Aku Tidak Butuh Perlindungan Siapapun

888 Kata
Shania tidak menjalankan hari sebagaimana biasanya. Dia bahkan tidak masuk kuliah sama sekali. Dia terlalu terpuruk karena kepergian tiba-tiba keluarga satu-satunya yang ia punya. Shania menatap foto keluarga, dimana disana ada ayah, ibu, dia dan kakak laki-lakinya yaitu Faisal. Mereka berempat tampak bahagia dengan senyum cerah. Tapi mereka bertiga meninggalkan Shania sendiri di dunia ini. Mereka tidak membawa Shania. Faisal bekerja sebagai seorang penyidik kepolisian. Dia berusia 32 tahun. Berusaha mengabdikan diri untuk negara. Bahkan nyawa menjadi taruhannya. Shania bukan tidak tahu bagaimana bahaya pekerjaan sang kakak. Tapi dari banyak orang yang berprofesi sebagai penyidik, kenapa harus kakaknya yang mati? Shania tidak sanggup melihat foto keluarganya. Dia menutupi foto itu, karena saking dilihat akan saking membuatnya ingin mati. Shania menatap ke luar jendela. Hari sedang mendung, dia sudah lama tidak keluar. Kini Shania ingin keluar karena ada sesuatu yang ingin ia beli dan butuhkan. Kalau lapar, Shania bisa menahannya. Tapi kalau ini, dia tidak bisa menunda-nunda. Shania memakai hoodie milik kakaknya. Aroma tubuh yang ia rindukan. Dia berusaha untuk kuat. Kemudian dia memakai hijab dan juga masker. Saatnya Shania memberanikan diri untuk keluar. Satu langkah berhasil dia lakukan. Selama perjalanan ke minimarket terdekat, Shania hanya menunduk. Tidak berani menatap siapapun. Padahal sebelum kakaknya meninggal, Shania termasuk orang yang ceria. Minimarket terasa jauh untuknya. Shania cukup kelelahan tapi dia tidak bisa kembali sebelum membelinya. Sesampainya di minimarket, Shania menghela napas lega. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya, memberi sedikit kenyamanan di tengah kecemasannya. Ia berjalan menyusuri lorong dengan langkah kecil, matanya tertuju pada rak yang ia butuhkan. Ia mengambil beberapa bungkus pembalut, kemudian mie instan dalam jumlah banyak. "Biar tidak perlu keluar lagi," pikirnya. Setelah p********n selesai, Shania memutuskan untuk segera pulang. Namun, ditengah perjalanan, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan itu datang tiba-tiba, seperti ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Jantung Shania berdetak cepat. Ia mencengkeram erat tali kantong plastik belanjaannya, berusaha berjalan lebih cepat. Semakin jauh ia berjalan, semakin kuat perasaan itu. Ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Jalanan itu kosong, hanya ada deretan kendaraan terparkir di pinggir trotoar. Tapi, entah kenapa, perasaan itu tidak hilang. "Mungkin aku hanya paranoid," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Namun, langkah kaki yang terdengar di belakangnya membuatnya panik. Ia mempercepat langkah, hampir seperti berlari kecil. "Shania," sebuah suara berat memanggil dari belakang. Shania hampir melompat saking kagetnya. Ia memutar tubuh dengan cepat, dan di depan matanya berdiri Reza, wajahnya serius tapi penuh kelegaan. "Kak Reza?!" serunya terkejut. Melihat ekspresi panik Shania, Reza langsung mengangkat tangannya. "Tenang, ini aku. Aku tidak bermaksud menakutimu," ujarnya. Namun, Shania sudah terlalu terkejut. Tangannya gemetar, dan kantong plastik minimarket yang ia bawa terjatuh ke tanah. Isinya berserakan, beberapa bungkus mie instan dan pembalut terguling di atas trotoar. "Apa yang Kakak lakukan di sini?" tanya Shania dengan suara gemetar, matanya menatap Reza penuh kebingungan. "Aku mengikutimu," jawab Reza. "Kamu tidak menjawab pesanku, dan aku khawatir. Jadi aku memutuskan untuk memastikan kamu baik-baik saja." Shania memegangi dadanya, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. "Kakak tidak bisa begitu! Aku hampir kena serangan jantung!" serunya, nada marah bercampur rasa lega. Reza berusaha meredakan ketegangan. Ia berjongkok ingin memunguti barang-barang yang berserakan. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menakutimu, tapi aku tahu kamu tidak seharusnya pergi sendirian." "Aku bisa menjaga diriku sendiri," balas Shania, meskipun suaranya terdengar goyah. Dia mengambil barang belanjaannya sendiri dengan cepat. Dia terlalu malu menunjukan bungkus pembalut. Reza hanya diam melihat pergerakan Shania yang sangat cepat. "Apa perutmu sakit?" tanyanya tiba-tiba. "Apa maksud kakak?" Shania tampak tidak suka dengan pertanyaan Reza. Reza menggaruk lehernya yang tidak gatal. Merasa canggung. "Bukannya kamu sedang datang bulan?" tebaknya setelah melihat pembalut. Faisal pernah cerita kalau adiknya sedang datang bulan pasti moodnya buruk. Ditambah sakit perut sehingga Faisal sering membelikan coklat atau sesuatu yang disukai adiknya itu. Shania menatap Reza dengan dingin. "Tidak perlu pedulikan aku. Jangan merasa terbebani dengan kematian Kak Faisal. Aku sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri." Shania dengan cepat memunguti barang-barang yang berserakan di trotoar. Tangannya gemetar, tetapi ia berusaha tetap tenang. Setelah semuanya masuk kembali ke dalam plastik, ia memeluk erat kantong belanjaannya seolah-olah itu satu-satunya perlindungan yang dimilikinya. Ia berjalan cepat menuju apartemen, berusaha mengabaikan kehadiran Reza yang masih berdiri di tempatnya. Namun, Reza tidak bisa begitu saja membiarkan Shania pergi. Ia melihat sesuatu yang membuat hatinya terasa sesak, tubuh Shania yang semakin kurus, hampir seperti bayangan dirinya yang dulu. Ditambah lagi, tadi ia melihat isi kantong plastik itu penuh dengan mie instan. Hanya mie instan. "Shania, tunggu," panggil Reza, tetapi gadis itu tidak berhenti. Shania terus berjalan, berusaha mengabaikan panggilan itu. Ia tidak punya tenaga untuk berbicara, apa lagi berdebat. Namun, ia sadar Reza mengikutinya. Langkah kaki Reza terdengar semakin dekat di belakangnya. Shania merasa dadanya semakin sesak. Begitu sampai di depan pintu apartemennya, ia menghentikan langkah dengan kasar, lalu berbalik menghadapi Reza yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Kenapa mengikutiku?" tanyanya dengan nada penuh kekesalan. Wajahnya memerah, entah karena marah atau terlalu lelah. "Aku hanya ingin memastikan kamu pulang dengan aman," jawab Reza, suaranya tenang tapi tegas. Shania tertawa pendek, lebih seperti ejekan. "Pulang dengan aman? Apa aku terlihat seperti seseorang yang butuh perlindungan?" tanyanya, matanya menatap tajam ke arah Reza. "Aku tidak butuh perlindungan siapapun, jadi jangan pernah datang ke sini lagi!" Shania mengingatkan Reza dengan penuh penekanan. Setelah itu, ia menutup pintu apartemen. Tidak membiarkan Reza untuk masuk sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN