Wajah Misha semakin hari semakin muram. Misha hanya tersenyum tanpa berbicara seperti biasanya. Dan itu semua membuat Lusi heran. Lusi berkali-kali mencari cara agar Misha mau bercerita dan hasilnya tetap sama. Misha selalu mengelak.
"Aku dengar, Nina sudah melahirkan?" Lusi membuka suara menatap Misha yang tengah mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat memakannya.
Misha melirik Lusi sekilas. "Hem... Aku tahu. Lebih tepatnya malam tadi dia baru melahirkan. Bayinya perempuan." Misha tahu, karena Nina yang menghubunginya pertama kali.
Rasa semangat Misha semakin menurun, Misha merasa letih tidak jelas. Rasanya, matanya sangat sulit diajak kompromi hawanya selalu ingin terpejam.Pernikahan Alise tinggal tiga hari lagidan Misha semakin dilanda rasa tak tentu, karena ia tak ingin bertemu Lelaki b******n itu. Misha memang bersikap seperti biasa, tapi tetap saja orang terdekatnya sadar jika ada yang berbeda dari Misha.
"Gaun kita sudah ada di apartemen Alise, bagaimana kalau kita ke sana sekarang?" Lusi mengalihkan pembicaraan.Wajah Misha tiba-tiba kaku, dia sedikit takut bertemu dengan Alise, karena takut Lelaki itu ada di sana juga."Mish?"
"Tolong ambilkan saja gaun untukku, nanti saat hari pernikahan, aku akan menyusul."
Lusi berdecak menatap kesal Misha. "Kamu kenapa, Misha? Ada yang aneh dengan sikapmu minggu-minggu ini. Kamu lebih pendiamdan kamu juga sepertinya selalu menghindari kontak dengan Alise. Apa kakakku melakukan kesalahan padamu?"
Bukan kakakmu, tapi calon suaminya. Batin Misha menangis.
Misha menggelengkan kepalanya, sedangkan manik biru lautnya sudah membendung air mata. "Aku baik-baik saja, Lusi. Aku baik-baik saja. Alise tidak melakukan kesalahan apapun padaku. Alise sangat baik," hanya saja aku takut bertemu calon suaminya yang sudah memerkosaku. Misha hanya bisa melanjutkan ucapannya dalam batinnya. Dia tidak mungkin merusak kebahagiaan Alise.
Lusi menatap Misha dengan tatapan bersalah. "Misha, Aku_ bukan maksudku_"
"Aku yang bersalah, aku memang sedang menghindari kalian. Aku minta maaf. Maafkan aku." Misha segera beranjak dari duduknya. Dia mengusap matanya kasar. "Aku butuh waktu sendiri, Lusi. Aku harap kamu mengerti." Setelah itu Misha pergi dari sana meninggalkan Lusi yang menatap punggung Misha sedih.
Lusi yakin, ada yang Misha sembunyikan darinya. Ada kejadian yang berusaha Misha sembunyikan, dan itu sepertinya saat pesta ulang tahunnya.
***
"Kamu sendiri saja? Aku pikir, Lusi akan ikut. Karena dia bilang, kalian akan ke mari bersama." Nina menyambut Misha di depan pintu sembari memersilakan Misha masuk ke kontrakan kecilnya.
Misha membawa sebuah kado besar, tersenyum menatap takjub pada bayi perempuan yang tengah tertidur di dalam box. "Siapa namanya?" Alih-alih menjawab pertanyaan Nina, Misha memilih menanyakan nama bayi lucu itu.
"Tsania, hanya itu yang terlintas di kepalaku," sahut Nina tak acuh mengambil tempat di samping Misha.
Entah kenapa hati Misha terasa tersayat-sayat melihat bayi mungil itu. "Apa Ayahnya tahu bahwa dia sudah lahir?" Tanya Misha beralih menatap Nina.
Sekarang giliran Nina yang berkaca-kaca. "Ayahnya tidak pernah tahu bahwa dia ada."
Mata Misha memanas, dia merasakan kepedihan yang keluar melalui jawaban Nina.Nina tesenyum getir pada Misha. "Dia tidak pernah tahu, bahwa aku mengandung benihnya," sambung Nina menangis.
Misha memegang tangan Nina. Dia menatap sendu Nina. Dia ikut merasakan getaran kesedihan yang Nina rasakan. Dia seolah sedang berada di posisi Nina saat ini.
"Sudah, kamu jangan menangis. Sekarang, kamu harus bertambah kuat untuk memperjuangkan anakmu." Usap Misha lembut pada punggung tangan Nina.
Nina mendongak menatap Misha lekat. "Misha, aku lihat kamu berbeda. Persis seperti aku saat pertama kali mengandung."
Mata Misha membulat, tubuhnya menegang, dari tatapan matanya terpancar ketakutan yang sedari kemarin menghantuinya. "A-apa maksudmu, Nina?"
"Apa kamu sudah mencoba menggunakan testpack?"
Misha menggelengkan kepalanya lesu. "Aku tidak tahu tentang itu, Nina. Lagi pula, itu terjadi karena ketidaksengajaan dan hanya sekali. Tidak mungkin, aku-"
Misha ingat, seharusnya minggu ini dia datang bulan. Oh tidak, bukankah dia sedang stres berat? Jadi belum tentu dia hamil, iya belum tentu.
"Kamu terlambat datang bulan?" Nina menatap Misha penuh selidik. Misha diam tak menjawab, dia bingung dan juga takut. Nina segera beranjak dari duduknya, berlalu meninggalkan Misha dengan bayinya. Tidak lama kemudian Nina datang membawa satu kotak yang entah Apa isinya.
Nina memberikan kotak itu pada Misha seraya mengangguk penuh arti saat Misha menatapnya penuh tanya. Misha menerimanya menatapnya penuh kebingungan.
"Itu tespack, di sana ada beberapa merek tespack yang dikenal keakuratannya. Kita terlambat tiga hari saja bisa diketahui. Kamu coba tes menggunakan itu, agar kamu tidak terlalu syok saat dokter memberitahumu," jelas Nina menatap Misha serius.
Misha tertawa sumbang. "Kamu bercanda, Nina... Aku tidak mungkin hamil, kamu tahu itu," elak Misha kukuh.
Nina menghembuskan napas kasar. "Tidak ada yang tidak mungkin, Misha. Kamu tahu, melakukannya sekali tidak menutup kemungkinan kamu hamil. Berkali-kali pun belum tentu bisa hamil."
Misha menggelengkan kepalanya kuat, berusaha menepis kemungkinan itu. "Aku akan mencobanya nanti," putus Misha menatap kotak itu lesu.
"Biar semuanya tidak terlalu terlambat, Misha. Kamu bisa meminta pertanggung jawaban Lelaki yang sudah menyetubuhimu," tukas Nina memberi semangat pada Misha.
Misha tertawa getir, menuntut pertanggung jawaban pada calon suami Alise? Haha, dia tidak setega itu mengahancurkan kebahagiaan orang lain.
"Akan aku pertimbangkan," pertimbangkan pergi atau tetap bertahan, hanya itu.
***
Hari ini tepat hari pernikahan Alise, Misha sudah mengenakan gaun berwarna peach yang Lusi bawakan semalam. Sekarang Misha tengah berdiri di kamar mandi, menunggu hasil yang sungguh mendebarkan.
Sejak hari di mana Nina memberi kotak itu, Misha baru berani mengetesnya hari ini. Karena Misha berharap dua hari itu ia mendapatkan tamu bulanannya. Namun, bukannya tamu bulanan, yang hadir malah flek coklat hanya sedikit.
Misha cemas, dia takut jika ucapan Nina benar adanya.
Tiga menit, hanya tiga menit.
Misha segera melihat hasilnya, matanya membulat. Kakinya terasa lemas, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Tidak, ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Hasilnya pasti salah, tidak mungkin! Misha mengambil tespack yang lainnya, dia kembali mencoba dan hasilnya tetap sama, garis dua. Misha tetap yakin jika tespack yang ia pakai salah semua. Mungkin ada sepuluh tespack yang ia pakai, dan semua hasilnya tetap sama.
Sekarang yang terakhir, Misha berharap yang terkahir berbeda dari yang lain. Beberapa lama menunggu, saat melihatnya. Perlahan tubuh Misha merosot, bersamaan tespack yang terbuang ke lantai. Misha memeluk dirinya sendiri. Misha menangis dalam diam, Misha terisak sendirian.
Dan disaat dia tahu, saat ini juga penyebab hadirnya janin tengah mengucap janji dengan Alise. Misha semakin menangis, dia menangis tersedu. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa! Siapa yang akan perduli padanya? Siapa yang akan mendukungnya?
Misha menenggelamkan wajahnya di antara lututnya, tangisnya semakin menjadi. Semua terjadi bukan kehendaknya, semua terjadi karena sebuah paksaan. Dan sekarang, dia yang harus menanggung semuanya sendirian. Hanya sendiri.
"Misha, Sayang...." Panggil seseorang dari luar kamar mandi. Tubuh Misha semakin menegang, Misha menatap panik tespack yang berserakan di wastafel. Misha segera berdiri, dia membenahi semua tespack yang ada di sana, sampai dia lupa ada satu yang tertinggal di lantai. Misha membasuh wajahnya, menatap pantulan dirinya di cermin.
Misha segera mengatur napasnya, sebelum dia membuka pintu kamar mandi.Setelah dibuka, tampak seorang wanita paruh baya yang menatap Misha penuh selidik.
"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya sambil memicingkan matanya menatap Misha.
Misha gelagapan, tersenyum kemudian bergerak memeluk wanita itu. "Aku baik-baik saja, Ma. Aku hanya rindu kalian," jawab Misha berbisik lirih. Wanita itu adalah ibu Misha, yang sibuk di luar Negeri mengurus bisnisnya, jarang ada di rumah.
Mama Misha mengusap rambut Misha penuh sayang. "Mama pulang, menerima undangan dari Alise. Mama juga sering bertemu Alise di Amerika," ujarnya lembut. Mamanya memang tinggal di Amerika mengurus bisnisnya. Memang bukan hanya Lusi dan Misha saja yang bersahabat, kedua orang tuamereka pun berteman cukup dekat. Jadi Misha tidak heran saat Mama dan Papanya pulang setelah berbulan-bulan tidak pulang.
Misha semakin memeluk Mamanya kuat. Dia berharap, tidak ada yang tahu tentang kehamilannya itu.