Mohon maaf lahir batin 1442 H
Happy Readiing
***
Asti Cadance menatap penampilannya di cermin, kebaya yang dikenakannya merupakan kebaya terindah yang pernah ia lihat. Bahannya diterbangkan langsung dari Qatar dari salah satu temannya yang kerja di sana dan lalu dikirim kepenjahit ternama di Jakarta. Kebaya itu memiliki proses yang sangat panjang mulai dari pengiriman hingga proses menjahit. Dan kebaya itu sekarang seolah mengejeknya karena ia gagal bertunangan dengan salah satu pengusaha ternama di negri ini.
Hari ini tepat seminggu ia menggagalkan pertunangan itu. Asti tidak bersemangat melakukan apapun. Selesai kerja ia langsung ke kamar, bahkan seminggu pertama ini ia selalu minta antar makanan kepada bibi ke kamar, karena tidak sanggup menahan malu kepada keluarganya karena gagal menikah.
Asti tidak mengerti kenapa Bimo setega itu kepadanya, berkhianat dan memilih sahabatnya. Ia juga tidak menyangka bahwa sahabatnya bermain dibelakangnya tanpa memikirkan perasaanya dan bodohnya, lagi ia tidak tahu tentang hubungan mereka. Ia sudah seperti wanita tergoblok yang yang dikahianati kekasih dan sahabatnya.
Ia sempat merutuki kebodohannya kenapa ia bisa mencintai Bimo laki-laki b******k itu. Ia tahu bahwa Tren perselingkuhan marak terjadi dan selalu dialami oleh orang-orang sekitarnya. Tidak peduli mereka sudah menikah dan memiliki anak. Ada pula sok memusuhi namun diam-diam melakukannya dan itu terjadi dikantornya. Anak accounting yang berselingkuh dengan managernya. Ada pula HRD yang bermain dengan anak marketing, padahal anak istri sedang menunggunya di rumah. Dengan alasan lembur, padahal pulang kerja mereka makan malam bersama di restoran. Ia tidak bisa mengelak karena kejadian itu murni mereka lakukan dalam keadaan sadar.
Asti menerima sebagian permasalahan hidup sambil merenungi situasi dan pemicunya. Ia yakin akan ada pria datang menerima kehadirannya. Ia masih bersyukur bahwa kejadian ini ia ketahui sebelum ia melakukan pernikahan. Asti menggantung kebaya itu ke lemari. Ia membuka hendel pintu, lalu melangkah keluar kamar. Ia butuh berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya. Mungkin keluargnya tahu bahwa ia sedang menata hati, tidak ada yang berani membahas permasalahan pertunangannya yang gagal. Karena mereka tidak mau ia berlarut-larut dalam kesedihan.
Asti menarik nafas ia melangkah menuju dapur menatap bi Ijah sedang menggoreng ayam berbalur tepung. Bi Ijah menyadari kehadirannya, bi Ijah lalu tersenyum menatap majikannya.
“Eh Enon, mau makan non?” tanya bi Ijah.
“Nanti aja deh bi” ucap Asti memperhatikan makanan, satu persatu diselesaikan oleh bi Ijah. Ia melihat wortel, kubis, brokoli yang sudah dipotong-potong. Ia juga melihat udang yang sudah dilumuri tepung roti.
“Kok banyak bi masaknya? Ada acara?”
Bi ijah mengangguk, “Kata ibu, temen ibu mau datang gitu non. Jadi ibu sama bibi masak-masak”
“Masak apa aja bi?”
“Ini ayamnya masak pedes manis non, sayurnya capcai, dan terus udang goreng tepung gitu. Ibu juga nyuruh masak sup daging non”
“Kayak arisan aja, emang rame ya bi?” Asti memperhatikan makanan yang tersedia.
“Enggak sih non, Cuma kata ibu itu tamunya, tamu penting gitu”
“Tamunya, bibi tau siapa?”
“Enggak tau non”
Asti melangkah menuju kulkas, ia membuka pintu itu, lalu mengambil air mineral dingin. Ia melihat ada manga muda di dalam dan ada jambu biji yang masih mengkal. Asti menelan ludah ia berharap bi Ijah membuatkan sambal rujak kesukaanya.
“Enak nih bi” ucap Asti memperlihatkan mangga kepada bi Ijah.
“Jangan keseringan makan rujak non, nanti asam lambung”
“Tapi Asti mau bi”
“Nanti ibu marah”
“Bi, mauuu” Rengek Asti.
“Cabenya satu aja ya non”
“Cabenya satu ya nggak berasa bi, mana enak, masa rasannya manis doang. Sambel ya rasanya harus pedes bi bukan manis”
“Yah Non, yaudah dua deh”
“Asti maunya kayak biasa bi” Asti mencoba negosiasi kepada bi Ijah.
“Jangan non, jangan kebanyakan, yaudah 3 aja ya. Kalau nggak mau bibi nggak buatin”
Asti lalu tersenyum sumringah, “Makasih bibi” Asti nelihat bibi mengangkat ayam goreng.
“Yaudah sini Asti yang goreng ayam, bibi ulek sambel” Asti mengambil alih penggorengan, sementara bi Ijah membuatkan sambal rujak kesukaannya.
Bi Ija memandang Asti, anak pertama majikannya. Wanita itu mengenakan kaos crop berwarna putih dan celana training berwarna hitam. Rambut panjangnya digulung hingga keatas terlihat sangat cantik dan menawan. Ia tahu bahwa majikannya itu sedang melewati masa-masa terberatnya minggu kemarin.
“Non udah baik-baik aja kan” ucap bi Ijah sambil mengulek sambel.
Asti tersenyum, “Udah dong bi”
“Cowok mah banyak non, non bisa dapat yang lebih baik gitu”
“Iya bi, tapi udah 28 tahun bi, harap-harap cemas belum dapat jodoh” Asti terkekeh.
“Gak apa-apa non, kalau di kampung bibi banyak yang nikah muda non, tamat SMP udah pada nikah. Eh setahun dua tahun malah cere, mana masih muda non, udah punya anak dua. Makanya non nikah nggak boleh buru-buru. Kasihan non anaknya telantar di asuh sama neneknya. Ibunya malah kerja di Jakarta, kerjaanya ya tiap bulan cuma ngirimin duit di kampung”
“Iya bi, banyak yang kayak gitu”
“Bibi do’ain semoga non Asti cepet dapat jodohnya”
“iya bi semoga aja”
Beberapa menit kemudian sambal rujak buatan bi Ijah jadi. Asti juga menyadari bahwa mamanya masuk ke dapur. Asti memperhatikan penampilan beliau, mengenakan dress berwarna kuning kunyit dan rambut sebahunya di tata, terlihat sangat rapi tidak seperti biasanya yang ia lihat. Ia melihat ibunya seperti itu jika ada pertemuan penting, undangan dan arisan saja.
“Mau kemana ma?” tanya Asti.
“Mau kedatangan tamu, temen mama dulu sekolah, katanya bentar lagi nyampe”
“Siapa ma?”
“Tante Dwi sama om Sihaan ”
Asti mengerutkan dahi, “Tente Dwi yang mana ya ma?”
“Temen lama mama belum pernah ke sini sih. Kamu nggak kenal, nanti kamu bantu-bantu mama ya, buat nyiapin ini. Tapi kamu rapi-rapi dulu, ganti baju”
“Iya ma, papa mana?”
“Baru habis mandi”
Asti membawa potongan mangga, jambu beserta sambelnya naik ke atas. Setidaknya dengan membantu mamanya menyiapkan makan malam perasaanya lebih tenang. Dari pada ia terus-terusan menangis meratapi kesedihan. Ia berharap ada kebehagiaan yang menghampirinya.
***
Evan mendengar suara ponselnya bergetar, ia mengambil ponsel yang ia letakan di nakas. Evan melihat Fatin tidak ada di tempat tidur, ia mendengar suara air mengalir dari tempat kamar mandi. Ada perasaan lega, karena ia takut Fatin meninggalkannya begitu saja. Evan menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur. Menatap ke arah layar persegi, “Sorcha Calling”. Evan menggerser tombol hijau pada layar.
“Iya Ocha” ucap Evan.
“Mas di mana?” tanya Ocha to the point.
“Mas ada di luar kota, kenapa Cha?”
“Ya ampun, kemarin kan mama udah ngasih tau sama mas, mas mau dibawa ke rumah temennya temen mama”
“Mas lupa”
Evan memang sengaja tidak mau mengikuti kemauan ibunya dan ia malah keluar kota bersama Fatin. Ia tidak terlalu suka pergi ke acara-acara menurutnya tidak terlalu penting. Untuk apa dirinya ikut ke rumah teman ibunya? Ia sudah seperti pria yang tidak punya kerjaan. Evan juga tahu niat terselubung ibunya yang akan menjodohkan dirinya kepada anak teman ibunya.
Evan merasa tidak pantas mengikuti hal-hal seperti itu. Ini hidupnya dan ini yang ia jalani. Bukan menuruti semua keinginan ibunya.
“Mas jangan gitu dong”
“Mas nggak di Jakarta, mas ada di luar kota Ocha, ada kerjaan”
“Ya tapi kan, mama mau jodohin mas sama anaknya temen mama”
Evan menghela nafas, “Mas nggak mau dijodohi, mas bisa nentuin sendiri pilihan hidup mas” Evan memelankan volume suaranya, ia tidak ingin Fatin mendengar percakapannya.
“Yah mas, dicoba dulu lah. Katanya yang bakalan di jodohin sama mas itu cantik loh. Desaigner Fashion gitu, yang punya brand Raise Habbit. Pokoknya tipe mas banget”
“Hemmm” mendengar kata desaigner fashion terlihat menarik di matanya, karena mengingatkannya kepada mantan kekasihnya Mili yang hidupnya penuh dengan fashion. Ia sangat senang jika berkenalan dengan wanita berkecimpung dunia fashion. Hal pertama yang ia cari terhadap wanita ya tentu saja penampilannya.
Pada dasarnya pria seperti dirinya sangat pemilih dalam memilih pasangan. Ia selalu melihat wanita dari fisik dan penampilannya, karena parfume menggambarkan rasa, sepatu heels dan aksesori menunjukkan gaya hidupnya, pakaian menunjukkan kepercayaan diri dan sikap dalam menjalani hidupmu. Tingkat sense of style selalu menunjukan kepercaayaan diri seseorang.
Meski dirinya terkesan egois karena kebanyakan memilih wanita dari fisiknya namun ia memiliki alasan yang kuat. Yaitu dari mata turun ke hati. Dan banyak wanita yang menganggap bahwa fisik itu sangat penting. Oleh sebab itu wanita banyak sekali berbondong-bondong berpenampilan menarik untuk mendapatkan pria seperti dirinya.
Evan pernah mendengar brand Raise Habbit yang outletnya terletak di salah satu mall ternama Jakarta, karena brand itu mengeluarkan baju kasual untuk anak muda. Baju-bajunya sangat hits dipasaran. Evan mencoba mengingat, apa ia pernah membeli baju disana ? sepertinya tidak pernah.
“Udah lah nanti aja, mas untuk saat ini masih ingin sendiri” Elak Evan.
“Yah mas, dicoba aja dulu mas”
“Iya, iya nanti mas coba. Next time ya”
“Yaudah nanti Ocha kasih tau mama, dan Ocha bakalan fotoin kayak gimana calon jodoh mas”
“iya, iya, dasar kamu ya”
“Dah dah mas”
“Iya”
Sambunganpun terputus begitu saja. Ia hanya menunggu Ocha mengirimkkan foto wanita yang akan dijodohkan kepadanya. Evan mencari aplikasi google dan mengetik Raise Habbit. Lalu pencarian Raise Habbit keluar. Ratusan baju memenuhi halaman pencariannya dan ia melihat outlite offline di Central Park, PIK dan PI dan itu merupakan pencapaian luar biasa menurutnya. Wanita itu mampu bersaing dengan brand-brand terkenal lainnya.
Evan mendengar suara pintu terbuka, lalu menatap Fatin mengenakan handuk kimono, rambutnya basah. Wanita itu tersenyum menatapnya. Evan mendekati Fatin dipandanginya wajah cantik itu.
“Maaf ya tadi aku ketiduran”
“Iya nggak apa-apa. Kamu nggak mandi?”
“Ini mau mandi”
Evan mengecup bibir Fatin sekilas, “Thank you so much, baby”
Fatin tersenyum karena Evan memperlakukannya sangat baik dan lembut. Pria itu benar-penar penuh perhatian. Evan membuka bad cover lalu melangkah menuju kamar mandi. Sementara Fatin membuat secangkir teh hangat untuk dirinya. Ia akan relexs sejenak menatap view pegunungan yang indah. Ia berharap tidak akan jatuh cinta kepada Evan. Karena hubungan ini hanyalah sebatas pekerjaan saja. Toh, hanya ia dan Evan yang tahu hubungan ini.
***