Enam

1189 Kata
Misha sedikit lebih tenang, dia sudah bisa menguasai emosinya lagi. Dia sedikit mengobati hatinya dengan mengatakan, meskipun dia menangis darah, kesuciannya tak akan kembali lagi. Dan dia juga menenangkan akalnya, bahwa kehamilan tak akan terjadi, karena dia hanya melakukannya sekali. Oke, selesai.   "Kamu ke mana saja? Semalam kamu menghilang. Dan tiba-tiba datang langsung mengurung diri di kamar. Kamu, baik-baik saja?" Lusi mencecarnya dengan pertanyaan penuh penasaran.Misha mengotak-atik laptopnya, seakan tak mendengar pertanyaan Lusi. Pikirannya berlarian entah ke mana.   Lusi melambaikan tangannya di depan wajah Misha, membuat Misha mengerjap kaget menatap Lusi kosong. Lusi mengerutkan dahinya melihat Misha yang berbeda dari sebelumnya. Ada yang Misha tutupi. Lusi sadar betul itu.   "Mish, tidak ada hantu yang ikut denganmu, kan?" Lusi menatap Misha serius. Misha kembali melamun, tatapannya benar-benar kosong. Lusi heran dibuatnya. Kembali melambaikan tangannya dan hal yang sama terulang lagi. "Mish, apa semalam ada hal yang tidak mengenakan? Maksudku_"   "Tidak ada," tukas Misha seraya beranjak dari duduknya. Misha sadar, bahwa sekarang bukanlah hal yang tepat untuk melamun. Cara berjalan Misha sedikit berbeda, karena rasa perih yang berasal dari area sensitifnya. Misha meringis dalam diam, segera meraih tas kecilnya. Kemudian berbalik melihat Lusi yang ternyata tengah memperhatikannya.   Misha menyunggingkan senyum tipisnya bersikap seperti biasa. "Berangkat sekarang, Lusi?" Misha tahu jika sekarang Lusi sangat penasaran dengan sikapnya. Karena Misha terlanjur janji pada Alise untuk ikut menemaninya ke butik, jadilah Misha memaksakan dirinya. Meski sebenarnya, Misha lebih ingin membaringkan tubuhnya di atas ranjang.   "Misha, jika kamu tidak enak badan, aku bisa menghubungi Alise." Lusi beranjak dari duduknya mendekati Misha. "Aku juga ke mari untuk mengantarkan mobilmu dan tasmu juga."   Misha tersenyum semakin lebar seolah dia tak ada masalah, meski sorot matanya tak bisa membohongi orang yang melihatnya. "Alise akan marah padaku, kamu tahu itu, Lusi." Misha langsung melangkah keluar dari kamarnya. Disusul Lusi di belakangnya.   "Mish, ada apa dengan cara berjalanmu?" Tanya Lusi setelah menyamakan langkah mereka.   Tubuh Misha sedikit menegang. Dia tak berani menoleh pada Lusi dan dia juga tak mau repot-repot menjawab pertanyaan Lusi. Misha terus berjalan tanpa memedulikan pertanyaan dari Lusi.   Cukup, dia sudah lelah menangis seharian. Dia tidak mau ada orang yang tahu lagi, selain Nina. Sudah, dia tidak biasa membagi penderitaannya pada orang lain.   ***   "Sayang, Kau suka yang mana?" Alise membolak-balik katalog yang ada di sana sambil menunggu Misha dan Lusi datang. Alise sangat antusias, karena ini kali pertama dia berkumpul bersama lagi setelah sekian lama dia menetap di Amerika.   Alric sedikit gelisah, dia ingin memastikan apa benar bahwa gadis itu akan datang? Lalu bagaimana dengan mereka nanti saat bertemu. Astaga... Dia tak pernah segugup dan setakut ini.   Alric mengambil satu batang rokok, lalu menyalakan pemantiknya yang diarahkan pada rokok yang terselip di bibirnya. "Darl, bisa jangan merokok dulu? Nanti rambutku bau karena asap rokok," gerutu Alise menatap sebal Alric.   Alric tak menghiraukan gerutuan Alise. Dia semakin menghisap rokok itu dalam, mengepulkan asapnya mewakili rasa gugupnya saat ini.   "Apa gadis yang bernama Misha itu akan datang juga?" Tanya Alric setelah sekian lama diam.Alric menatap lekat Alise, menunggu jawaban dari Alise. Belum sempat Alise menjawab, seruan terdengar nyaring menyerukan nama Alise.   "Alise!"   Alise tersenyum merekah, sedangkan Alric semakin dilanda gelisah. Alric membenarkan duduknya, dia segera mematikan rokoknya. Alric benar-benar gugup.   "Jalanan macet sekali, Alise. Maafkan aku terlambat." Lusi menatap Alise menyesal.   Misha hanya diam, menatapi punggung Lelaki yang tengah duduk membelakanginya. Misha menelisik setiap lekukan tubuh Lelaki itu, sampai senggolan di lengannya membuatnya segera mengalihkan pandangannya.   "Semalam juga, Kamu menghilang begitu saja. Aku khawaritir, Sayang... Ayo duduk," ajak Alise menuntun lengan Misha untuk ikut duduk di samping kursi lainnya.   Baru saja Misha mendaratkan bokongnya. Tiba-tiba tubuhnya membeku, seluruhnya terasa menggigil melihat siapa yang duduk di sampingnya. Misha merasa tubunya lemas tak berdaya, manik biru lautnya berkabut penuh rasa takut.Rasa ingin pergi menyeruak, mendorongnya begitu saja.   "Nah, Misha. Kenalkan, ini Alric, calon kakak ipar kalian." Alise tersenyum manis menatap Alric lembut.   Misha membatu, dia diperkosa oleh calon suami Alise? Hatinya tiba-tiba terasa diremas. Kejadian malam tadi terbayang jelas dalam ingatannya. Dia ingin membawa kejadian semalam ke jalur hukum, tapi saat tahu Pria itu calon suami Alise, bisakah ia melakukan itu? Bagaimana hancurnya nanti Alise saat tahu kelakuan b***t calon suaminya?Misha tak setega itu untuk menghancurkan wanita yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.   "Sayang, kenalkan, ini calon adik iparmu selain Lusi. Dia Misha yang pernah aku ceritakan."   Alric berusaha tersenyum, segera mengulurkan tangannya. Meski sebenarnya dia ragu akan diterima, dilihat dari tatapan matanya, gadis itu sepertinya enggan melihatnya.   Misha membuang pandangannya ke arah lain, dia tak mau bersentuhan dengan Lelaki laknat di sampingnya itu.   Alise dan Lusi saling melempar pandangan. Mereka heran dengan sikap yang ditunjukan masing-masing.   "Mish, Alric ingin berjabat tangan denganmu." Lusi mengingatkan Misha.   Misha menatap tajam Lusi, manik biru lautnya memerah."Tanganku sakit, sedang alergi bersentuhan dengan orang asing," tolak Misha pelan penuh dengan geraman.   "Misha..." Alise tak tahu apa masalah Misha, tapi yang jelas, dia tak enak pada Alric dengan tingkah Misha yang tidak sopan.   Misha menatap kembali pada Alric. Sorot mata penuh kebencian menatap Alric. Tangan Misha terulur, membalas jabatan tangan Alric. Hanya sekejap.   Alric tersenyum getir, perempuan yang menggetarkan hatinya pertama kali, menatapnya penuh kebencian. Dan itu juga karena salahnya, salah sisi liar sialannya.   Alric mencuri pandang pada Misha,  menggunakan kesempatan yang ada untuk memperhatikan Misha. Tak peduli Mishamau melihatnya atau tidak. Yang jelas, dia ingin melihat Misha dari dekat. Sejenak Alric memejamkan matanya, darahnya berdesir merasa kehangatan Misha yang membungkusnya rapat. Masih terasa jelas.   "Ayo, Sayang. Kita berangkat sekarang." Suara Alise kembali mengantarkannya ke dunia nyata.   "Ah, ya." Alric segera beridiri, begitu pun dengan Lusi dan juga Alise. Ketiganya menatap Misha dengan tatapan yang berbeda. Sedangkan Misha hanya mendongak, menatap Lusi dan Alise menyesal.   "Aku baru ingat ada yang harus aku kerjakan, tugas kelas tambahan. Jadi, aku tidak bisa berlama-lama." Misha bersikap biasa pada Alise dan Lusi. Namun tidak pada Alric. Dan Alric menyadarinya.   "Mish, tadi_"   Misha segera berdiri, dia tersenyum menyesal pada Alise. "Masalah gaun, tinggal samakan saja. Bentuk tubuhku dengan Lusi hampir sama. Hanya lebih pendek aku daripada Lusi. Maafkan Aku Alise."   Alise tersenyum lembut sambil mengusap pipi Misha. "No problem, darl. Asal nanti, jangan menolak lagi." Alise bisa melihat jika kondisi Misha kurang baik, mungkin efek semalam. Harusnya, Lusi tidak memaksa Misha untuk datang. Atau, sebaiknya Lusi mengadakan pesta kebun saja. Alise beralih menatap Alric. "Kau bisa mengantar Misha pu_"   "Tidak!" Misha spontan berkata keras, menarik perhatian pengunjung kafe. Mata Misha sudah berkaca-kaca, dia takut, dia takut jika Pria itu memerkosanya lagi. "Tidak, Alise! Aku bisa sendiri."Misha segera pergi dari kafe, berjalan cepat, lebih tepatnya berlari. Mengabaikan rasa sakit dan ngilu dari area sensitifnya. Misha harus segera pergi, sebelum kejadian malam tadi terulang kembali. Misha tidak mau.   Alise dan Lusi saling melempar pandang. Misha sepertinya sangat ketakutan. Alise dan Lusi keheranan, sementara Alric sudah menyadari jika Misha takut padanya. Alric menghela napas lelah, potret sialan! Lantas, bagaimana dia menghadapi perkara selanjutnya?   Alric menatap Alise yang tengah berbicara serius dengan Lusi, tak jauh darinya. Sanggupkah dia mengatakan semuanya pada Alise? Sementara pernikahan mereka akan berlangsung tidak akan lama lagi. Alric mengakui jika dirinya memang munafik dan juga serakah. Hatinya bergetar karena gadis kecil itu, sementara raganya tak bisa melepas Alise.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN