Keesokan harinya...
"Kemana saja kau sejak kemarin? Kenapa kau tidak pulang? Apakah kau bersama dengan kekasihmu itu lagi seharian? Siapa namanya? Austin, 'kan? Katakan dengan jujur, apakah kemarin kau benar bersama dengannya seharian atau______"
"Bisakah Kakak tidak mencurigaiku meski sekali saja? Aku baru saja pulang. Tapi jika jawaban ini bisa membuat Kakak merasa lega maka baiklah. Aku tidak bersama Austin kemarin. Puas? Aku hanya menginap di apartemen dan melakukan pembersihan sedikit di sana. Memangnya kenapa? Bukankah diusiaku ini aku bisa kemana saja sesuai keinginanku? Jadi apa masalahnya? Lagi pula, aku juga membutuhkan suasana baru karena, di dalam rumah ini terlalu pengap. Semua orang menempatkan semua ekspektasi tingginya kepadaku tanpa mau mengerti jika aku merasa kesulitan dan sebenarnya merasa tertekan. Jika tidak mau mengerti, setidaknya cobalah untuk tidak terus menyalahkanku di sini," ucap Emily melampiaskan amarahnya karena, sepertinya dia sudah tidak tahan lagi menanggung berbagai masalah yang terus menerus mendatanginya.
"Kenapa kau menjadi marah? Aku hanya bertanya karena khawatir dan merasa cemas. Bukan hanya aku, Mommy dan Daddy juga terus menanyakan dimana keberadaanmu. Kenapa kau juga tidak bisa dihubungi? Setidaknya kirimkan pesan pada kami jika kau tidak pulang semalam dan_____"
"Harus berapa kali aku mengatakannya, jika tidak bisa mengerti, setidaknya jangan selalu menyalahkanku seperti ini. Apakah aku harus menjelaskan segalanya pada kalian? Aku sedang pusing saat ini. Tolong jangan menggangguku dulu. Kumohon. Soal skripsi, aku akan mencoba menyelesaikannya secepat mungkin. Jadi jangan terus menerus menanyaiku soal itu. Dan soal Mommy dan Daddy, apa kau yakin mereka benar khawatir padaku? Kurasa mereka hanya takut aku akan membuat masalah lagi, 'kan? Sebaiknya Kakak mengurus diri sendiri saja mulai sekarang karena jika nantinya terjadi sesuatu pada Kakak yang sedang dalam kondisi hamil ini, pasti aku yang akan disalahkan. Sudahlah. Aku ingin beristirahat dulu sekarang. Aku lelah sekali. Kakak pulang saja atau pergilah bekerja saja, sana. Selamat pagi," ucap Emily yang kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya, meninggalkan kakaknya yang masih berdiri terpatung di depan pintu kamarnya itu.
Sungguh, Vivian tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan menimpa adiknya itu karena, tidak biasanya Emily marah seperti itu kepadanya. Ya, mungkin adiknya itu akan mengomel sebentar karena dia terus menerus menanyainya tapi, kali ini reaksi Emily terasa berlebihan.
"Hei... Vivi? Kukira kau sudah pulang tadi? Apa yang masih kau lakukan di sini, Nak? Dan di depan kamar adikmu? Apa dia sudah pulang akhirnya? Dari mana saja dia?" ucap sang Mommy yang nampak baru saja kembali dari dapur, melihat celemek yang masih dikenakannya.
"Ya... dia sudah pulang tapi, jangan ganggu dia dulu sekarang. Entah mengapa dia menjadi lebih sensitif tadi. Biarkan dia tenang dulu. Nanti kita akan menanyaimya lagi tentang dari mana saja dia kemarin. Mama sedang membuat apa? Sepertinya baunya enak? Bisakah aku membawanya beberapa untuk dibawa pulang?" ucap Vivian kemudian merangkul Mommynya pergi menjauh dari kamar adiknya itu sebelum nanti Mommynya akan menerobos paksa masuk ke dalam kamar Emily dan membuat Emily marah lagi nantinya.
Emily memang tidak selalu terbuka padanya tapi, Vivian tahu jika saat ini ada hal yang mengganggu adiknya. Dia bisa saja mencari tahunya sendiri tapi sepertinya kali ini tidak perlu. Lebih baik dia pergi ke kantor untuk bekerja dulu, sekarang. Karena banyak sekali hal yang harus diselesaikan sebelum rencana cutinya nanti benar-benar dilakukannya.
Entah itu hanya cuti atau resign, yang jelas, Vivian akan mencoba membuat pilihan yang paling terbaik untuk keluarga kecilnya nanti.
'Seorang Emily melakukan pembersihan Apartemen? Itu adalah hal yang jarang sekali. Tapi bukankah Austin tinggal di sana beberapa waktu belakangan? Jadi apakah dia bohong padaku tadi? Dari raut wajahnya yang terlihat kecewa dan serius tadi, kurasa dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya tapi, aku masih sangat bingung karenanya. Entahlah,'
• • • • •
"Ya, aku adalah pemilik apartemen suite yang kemarin kau tawarkan harga bagus jika seandainya aku berkenan menjualnya. Kalau boleh tahu, siapa orang yang tertarik untuk membelinya saat itu? Apakah dia pernah meneleponmu lagi dan menanyakan tentang apartemen itu lagi? Jika boleh, bisakah aku meminta nomor teleponnya? Aku tiba-tiba berubah pikiran dan ingin menjualnya, sekarang," ucap Emily di dalam sambungan telepon, dengan orang yang beberapa waktu lalu pernah meneleponnya itu.
"Maaf, Nona. Kami tidak bisa memberikan informasi pribadi klien kami kepada sembarang orang. Apalagi dia adalah orang yang hanya menawarkan sesuatu dalam 1x kesempatan saja. Dan karena waktu itu kau menolak maka aku yakin, dia tidak akan mau membeli apartemen milikmu itu lagi, meski kau menurunkan harganya jauh dibawah rata-rata,"
"Tolong, jangan seperti itu kepadaku. Aku butuh bantuanmu sekali ini saja. Aku tidak butuh uangnya. Aku hanya butuh lepas dari apartemen ini. Aku tidak ingin memilikinya lagi. Setidaknya cobalah berbicara dengannya lagi. Aku tidak akan masalah dengan berapapun harga yang ditawarkannya nanti. Tolong, bantu aku....," ucap Emily yang memang jika sudah bersungguh-sungguh, dia tidak akan mundur lagi.
"Ya ya, baiklah. Aku akan mencoba menawarkan apartemen milikmu itu lagi tapi aku tidak bisa janji dia akan menerima tawarannya. Kalau begitu saya harus kembali bekerja sekarang. Selamat sore,"
Tut tut tut...
Emily menghembuskan nafas beratnya saat akhirnya setelah menanyai beberapa orang yang belum lama ini menawarkan harga untuk apartemennya itu, ada satu orang yang mau membantunya meyakinkan pembeli yang saat itu sempat ditolak Emily karena ya, dia pikir apartemen itu nantinya bisa digunakannya sebagai tempat tinggalnya kelak bersama Austin tapi sekarang, bayangan untuk bisa hidup bahagia bersama itu sudah tidak ada lagi. Sungguh, Emily tidak percaya dibuat kecewa hingga sedalam ini, hanya karena terlalu percaya kepada seorang pria.
"Dan ya, kurasa mengerjakan skripsi ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan jika aku serius seperti ini. Ya, mula-mula aku akan menyelesaikan skripsi ini dan lulus kuliah terlebih dahulu. Setelahnya nanti aku akan segera mencari pekerjaan dan pergi dari rumah ini. Karena ya, keluargaku tidak bisa disalahkan sepenuhnya juga. Mungkin aku saja yang sudah terlalu membangkang selama ini. Karenanya aku ingin mereka semua tidak mencoba mengontrol hidupku apapun alasannya. Sepertinya hidup sendiri memang pilihan yang terbaik," ucap Emily sambil terus terlihat mengerjakan sesuatu dengan serius di dalam laptopnya itu.
Tok
Tok
Tok
Saat mendengar suara ketukan pada pintunya, Emily hanya menatap kosong kearah pintunya itu karena dia bisa menebak siapa yang ada dibaliknya. Karena dia malas untuk bertengkar, Emily memutuskan untuk bersikap cuek saja kali ini.
Cklek
"Bisakah kita bicara sebentar sekarang? Kau sudah merasa lebih baik, 'kan? Aku masuk, ya," ucap Vivian yang sepertinya baru saja kembali dari kantor melihat pakaiannya yang masih sama dengan yang dikenakannya tadi pagi.
Emily terlihat tidak menjawab dan hanya terus diam saja. Sebenarnya hubungannya dengan kakaknya bisa dikatakan sangat baik dulu. Tapi semenjak Emily mengenal Austin dan masuk ke dalam pergaulan pria itu yang cenderung bebas dan penuh kenakalan, hubungannya dengan kakaknya menjadi semakin renggang dan menjauh seiring berjalannya waktu.
"Kau sudah makan? Oh... kau sedang mengerjakan skripsi, ya? Kemajuan yang bagus sekali. Lanjutkan," ucap Vivian yang kemudian duduk di dekat Emily yang sedang duduk di tengah-tengah ranjang, sambil memangku laptopnya itu.
"Katakan saja apa mau kakak. Kakak pasti lelah setelah seharian bekerja. Dari pada mengurusku, lebih baik kakak pulang dan beristirahat saja di rumah," ucap Emily dengan nada datar yang jelas sekali menunjukkan jika dia masih tidak mau tertarik berbicara apapun dengan kakaknya itu saat ini.
"Aku tahu tadi pagi kurasa aku terlalu keras menanyaimu tapi mengertilah satu hal jika aku hanya takut kau kenapa-napa, Em. Dan ya, kurasa aku tahu penyebab kau marah padaku pagi ini, karena tadi aku tidak sengaja melihat Austin bersama seorang wanita saat aku menghadiri pertemuan di sebuah hotel. Jadi aku ingin memastikan apakah pemikiranku ini benar jika kau sudah berpisah dengannya? Kapan itu terjadi? Dan kenapa? Maksudku, bagaimana itu bisa terjadi?"
Bersambung...