkan diri kami sendiri. Dan impian kami berdua adalah bisa menunaikan ibadah Haji. Kami ingin menjadi tamunya Allah dan mencium Ka'bah. Ingin meminum air zam-zam langsung dari sumbernya," ujar Mariam. "Minggu depan Ibu akan mengadakan selamatan kecil, kamu datang ya Nak. Oya, undang juga dokter Yoga." "Baik, Bu." "Halimah, Bapak dan Ibu akan mendoakan supaya kamu dan dokter Yoga bisa dipersatukan dalam pernikahan yang sakinah , mawadah dan warohmah dari sana nanti,” ujar Komar. Halimah menghela napas panjang dan tersenyum. "Terimakasih banyak, Pak." "Oya, Bapak sudah cerita juga Halimah. Kalau rumah yang sekarang kamu tempati itu Bapak yang membelikannya, kan? Ibu minta tidak perlu Dasep apalagi Hesti tau akan hal ini. Termasuk tabungan yang Bapak berikan. Itu adalah milik Siska. Ibu liat Hesti memiliki sifat serakah. Ibu takut, jika sesuatu nanti terjadi pada Bapak dan Ibu, Siska tidak dapat apa pun. Baguslah Bapak sudah memberikannya kepadamu. Ibu yakin, kehidupanmu dengan dokter Yoga tidak akan mengalami kekurangan. Tapi, tetap saja Siska punya hak dari sebagian harta yang Bapak miliki sekarang. Apa lagi, dulu Dasep sama sekali tidak memberimu apa- apa sewaktu bercerai," kata Mariam. Halimah hanya diam. Sebenarnya, ia tidak menginginkan harta apa pun dulu. Bagi Halimah, Siska adalah hartanya . Sayang, waktu itu hak asuh memang dimenangkan oleh Dasep. "Apakah ada yang bisa Halimah bantu nanti, Bu?" tanya Halimah mengalihkan pembicaraan. "Ibu sudah memesan catering, Halimah. Jadi tidak perlulah repot. Yang penting kamu datang saja," jawab Mariam. "Memang, Eyang mau ke mana sih? Kok pake ada acara selamatan segala?" tanya Siska sedikit kepo. "Eyang mau pergi beribadah sayang," jawab Halimah. "Kan Solat bisa di rumah. Ngapain pergi jauh-jauh?" "Ibadah Haji itu wajib hukumnya bagi mereka yang mampu, Siska. Karena Eyang dan Eyang Uti mampu, jadi ya harus dijalankan. Jadi, eyangnya harus berangkat. Nggak lama kok di sana, hanya empat puluh hari aja." "Siska nggak boleh ikut ya?" Mariam dan Komar tertawa geli mendengar pertanyaan cucunya itu. "Ya nggak boleh dong, Nia. Kan bukan mau main- main di sana," jawab Komar. "Halimah, kalau boleh, biarkan Siska menginap di sini sampai minggu depan. Ibu dan Bapak kan, lama nanti nggak ketemu Siska," pinta Mariam. Halimah tersenyum, sebenarnya ia merasa berat. Dan, meskipun sikap Mariam sudah banyak berubah kepadanya. Tapi, Halimah sedikit khawatir. Tapi, ia merasa tidak tega juga jika tidak mengizinkan. Karena Komar dan Mariam akan berangkat Haji pasti akan lama juga nantinya tidak bertemu. "Baiklah, tidak apa-apa jika Siska menginap, Bu. Tapi, bajunya?" "Baju nanti gampang, suruh Atun beli aja." "Ya sudah terserah Ibu saja. Asal jangan malah merepotkan nanti ya, Bu." "Repot apa, Siska kan bukan bayi lagi, Halimah." Halimah hanya terkekeh geli. Lalu ia beralih pada putrinya yang asik bermain lego- legoan di dekat mereka. "Siska mau nginep di sini nggak sama eyang?" tanya Mariam. Siska seketika menghentikan permainannya. Ia menatap Halimah, seolah meminta izin. Halimah tersenyum dan membelai rambut putrinya itu. "Boleh kok, tapi harus janji. Nggak boleh keluar sendirian, nggak boleh nyusahin bik Atun, apalagi nyusahin eyang. Waktunya makan harus makan, jangan minta di suapin ya. Tidur juga jangan terlalu malam," jawab Halimah dengan persyaratan. Siska tampak gembira, sorot matanya begitu berbinar-binar ceria. "Iya, Siska janji Ma. Siska nggak akan bikin susah atau keluar sendiri lagi." Mariam menepuk bahu Halimah dengan lembut. "Ibu yang akan menjaganya, kamu tenang saja." "Setiap sore saya akan kemari ya, Bu, selama Siska di sini. Boleh?" Mariam tertawa kecil, "Aduh Halimah, ya tentu boleh, memangnya kenapa? Ibu tidak melarang. Kamu boleh kemari kapan saja. Menginap pun boleh,ya kan Pak?" Komar mengangguk, ia tersenyum hangat. "Kamu memang bukan menantu kami lagi, Halimah. Tetapi, kamu adalah ibu dari cucu kami. Yang artinya, kamu adalah bagian dari keluarga." Komar berkata tegas. "Terima kasih banyak, Pak, Bu." Halimah berkata takjim. Halimah merasa bersyukur, banyak hal yang baik yang terjadi dalam hidupnya. Sebenarnya, Halimah pun tidak merasa dendam kepada Dasep atau Hesti. Halimah merasa, mungkin selama dengan Dasep, Halimah belum bisa menjadi istri yang baik. Mungkin, dulu mereka juga kurang baik dalam berkomunikasi. Tetapi, kini segalanya telah terjadi. Halimah tidak ingin menyesalinya sekarang. Hidup akan terus berjalan. Halimah tidak tau apa yang akan terjadi esok atau lusa. Tetapi, Halimah ingin menjalaninya dengan baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN