Deanisa
Kedua orang tuaku datang menjenguk secara tiba-tiba tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. Secara otomatis aku senang karena rindu pada mereka tetapi aku harus berbohong agar mereka tidak khawatir padaku.
"Bagaimana, sudah ada mual-mual atau pegal-pegal," tanya umi sembari mengelus perutku, jujur aku sedih jika harus berkata, aku masih perawan Umi.
"Belum Mi," jawabku sederhana dan aku mohon jangan ada pertanyaan lain yang membuatku merangkai kata untuk berbohong.
"Ya udah, itu rejeki Allah berikan rejeki itu tak terduga bisa cepat, bisa lambat atau kadang yah ... gak ada, tetapi kamu harus bersyukur apa pun itu. Allah Maha tahu yang terbaik untuk hambanya."
Iya, Allah Maha tahu kegalauanku. Allah tahu aku bersedih dan aku kecewa dan aku dituntut untuk sabar dan mencari jalan keluar atas semua ini.
"Kamu masak apa?"
Aku menggeleng, "Belum Umi karena Mas Qienan juga gak ada, Icha pengen diet ... lihat badan Icha makin gendutkan."
"Gak masalah gendut berarti kamu hidup bahagia dan suami kamu mencukupi kebutuhan kamu."
Aku ingin sekali membantah tetapi apalah dayaku. Kami akhirnya masak bersama-sama untuk makan siang. Aku meminta Umi untuk menginap di rumah ini sesekali tetapi Umi menolak tidak enak kalau tanpa izin menantunya.
Haruskah aku menelpon suamiku yang mungkin sekarang sedang berduaan dengan kekasihnya ... ah menjengkelkan.
"Ambilkan mangkuk satu lagi yang ada tutupnya."
"Untuk apa Umi?"
"Untuk tetangga kamu."
MasyaAllah, mampus! Siapa yang mau ngantarin ke dia.
"Tapi Umi, istrinya lagi gak ada."
"Terus kenapa, kan hanya memberi gak mesti ke istrinya, di depan pintu saja."
Allahu, depan pintu juga bakal tatap menatap sama dia, ya ampun ... kenapa sih hari ini.
"Iya tetapi, Icha malu Umi."
Umi tersenyum dan memegang bahuku yang sedikit tegang.
"Anak umi kenapa ya, biasanya dulu setiap ada orang baru, kamu lebih suka untuk menjalin silaturahim dan menandatangi mereka dengan membawa makanan tapi kok sekarang dengan tetangga sebelah kamu sepertinya takut?"
"Penggoda umi --" jawabku dan Umi tertawa terbahak-bahak.
"Al Kahfi Putra Rasyid itu anaknya Om Alvido yang pernah mau melamar tante kamu loh ingat gak?"
Oh, iya ... aku lupa jika pria itu adalah mantan calon anak tirinya tante Ghania tetapi gak jadi karena katanya Om Alvido tiba-tiba memutuskan tidak ingin menikah lagi. Berarti dia pernah ke rumah aku tetapi aku belum pernah melihat dia.
"Iya Umi, Icha lupa, hehehehe."
"Nah, gak mungkin kalau dia penggoda. Anaknya tampang baik-baik kok. Kalau saja bukan ayahnya yang mau melamar tante kamu, pasti Umi setuju kamu sama dia."
Ya Allah ... jodohku tertukar, mungkin. Tetapi kenapa dia suka jahil padaku seperti pagi ini, apa karena dia tahu kami dulu batal jadi keluarga.
"Nah, sekarang ... antar sayur ini kesana."
Aku merengek dan menolak tetapi Umi masih memaksaku dan mau tidak mau, kaki ini melangkah masuk halaman rumahnya.
Bel aku pencet berulang kali, sama seperti dia tadi pagi. Astagfirullah gak boleh dendam Icha, tetapi aku kesel setengah mati sama dia.
Saat pintu dibuka, Astagfirullah dia setengah telanjang karena gak pakai baju ... hanya pakai celana dan Ya Allah, dadanya bidang banget seperti ... Ya Allah mohon ampun, otak hamba travelling kemana-mana.
"Dari Umi," kataku dan dia bertanya-tanya tetapi aku jawab singkat saja, ingin cepat kabur dari hadapannya.
Tadi pagi dia terlihat rapi, apa sengaja berpakaian seperti tadi untuk menggoda aku. Dan sekarang pun mulutnya tambah parah menggodaku lagi. Aku langsung kabur dan gak mau lagi mendatangi dia. Dasar genit!
***
Gak terasa, senja telah tampak dan kedua orang tuaku akan pulang ... tinggallah aku yang sendirian di dalam rumah sebesar ini.
Apa yang bisa aku lakukan ya, bawa teman-teman kemari atau aku yang keluar malam tetapi nanti aku dibilang istri yang suka keluyuran saat suami gak ada, huh ... serba salah.
Akhirnya aku merilekskan diri dengan menonton film action dengan berbagai camilan yang berada di atas meja. Gimana gak gemuk kayak gini, yang penting aku gak stres, apalagi film yang aku tonton adalah film perang bukan romance yang nantinya membuat aku iri dan sakit hati dengan nasibku sendiri.
Langit gelap, hening terasa tidak begitu aku hiraukan hingga aku tertidur lelap di depan televisi yang masih menyala dan embun pagi terdeteksi menempel di pintu kaca area taman.
Aku berdiri meregangkan tubuhku, sedikit menggerakkan ke kiri dan ke kanan. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Ibadah adalah hal yang pertama aku lakukan setelah itu aku berjalan mengelilingi rumahku dan sepertinya di luar masih sepi dan ada baiknya kalau aku gunakan untuk jogging.
Meskipun di depan rumah tetapi pakaianku sesuai adab yang biasa aku gunakan. Tak semua orang bisa memakluminya bahkan anak-anak kecil juga terheran-heran melihatku.
Kini aku bebas selama masih sepi, untuk berolahraga berkeliling komplek rumah ini. Tak terasa sudah 2 kali putaran. Keringat mulai bercucuran dan gerah mulai terasa.
Aku berjalan pelan untuk menstabilkan rasa lelahku dan tiba-tiba aku terkejut ketika seorang Bapak-bapak keluar dari rumah tetanggaku, pasti ini ayahnya 'kan.
"Pagi Om," sapaku ramah dan dia tersenyum menganggukkan kepala.
"Pagi, Deanisa 'kan, keponakan Ghania ... istrinya Qienan."
Aku tersenyum tetapi mungkin tidak kelihatan, " Iya Om ini saya, mau jogging juga Om--" tanyaku dan dia menjawab.
"Mau kabur, anak saya galak ... dimarahin melulu."
Ah, masa' sih cowok genit itu galak, gak sesuai dengan wajahnya tetapi mungkin juga ya.
Eh, gak lama si anak keluar ... Subhanallah gantengnya. Ya ampun Icha ... tundukkan kepala, gak boleh genit.
"Fitnah apa Yah, pagi -pagi."
"Gak ada fitnah anakku, ayah cuma mau bilang, ini Deanisa tanya kamu kok gak ikut jogging ... ya sudah ... ayah duluan ya--"
Eh, ni orang tua jago fitnah rupanya ya. Udah gitu dia kabur lagi, tinggallah aku berdua dengan anaknya. Ya ampuuuunn, dasar orang tua.
"Hmm ... saya duluan ya," kataku ingin melarikan diri tapi dia berkata,
"Tunggu, saya mau minta maaf ... soal kemarin mungkin saya gak sopan ganggu kamu jadi maafkan saya."
Gentle banget, jarang ada cowok yang mau minta maaf ... apalagi cowok genit.
"Sudah saya maafkan."
"Kalau saya minta jadi berteman, boleh nggak?"
Tunggu ... teman, teman apa nih maksudnya tapi kepalaku reflek menggeleng cepat.
"Antara wanita dan pria yang sudah menikah tidak ada pertemanan hanya ada status rekan kerja atau tetangga biasa bukan teman."
Tampak wajahnya terlihat muram, apa aku terlalu menggurui tetapi itu benarkan. Dan dia mengangguk paham lalu
"Baik."
"Maaf."
Kenapa aku jadi minta maaf, ah ... aku jadi salah omong atau salah mikir, sudah terbiasa, sorry ... sorry gitu.
"Karena?"
Pakai tanya lagi ... aku jadi salah tingkah, aku mau ngomong apa ya Allah, "Karena --"
Karena kamu ganteng banget ... aku takut goyah, batinku saja yang teriak dan gak berani secara nyata bisa Gede Rasa dia. Akhirnya kaki ini melangkah menjauh meninggalkan dia yang masih terpaku di tempat.