Semalam Fiona tidak bisa tidur, jadi pagi ini Fiona mengantuk. Fiona ingin tertidur, tapi Fiona tidak bisa melakukan hal tersebut karena pagi ini Fiona harus berkuliah.
Setelah berendam selama hampir 30 menit, Fiona merasa jika rasa kantuknya berkurang meskipun hanya sedikit.
1 jam adalah waktu yang Fiona butuhkan untuk bersiap-siap. Pagi ini Fiona mengenakan celana panjang, begitu juga dengan bajunya.
Sekarang Fiona sudah berada di ruang makan. Fiona akan sarapan terlebih dulu sebelum nanti pergi kuliah.
Tadi pagi, Fiona sudah menghubungi teman-temannya, jadi pagi ini Fiona tidak akan berangkat sendiri, tapi bersama dengan teman-temannya.
Fiona sontak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Fiona berpikir jika orang yang baru saja memasuki ruang makan adalah Livy, tapi ternyata tebakannya salah, karena orang yang baru saja memasuki ruang makan adalah Ethan. Pria yang kehadirannya sama sekali tidak Fiona harapkan.
Awalnya Fiona memasang raut wajah bahagia, tapi begitu melihat kedatangan Ethan, raut wajah Fiona berubah drastis menjadi ketus. Perubahan yang terjadi pada raut wajah Fiona di sadari oleh Ethan.
"Apa hari ini kamu akan kuliah?" Tanpa sadar, Ethan memperhatikan penampilan Fiona.
Ethan tak bisa menutupi rasa senangnya karena Fiona menggunakan pakaian tertutup. Tapi setelah Ethan perhatikan secara seksama, Fiona memang suka sekali menggunakan pakaian tertutup.
Fiona menjawab pertanyaan Ethan dengan anggukan kepala.
"Kamu tidak mendengar pertanyaan saya, Fiona?" Sebenarnya Ethan melihat anggukan kepala Fiona, hanya saja Ethan ingin mendengar jawaban Fiona.
Fiona menoleh pada Ethan. "Apa Anda tidak melihat jika tadi saya sudah menjawab pertanyaan Anda dengan anggukan kepala, Tuan Ethan?"
Respon tak bersahabat yang Fiona berikan membuat Ethan seketika berpikir jika Fiona sedang marah padanya.
Ethan menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal sama sekali. Saat ini Ethan sedang berpikir, kira-kira kesalahan apa yang sudah ia lakukan pada Fiona? Sampai akhirnya Fiona marah padanya?
"Lebih baik gue tanya langsung sama orangnya." Ethan melangkah mendekati Fiona.
Fiona menoleh, seketika panik begitu tahu jika Ethan mendekatinya. Fiona menoleh ke belakang, dalam hati sontak mengumpat begitu tahu jika dirinya tidak bisa menghindari Ethan yang saat ini sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Sial!" Umpat Fiona dalam hati.
"Fiona, kamu marah kerena kejadian tadi malam?" Ethan membelai wajah Fiona menggunakan jemarinya.
"Kejadian yang mana?"
Kebingungan Fiona membuat Ethan juga bingung.
"Kejadian yang mana?" Kalimat tersebut membuat Ethan seketika berpikir jika dirinya melakukan lebih dari 1 kesalahan.
"Apa kamu cemburu, hm?" Ethan tidak tahu kenapa dirinya bisa berpikir jika Fiona cemburu saat melihatnya bersama dengan Madeline.
"Ce-cemburu?" Ulang Fiona terbata.
"Hm, kamu cemburu melihat kedekatan saya dengan Madeline?"
"Tidak!" Fiona membantah dengan sangat tegas serta lugas. Kedua bola mata bergerak gelisah. Fiona gugup, karena saat ini Ethan menatapnya dengan
"Ah, benarkah?" Ethan bersedekap, bertanya dengan nada mengejek. Tadi Fiona menjawab dengan gugup pertanyaannya, karena itulah Ethan semakin yakin jika Fiona memang cemburu melihat kedekatannya dengan Madeline. Jadi, haruskah ia senang?
"Tentu saja benar!" Fiona segera mendorong Ethan supaya menjauh darinya begitu mendengar suara langkah kaki mendekat.
Livy sedang mengobrol dengan seorang wanita, dan Fiona duga jika wanita tersebut adalah wanita yang tadi malam ia lihat sedang bersama dengan Ethan.
Dugaan Fiona benar, Livy datang bersama dengan wanita yang tadi malam menggandeng mesra Ethan.
"Hai, Fiona."
"Hai, Livy." Fiona membalas sapaan Livy dengan gugup.
Madeline dan Livy sadar jika saat ini Fiona sedang gugup. Kedua wanita tersebut sontak menatap ke arah Ethan yang saat ini sudah duduk di hadapan Fiona.
"Apa?" tanya Ethan sambil menaikan salah satu alisnya. "Aku tidak melakukan apapun pada Fiona, Livy."
"Apa itu benar, Fiona?" Livy tidak akan percaya begitu saja dengan jawaban Ethan.
Fiona mengangguk. "Iya, itu benar."
Livy dan Madeline lalu duduk di kursi. Madeline duduk di samping Ethan, sementara Livy duduk di samping Fiona.
"Apakah kalian berdua sudah berkenalan?" Livy menatap Madeline dan Fiona secara bergantian.
"Belum." Madeline menjawab pertanyaan Livy, sementara Fiona hanya menggeleng.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian berdua berkenalan dulu."
"Perkenalkan, nama aku Madeline, kekasih Ethan." Madeline mengulurkan tangan kanannya, tak lupa untuk memberitahu namanya sekaligus juga statusnya.
"Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Perkenalan Madeline membuat Fiona sontak tersedak kopi yang baru saja diminumnya.
Tersedaknya Fiona membuat Ethan, Madeline, dan Livy panik.
"Fiona, minumnya pelan-pelan." Livy terlihat sekali sangat panik.
"Bagaimana? Masih terasa sakit?" tanya Livy sesaat setelah melihat Fiona tidak lagi batuk-batuk.
Fiona menganguk.
"Tadi kamu bilang apa?" Fiona bertanya pada Madeline. "Kamu bilang kamu kekasih, Ethan?"
"Iya, aku kekasih Ethan, kenapa? Apa ada yang salah?"
"Ka-kamu kekasih, Ethan?" gumam Fiona tak percaya. Fiona lalu menatap Ethan dan Livy secara bergantian, saat itulah Livy tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran Fiona.
"Tunggu dulu." Livy melarang semua orang untuk berbicara. "Jangan bilang kalau selama ini kamu berpikir jika aku dan Ethan adalah sepasang kekasih, Fiona?"
Pertanyaan Livy mengejutkan Ethan, dan Madeline, tidak dengan Fiona.
Ethan dan Madeline sontak menatap Fiona, menunggu jawaban Fiona.
Dengan gerakan kaku, Fiona mengangguk. "Iya, selama ini aku berpikir jika kalian adalah sepasang kekasih."
Ethan sontak tertawa, begitu juga dengan Madeline, dan Livy.
"Kenapa kalian semua malah tertawa? Apa ada yang lucu?" Fiona seketika kesal karena kini ketiga orang tersebut malah tertawa terbahak-bahak.
"Fiona, mana mungkin aku menjalin hubungan asmara dengan adik aku sendiri."
Kali ini giliran Fiona yang shock begitu mendengar jawaban Livy. Saking shocknya dengan jawaban yang Livy berikan, kedua mata indah Fiona bahkan sampai melotot.
"Adik?" Tanpa sadar, Fiona berteriak. "Jadi kalian berdua adalah Kakak beradik?" tanyanya sambil menatap Ethan dan Livy secara bergantian.
"Iya," jawab Livy disela tawanya. Livy tak menyangka jika Fiona menganggap dirinya dan Ethan adalah sepasang kekasih.
"Ah, jadi kalian Kakak beradik." Fiona benar-benar tidak menyangka jika ternyata Livy dan Ethan adalah saudara kandung.
"Maaf ya Fiona, aku lupa memberitahu kamu jika aku adalah Kakak Ethan."
Tawa Ethan terhenti begitu melihat kedatangan Marco.
"Ada apa, Marco?"
"Saya hanya ingin memberitahu Nona Fiona kalau Max sudah menunggu di bawah."
"Siapa Max?" Ethan menatap bingung Marco.
"Dia adalah teman Nona Fiona, Tuan Ethan."
"Teman?" Ethan menatap Fiona dengan tajam.
Tatapan tajam yang Ethan berikan seketika membuat bingung Fiona. "Kenapa? Apa ada yang salah?"
"Kamu berteman dengan pria bernama Max?"
Fiona mengangguk. "Iya, kenapa? Apa ada yang salah?"
"Lalu pagi ini kamu akan pergi ke kampus dengan Max?"
Lagi-lagi, Fiona mengangguk. "Iya."
"Siapa yang bilang kalau kamu boleh pergi ke kampus bersama dengan teman kamu?"
"Memangnya tidak boleh?" Fiona menatap bingung Ethan juga Livy.
"Tentu saja tidak boleh!" Ethan menyahut tegas.
"Kenapa tidak boleh?" Tanpa sadar, Fiona bertanya dengan nada membentak. Fiona tidak menyangka jika Ethan akan melarangnya pergi bersama dengan temannya.
Fiona jadi bertanya-tanya, memangnya apa yang salah jika pergi ke kampus bersama teman?
"Pokoknya tidak boleh!" Ethan lalu menatap pada kedua pengawal Fiona yang saat ini berdiri tak jauh dari posisinya. "Mulai sekarang, ke mana pun Fiona pergi, kalian berdua harus ikut. Kalian tidak boleh membiarkan Fiona pergi sendiri sekalipun Fiona yang memintanya. Saya yang menggaji kalian untuk menjaga Fiona, itu artinya perintah saya yang harus kalian patuhi, apa kalian berdua paham?"
"Paham, Tuan Ethan." Cindy dan Evelyn menjawab dengan kompak pertanyaan Ethan.
"Baguslah kalau begitu. Sekarang tugas kalian adalah mengantar Fiona pergi kuliah."
"Dasar pria menyebalkan!" ucap Fiona sesaat sebelum pergi meninggalkan ruang makan.
Larangan Ethan berhasil membuat nafsu makan Fiona seketika hilang. Jadi Fiona memutuskan untuk pergi ke kampus.
"Fiona, kamu belum sarapan!" Livy berteriak memanggil Fiona, tapi Fiona mengabaikan teriakan Livy.
Livy menyusul Fiona, mencoba untuk menghentikan kepergian Fiona, tapi begitu melihat Fiona sudah memasuki lift, Livy memutuskan untuk kembali ke ruang makan.
"Ethan, bukankah itu terlalu berlebihan?" Bukan Livy yang bertanya, tapi Madeline.
Madeline merasa jika apa yang sudah Ethan lakukan sangatlah keterlaluan, dan bukan hanya Madeline yang merasa jika kelakuan Ethan sangat keterlaluan, Livy juga merasakan hal yang sama seperti apa yang Madeline rasakan.
"Bagaimana kalau pria bernama Max itu hanya memanfaatkan Fiona?"
"Ayolah Ethan, kita bahkan belum tahu siapa Max sebenarnya? Bisa saja dia pria kaya raya, jadi tidak sedang memanfaatkan Fiona. Bisa juga Max adalah kekasih Fiona, benar bukan Livy?" Madeline menatap Livy meminta pedapat dari wanita yang saat ini berdiri di hadapannya.
"Iya, terlalu cepat jika menyimpulkan Max adalah orang yang hanya akan memanfaatkan Fiona, Ethan."
"Cara satu-satunya adalah dengannya mencaritahunya sendiri." Ethan meraih ponselnya, lalu menghubungi Eden.
"Eden."
"Iya, Ethan, ada apa?"
"Cari tahu tentang teman-teman Fiona di tempat kuliahnya, secara mendetail, terutama seorang pria yang bernama Max. Selesaikan semuanya hari ini."
"Ethan, lo tahu kan kalau gue lagi sibuk? Jadi tidak bisa selesai hari ini juga, Ethan."
"Gue enggak mau tahu, pokoknya semuanya harus selesai hari ini juga."
"Ok, ok." Eden menyahut pasrah.
"Baiklah, terima kasih, Eden."
Eden tidak membalas ucapan Ethan, dan langsung mengakhiri sambungan teleponnya dengan Ethan.
"Jadi Eden masih jadi bawahan kamu, Ethan?"
Ethan mengangguk. "Iya."
"Eh, aku pikir dia sudah berhenti kerja sama kamu, tapi ternyata dia masih kerja sama kamu, Ethan." Madeline benar-benar tidak menyangka jika sampai saat ini Eden masih bekerja sebagai bawahan Ethan.
"Terkadang aku bertanya-tanya, kenapa seorang Sebastian Eden Hamilton masih mau menjadi bawahan seorang Austin Ethan Geraldo?" Madeline lalu menyeruput wine yang sejak tadi terus ia mainkan.
Ethan diam, tidak menjawab pertanyaan Madeline.
"Padahal dia bisa saja berdiri sejajar dengan kamu, Ethan." Madeline tahu betul bagaimana kemampuan serta kecerdasan seorang Sebastian Eden Hamilton. Eden bisa saja berdiri sejajar dengan Ethan, atau bahkan melebihi posisi yang saat ini Ethan duduki. Dengan kata lain, Eden bisa saja menjadi atasan Ethan, lalu kenapa Eden memilih untuk terus menjadi bawahan Ethan ketimbang berdiri di atas Ethan?
Lagi-lagi Ethan diam.
"Cinta, itulah alasan yang paling masuk akal, bukahkah begitu Ethan?" Madeline seketika berpikir jika Eden memilih untuk menjadi bawahan Ethan karena Eden jatuh cinta pada seorang wanita yang mungkin saja berada dalam ruang lingkup yang sama dengannya, dengan kata lain, wanita tersebut bernaung di bawah kuasa Ethan. Jika Eden meninggalkan Ethan, maka Eden tidak akan bisa lagi dengan bebas bertemu dengan wanita tersebut.
"Iya, itu benar." Ethan akhirnya menjawab pertanyaan Madeline.
"Woah, jadi benar-benar karena cinta." Madeline tidak menyangka jika tebakannya ternyata benar. "Jadi, siapa wanita yang Eden cintai?" Madeline mantap lekat Ethan, dan tentu saja berharap jika Ethan akan memberitahunya, siapa sosok wanita yang berhasil membuat seorang Sebatian Eden Hamilton yang terkenal sangat dingin, juga anti wanita, jatuh cinta sampai akhirnya melakukan hal bodoh dengan cara tetap menjadi bawahan Ethan di saat sebenarnya Eden bisa saja meraih posisi yang lebih tinggi dari Ethan.
"Eden mencintai seorang wanita yang kita kenal, Madeline. Aku tidak akan memberitahu kamu siapa wanita tersebut, kamu bisa mencaritahunya sendiri."
"Apa saat ini mereka berdua berpacaran?"
"Tidak, karena wanita yang di cintai Eden sudah memiliki kekasih." Setelah itu Ethan menenggak habis winenya.
Awalnya Madeline tersenyum lebar, tapi begitu mendengar jawaban Ethan, senyum di wajah Madeline luntur. "Eden tahu kalau wanita yang di cintainya sudah memiliki kekasih, tapi dia masih bertahan," ucapanya sambil tersenyum masam.
"Iya, dia sudah tahu jika wanita yang di cintainya sudah memiliki kekasih sejak 4 tahun yang lalu."
Lagi-lagi jawaban Ethan mengejutkan Madeline. "Wow, itu sangat luar biasa. Dia pasti sangat menderita, tapi juga bahagia di saat yang bersamaan. Menderita begitu tahu jika wanita yang di cintainya mencintai pria lain. Lalu merasa bahagia karena melihat wanita yang di cintainya bahagia bersama kekasihnya."
"Madeline, apa yang akan kamu lakukan jika berada di posisi Eden?"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan kamu, Ethan."
"Kenapa tidak bisa?" Ethan menatap bingung Madeline.
"Karena saat ini aku tidak berada di posisi Eden. Terkadang kita harus berada di posisi tersebut supaya tahu bagaimana rasanya, Ethan."
"Ah, kamu benar."
"Rasanya sudah pasti sangat sakit begitu tahu jika orang yang kita cintai mencintai orang lain, tapi kita tidak akan pernah tahu seberapa sakitnya itu semua sebelum kita merasakannya sendiri."
"Aku tidak tahu apa yang saat ini Eden harapkan, tapi aku berharap jika suatu saat nanti Eden akan bahagia bersama dengan wanita yang dicintai juga mencintainya."
"Lebih baik hidup bersama dengan orang yang kita cintai, atau hidup dengan orang yang mencintai kita?" Ethan ingin tahu apa pendapat Madeline tentang dua hal tersebut.
"Tidak dua-duanya, karena lebih baik hidup bersama dengan orang yang kita cintai, juga mencintai kita, Ethan."
"Apa yang kamu katakan benar, lebih baik hidup bersama dengan orang yang juga mencintai kita." Tanpa sadar Ethan menghela nafas panjang.
"Untuk apa memilih hidup dengan orang yang kita cintai, tapi dia tidak mencintai kita, begitu juga sebaliknya, jika kita bisa hidup bersama dengan orang kita cintai juga mencintai kita?"
Ethan mengangguk, setuju dengan ucapan Madeline.
"Jika kita hidup bersama dengan orang yang kita cintai, tapi orang tersebut tidak mencintai kita, kita hanya akan menyiksanya, Ethan. Itu juga berlaku sebaliknya. Keduanya akan merasa sama-sama tersiksa Ethan. Aku bisa berkata seperti itu karena aku sudah pernah merasakannya, Ethan."
"Aku tahu, Madeline. Sudah, sekarang sebaiknya kita sarapan dulu." Ethan sudah lapar.
"Livy." Madeline baru saja memanggil Livy. Madeline menatap Livy ketika Livy tidak kunjung menyahuti panggilannya.
Ethan melakukan hal yang sama dengan Madeline, menatap Livy.
"Livy!" Ethan menegur Livy yang ternyata sedang melamun.
"Ah, iya, ada apa?" Teguran Ethan barusan menyadarkan Livy dari lamunannya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan sampai kamu melamum?" Madelinelah yang bertanya.
"Aku hanya sedang memikirkan Fiona."
"Dia jelas marah pada, Ethan. Nanti jika Fiona sudah pulang, minta maaflah padanya, Ethan." Madeline menatap tajam Ethan.
"Tidak akan."
"Ethan," desis Livy.
"Pagi ini juga aku akan pergi ke New York, Livy."
"Untuk apa?" Livy menatap sinis Ethan.
"Tentu saja untuk bekerja."
"Aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari ke depan."
Ethan dan Livy menatap Madeline.
"Benarkah?" Livy jelas bahagia jika memang Madeline berniat untuk menginap di apartemennya.
"Iya, benar."
"Syukurlah," ucap Livy sambil tersenyum lebar.