1 jam sudah berlalu sejak Fiona memasuki kamar mandi.
Sejak 5 menit yang lalu, Livy sudah kembali memasuki kamar Fiona, sementara Ethan tetap menunggu di luar kamar, dan Emily sudah pulang sejak 15 menit yang lalu.
"Kenapa dia belum keluar juga?" Livy mulai panik karena Fiona yang tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi, padahal Livy sudah tidak mendengar suara gemercik air mengalir.
"Fiona!" Livy berteriak memanggil Fiona, sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan tidak sabaran.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Livy memutuskan untuk memasuki kamar mandi.
"Fiona!" Livy berteriak histeris begitu melihat Fiona berada dalam bathtub dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Teriakan Livy mengejutkan Ethan yang sejak tadi berdiri di depan kamar Fiona. Ethan bergegas memasuki kamar Fiona, lalu mencari sumber teriakan Livy.
Ethan berlari memasuki kamar mandi. "Ada apa, Livy?"
"Ethan, cepat angkat Fiona keluar dari bathtub."
"Ok." Dengan cepat, Ethan mengeluarkan Fiona dari dalam bathtub, sementara Livy bergegas mengambil handuk untuk membalut tubuh Fiona yang basah kuyup.
Setelah memastikan jika tubuh Fiona tertutup handuk, Ethan membawa Fiona keluar dari kamar mandi, dan membaringkan Fiona di atas tempat tidur.
"Keluarlah, Ethan, aku akan mengganti pakaian Fiona." Livy tidak mungkin membiarkan Fiona tetap mengenakan pakaian yang basah, bisa-bisa nanti Fiona masuk angin.
Tanpa bantahan, Ethan keluar dari kamar Fiona, meninggalkan Livy yang sekarang mulai mengganti semua pakaian Fiona.
Selang beberapa menit kemudian, Livy kembali memanggil Ethan.
Ethan bernafas lega ketika melihat Fiona sudah sadar.
Awalnya Ethan akan membawa Fiona ke rumah sakit, tapi karena sekarang Fiona sudah sadar, Ethan tidak akan melakukannya.
Begitu Ethan memasuki kamar, Livy keluar dari kamar. Livy akan mengambil makanan juga minuman untuk Fiona.
Setelah membantu Fiona makan dan minum obat, Ethan meminta Livy untuk pergi istirahat. Ethan tahu Livy lelah, dan butuh istirahat.
Livy sadar jika dirinya memang butuh istirahat, jadi Livy pun pergi meninggalkan Ethan bersama dengan Fiona.
Awalnya Ethan duduk di sofa, tapi begitu Livy pergi, Ethan pun memutuskan untuk duduk di tempat yang tadi Livy duduki.
"Fiona."
"Hm."
"Di mana saja dia menyentuh kamu?" Ethan menatap lekat Fiona yang sejak tadi menunduk, menghindari tatapan matanya.
Fiona menggeleng, menolak untuk memberitahu Ethan di mana saja tadi Dominic menyentuhnya.
Ethan meraih kedua tangan Fiona yang sejak tadi saling bertaut. "Tidak apa-apa, katakanlah, Fiona. Di mana Dominic menyentuh kamu?"
Dengan tangan bergetar, Fiona memberitahu Ethan di mana saja tadi Dominic menyentuhnya.
"Hanya di situ?"
Fiona diam.
"Fiona," panggil Ethan memelas. Ethan tahu kalau Dominic pasti bukan hanya menyentuh leher dan p******a Fiona.
Dengan tangan yang masih bergetar, Fiona lalu menunjuk area intimnya yang sempat Dominic sentuh meskipun hanya dari luar, karena saat itu Dominic belum sempat melepas pakaian dalamnya.
"Hanya sampai di situ?"
Fiona menjawab pertanyaan Ethan dengan anggukan kepala.
Mata Ethan terpejam, dan di saat yang bersamaan, Ethan menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Ethan tidak mau Fiona melihatnya dalam keadaan marah, karena Fiona pasti akan ketakutan lagi seperti beberapa jam sebelumnya.
Setelah merasa jauh lebih tenang, mata Ethan pun kembali terbuka.
Ethan tiba-tiba menyentuh leher Fiona, lebih tepatnya menyentuh bercak kemerahan yang Dominic buat.
Pergerakan Ethan mengejutkan Fiona.
"Maaf, kamu pasti terkejut," ucap Ethan merasa bersalah.
"Iya, aku memang terkejut," balas Fiona tak kalah lirih. "Kira-kira, kapan bercak merah itu akan hilang?" Saat melihat kissmark yang ada di lehernya, Fiona seketika mengingat apa yang sudah Dominic lakukan padanya.
"Mungkin sekitar 1 atau 2 hari, memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya bertanya." Fiona melirik jam di nakas, menghela nafas panjang ketika tahu kalau ternyata hari sudah larut malam. "Aku mau tidur, bye." Fiona menarik selimut, lalu membaringkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Ethan.
Setelah apa yang terjadi padanya, Fiona merasa canggung jika berdekatan dengan Ethan. Sebenarnya bukan canggung, tapi malu. Fiona bahkan sempat berpikir jika mungkin saja Ethan merasa jijik padanya.
Fiona pikir, Ethan akan pergi meninggalkannya, tapi ternyata Fiona salah, karena sekarang, Ethan malah berbaring di belakangnya.
Ethan bergeser mendekati Fiona, dan begitu jaraknya dan Fiona sudah sangat dekat, Ethan bisa mencium aroma tubuh Fiona.
Fiona bisa merasakan deru nafas hangat Ethan yang menerpa tengkuknya, itu artinya, jaraknya dan Ethan saat ini sangat dekat.
Ethan bisa merasakan betapa tegangnya Fiona saat ini. "Rilexs, Fiona. Tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun sama kamu selain memeluk kamu."
Setelah mengatakan apa yang mau ia lakukan pada Fiona, Ethan memeluk Fiona dari belakang.
"Diamlah, Fiona!" Peringat tegas Ethan ketika Fiona akan menghindarinya.
Fiona yang awalnya akan menjauhi Ethan pun memilih diam, membiarkan Ethan memeluknya.
"Kenapa rasanya sangat nyaman?" ucap Fiona dalam hati.
Saat Ethan memeluknya, Fiona merasa nyaman, dan tidak merasa takut sama sekali. Tiba-tiba Fiona teringat pada kedua orang tuanya, tepatnya mengingat pelukan hangat keduanya.
Setelah Ibunya meninggal, Fiona sudah tidak bisa merasakan pelukannya, tapi saat itu Fiona masih bisa merasakan pelukan dari Ayahnya, tapi setelah Ayahnya meninggal, tidak ada lagi yang memeluknya sampai akhirnya Livy dan Ethan memberinya pelukan.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Fiona?"
Fiona terkejut begitu mendengar pertanyaan Ethan. Fiona pikir, Ethan sudah tidur. Fiona tidak akan menjawab jujur pertanyaan Ethan. Fiona tidak mau Ethan tahu jika saat ini ia sedang merindukan kedua orang tuanya.
"Apa yang akan terjadi pada Dominic?" Fiona ingin tahu, apa yang akan terjadi pada pria b******k yang sudah melecehkannya itu.
"Menurut kamu, hukuman apa yang pantas untuk Dominic?" Ethan malah balik bertanya, meminta pendapat Fiona tentang apa yang harus ia lakukan pada Dominic.
"Lebih baik dia mati."
Ethan sama sekali tidak terkejut begitu mendengar jawaban Fiona. Ethan sudah bisa menduganya.
"Kamu mau Dominic mati? Kalau kamu memang menginginkan kematian Dominic, maka aku bisa mengabulkannya, Fiona."
"Benarkah?"
"Tentu saja benar."
"Apa orang tuanya masih ada? Dan apa Dominic memiliki adik?"
"Orang tua Dominic masih ada, dan Dominic adalah anak pertama juga satu-satunya, memangnya kenapa?"
"Kalau orang tuanya masih ada, maka jangan bunuh Dominic."
"Kenapa?" Ethan penasaran, ingin tahu alasan kenapa tiba-tiba Fiona berubah pikiran.
"Saat seorang anak kehilangan orang tuanya, maka dia kehilangan masa lalunya, tapi saat orang tua kehilangan anaknya, maka mereka kehilangan masa depannya." Fiona tidak mau orang tua Dominic kehilangan anak mereka.
"Apa menurut kamu Dominic bisa memberi orang tuanya kebahagiaan di masa depan?"
"Tentu saja bisa, asalkan dia dalam penanganan orang yang tepat. Semua orang bisa berubah menjadi lebih baik lagi, Ethan."
"Baiklah, aku tidak akan membunuhnya." Awalnya Ethan berencana untuk membunuh Dominic, tentu saja tidak secara langsung, tapi akan menyamarkan pembunuhan tersebut sebagai kecelakaan mobil, tapi Fiona tidak mau Dominic mati, jadi Ethan tidak akan membunuhnya.
"Terima kasih," balas lirih Fiona.
"Sama-sama. Sekarang sebaiknya kita tidur, ini sudah larut malam."
Kata kita yang Ethan ucapkan membuat Fiona tahu kalau malam ini Ethan akan tidur bersamanya.
Fiona memejamkan matanya, begitu juga dengan Ethan.
1 jam telah berlalu sejak Ethan meminta Fiona tidur. Fiona sudah tidur, tapi tidak dengan Ethan. Ethan mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa.
Ethan memutuskan untuk keluar dari kamar Fiona. Ethan pergi menuju bar yang terletak di dekat ruang keluarga.
Pikiran Ethan saat ini sedang kacau, jadi Ethan memutuskan untuk merokok. Ethan bukan hanya merokok, tapi juga menenggak minuman beralkohol.
"Sekarang apa yang harus gue lakukan?" gumam Ethan, bertanya pada dirinya sendiri.
"Ethan."
Ethan menoleh, tersenyum tipis pada Livy yang saat ini melangkah mendekatinya.
"Ethan, kenapa kamu belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur Livy."
"Kenapa? Apa kamu lapar?" Jika Ethan lapar, maka Livy akan memasak untuk adiknya tersebut.
Ethan menggeleng.
"Lalu ada apa? Apa kamu sedang memikirkan hukuman apa yang akan kamu berikan pada Dominic?"
Lagi-lagi Ethan menggeleng, membuat Livy jadi semakin bingung. "Lalu?" tanyanya penasaran.
"Aku mencintainya, Livy."
Jawaban Ethan membuat Livy sangat shock.
"Siapa orang yang kamu cintai, Ethan?"
"Fiona, aku mencintainya, Livy." Ethan akhirnya jujur.
Begitu tahu siapa orang yang Ethan cintai, Livy sama sekali tidak terkejut.
Sejak beberapa bulan yang lalu, Livy sadar jika Ethan memiliki perasaan pada Fiona, dan Livy juga tahu kalau Ethan sempat mencoba untuk menghindari Fiona, mungkin dengan tujuan untuk melupakan Fiona, tapi sepertinya usaha Ethan gagal.
"Kenapa harus dia, Livy?" tanya Ethan frustasi.
"Maksudnya?" Pertanyaan Ethan membuat Livy bingung.
"Dia adalah putri dari orang yang sudah membunuh orang tua kita, Livy. Lalu kenapa aku harus jatuh cinta pada Fiona? Kenapa?"
"Ethan, kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta."
"Iya, karena itulah yang saat ini sedang aku rasakan." Jika bisa memilih, maka Ethan tidak mau jatuh cinta pada Fiona.
"Terkadang takdir itu lucu," ucap Livy sambil tersenyum tipis.
"Maksudnya?" Ethan menatap bingung Livy.
"Ada hal yang harus kamu pahami, Ethan. Jika Ayah Fiona tidak membunuh orang tua kita, kita berdua, terutama kamu, pasti tidak akan memiliki dendam pada Ayah Fiona, dendam yang akhirnya mempertemukan kamu dengan Fiona."
Ethan diam, mencerna semua ucapan Livy, dan setelah Ethan pikirkan baik-baik, apa yang Livy katakan memang benar.
"Kamu benar, jika itu semua tidak terjadi, maka kita tidak akan mungkin bertemu dengan Fiona."
"Jangan menyalahkan Fiona atas apa yang terjadi pada orang tua kita, Ethan, karena Fiona jelas tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Terkadang Livy takut jika Ethan akan menyalahkan Fiona, meskipun ketakutan tersebut semakin lama semakin berkurang.
"Aku sama sekali tidak menyalahkannya, Livy."
Tak terasa, 1 jam sudah berlalu sejak Livy dan Ethan mengobrol. Livy mengantuk, jadi memutuskan untuk mengakhiri obrolannya dengan Ethan.
Setelah memastikan jika Livy memasuki kamar, Ethan pergi menuju kamar Fiona. Malam ini Ethan memutuskan untuk tidur bersama dengan Fiona.
Setelah apa yang terjadi pada Fiona, Ethan tidak akan bisa tidur tenang jika tidak bersama dengan Fiona.
Ethan mengunci pintu kamar, lalu melangkah mendekati tempat tidur sambil melepas kaos hitam polos yang membalut tubuh kekarnya.
Begitu kaos tersebut terlepas, maka sekarang tubuh bagian atas Ethan polos.
Ethan bukan hanya melepas kain yang menutupi tubuh bagian atasnya, tapi Ethan juga melepas celana panjangnya, dan kini hanya menyisakan boxer hitam yang menutupi sebagian tubuhnya.
Ethan menyibak selimut yang menutupi tubuh Fiona, melemparkan selimut tersebut ke lantai. Ethan menaiki tempat tidur, dan sekarang sudah berada di atas tubuh Fiona.
Malam ini Fiona mengenakan piyama satin berwarna merah maroon, membuat Fiona terlihat sekali sangat seksi meskipun piyama tersebut tidaklah terbuka, menampilkan lekuk tubuh Fiona. ⁹
Ethan menunduk, mengecup kening Fiona, setelah itu beralih mengecup kedua mata Fiona yang terpejam, dan yang terakhir adalah, Ethan mengecup bibir ranum Fiona.
"Fiona." Ethan berbisik tepat di depan bibir Fiona yang batu saja ia kecup.
Awalnya Ethan hanya ingin mengecupnya, tapi begitu bibirnya dan bibir ranum Fiona menempel, Ethan tidak bisa menahan diri untuk tidak melumatnya.
Sentuhan Ethan mengusik tidur Fiona.
Ethan melepas tautan bibirnya dan Fiona saat tahu kalau Fiona pasti akan bangun.
Fiona membuka sedikit matanya untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Ethan," gumam Fiona.
"Fiona," balas Ethan sambil tersenyum.
"Aahh ...." Tanpa sadar, Fiona mendesah. Fiona mendesah karena Ethan baru saja meremas lembut salah satu payudaranya.
Desahan erotis Fiona membuat birahi Ethan semakin membara, bahkan kini deru nafas Ethan mulai tak beraturan.
Dengan cepat, Ethan melepas satu-persatu kancing piyama Fiona, lalu melepas piyama tersebut dari tubuh Fiona, memperlihatkan kedua p******a Fiona yang tidak tertutupi apapun.
"Kenapa kamu tidak memakai bra, Fiona?" desis Ethan penuh nafsu.
"Rasanya sesak jika tidur memakai bra." Dengan susah payah, Fiona menjawab pertanyaan Ethan.
"Benarkah?" gumam Ethan sambil terus memainkan jari-jemarinya di perut Fiona.
"Ugh ...." Fiona melenguh dengan tubuh terangkat ketika deru nafas Ethan yang hangat menerpa perutnya.
Semakin lama, kecupan Ethan semakin turun menuju s**********n Fiona.
Fiona merapatkan kedua kakinya, tapi dengan pelan, Ethan membukanya.
"Ethan, jangan," pinta Fiona memelas.
Larangan Fiona membuat Ethan tahu kalau mungkin Fiona belum siap untuk ia sentuh.
Ethan mengalungkan kedua tangan Fiona di lehernya, setelah itu menggendong Fiona.
Ethan merubah posisinya. Sekarang Ethan sudah duduk dengan Fiona dalam pangkuannya.
Keduanya mulai berciuman, dengan kedua tangan yang saling menyentuh satu sama lain.
"Mau berhenti atau lanjut?" Jika Fiona memilih untuk berhenti, maka Ethan terpaksa bermain solo di dalam kamar mandi, tapi kalau Fiona mau melanjutkannya, maka Ethan tidak perlu bermain solo.
"Jangan berhenti, Ethan," pinta Fiona memelas. Sama seperti Ethan, saat ini nafsu birahi Fiona juga sudah membara.
Rasanya Fiona tidak mau Ethan berhenti menyentuhnya. Fiona mau Ethan terus menyentuh setiap inci tubuhnya.
"Apa kamu yakin, Fiona?"
Fiona mengagguk. "Iya, Ethan, aku yakin. Jangan berhenti, lanjutkan."
Ethan kembali membaringkan Fiona di tempat tidur, lalu memposisikan dirinya di atas tubuh Fiona yang sudah telanjang bulat.